Pemerataan dokter menjadi tantangan. Tahun 1968, selain dokter menumpuk di kota-kota besar, jumlah dokter masih sedikit. Rasio dengan jumlah penduduk saat itu 1:22.000, yakni 5.000 dokter untuk 110 juta penduduk. Padahal, rasio ideal menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah satu dokter melayani 2.500 penduduk atau 40 dokter per 100.000 penduduk.
Saat ini, rasio dokter di Indonesia sudah 47:100.000. Namun, pemerataan dokter tetap menjadi persoalan, khususnya untuk wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar. Tak hanya di Nusa Tenggara Timur, Maluku, atau Papua, di pelosok Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat pun rasio dokter dan penduduk masih timpang.
Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri menyatakan, 728 puskesmas belum memiliki dokter. Karena itu, pemerintah menargetkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan mendistribusikan dokter umum ke sejumlah daerah tahun ini.
Data Konsil Kedokteran Indonesia per Agustus 2019 menunjukkan, DKI Jakarta memiliki rasio 180:100.000. Provinsi lain yang jumlah dokternya berlebih adalah Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Bali, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Banten, Kepulauan Riau, dan Jambi. Jumlah dokter di Bengkulu sesuai rasio ideal, sedangkan wilayah lain kekurangan dokter. Yang terendah adalah Sulawesi Barat dengan rasio 10:100.000, disusul NTT sekitar 15:100.000. Hal serupa terjadi pada provinsi lain.
Dalam sebuah diskusi mengemuka, desentralisasi yang semula diharapkan mampu memberdayakan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan ternyata belum sepenuhnya berjalan. Pemerintah kota/kabupaten terpencil dan miskin tidak mampu memberikan insentif untuk menarik tenaga kesehatan bekerja di daerahnya.
Di sisi lain, tak semua dokter hendak bekerja untuk kemanusiaan. Ada yang ingin mencari uang untuk balik modal mengingat biaya pendidikan dokter relatif mahal. Hal lain yang menjadi kendala penyebaran dokter adalah faktor keamanan, terutama di daerah konflik, minimnya peralatan kesehatan di daerah terpencil, kurangnya insentif, pendapatan, bahkan keterlambatan gaji, serta minimnya sarana-prasarana kehidupan sehari-hari. (ATK)