Mendekati musim tanam tahun ini, kebakaran terus meluas di Nusa Tenggara Timur. Kebakaran itu membakar pula tanaman bernilai ekonomi. Hal tersebut mengancam ketersediaan pangan warga.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Mendekati musim tanam tahun ini, kebakaran terus meluas di Nusa Tenggara Timur. Kebakaran itu membakar pula tanaman bernilai ekonomi. Hal tersebut mengancam ketersediaan pangan warga.
Berdasarkan analisis peta sebaran titik panas hasil tangkapan satelit 14-15 Oktober 2019, terdapat 166 sebaran titik panas di 16 kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Hingga Rabu (16/10/2019) pagi ini, pantauan titik api masih dilakukan.
Satelit mendeteksi anomali titik panas masing-masing memiliki luasan 1 kilometer persegi. Kebakaran ini menyebabkan hampir sebagian besar sabana di NTT semakin gersang. Kebakaran bakal terus terjadi menjelang musim tanam.
Prakirawan Cuaca Stasiun Meteorologi El Tari, Kupang, Ketut Wisnu Wardhana, mengatakan, peta sebaran titik panas ini sesuai dengan hasil pantauan satelit Terra, Aqua, Suomi NPP, dan NOAA20 oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Hasil tangkapan satelit ini diperbarui setiap dua hari sekali, terhitung sejak Juni 2019.
”Dua hari terakhir, yakni 14-15 Oktober, ditemukan 166 titik panas, tersebar di 145 desa, 48 kecamatan, dan 16 kabupaten. Jumlah titik panas di setiap kabupaten bervariasi, yakni 1-29 titik. Titik panas terbanyak di Kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 29 titik, Sumba Timur 25 titik, dan Timor Tengah Utara 23 titik,” kata Wisnu.
Ribuan hektar
Kebakaran terus meluas di NTT, terhitung sejak Juni. Kawasan yang terbakar mayoritas sabana, dengan luasan setiap titik 1 km persegi atau 100 hektar. Dengan demikian, periode 14-15 Oktober, sabana terbakar seluas 16.600 hektar. Sebelumnya, kebakaran di lokasi yang berbeda telah menghanguskan ribuan hektar sabana.
Kepala Dinas Kehutanan NTT Ferdinand Kapitan mengatakan, belum ada data lapangan mengenai luas kebakaran pada Juni-Oktober 2019, tetapi sudah mencapai ribuan hektar hutan sabana. Kebakaran bakal terus berlanjut sampai musim tanam tiba. Itu berarti selama Oktober-November titik panas masih terjadi.
”Masalah utama adalah sistem perladangan berpindah-pindah tempat. Kebakaran terjadi Juni-Agustus sengaja dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan rumput muda sebagai pakan ternak, di samping sebagai persiapan lahan baru. Tetapi, memasuki puncak kemarau, yakni September-November, sebagai persiapan pembukaan lahan pertanian baru,” kata Kapitan.
Masalah utama adalah sistem perladangan berpindah-pindah tempat.
Direktur Yayasan Masyarakat Pinggiran NTT Marianus Minggo mengatakan, kekeringan terjadi di NTT akibat kebakaran yang berlangsung setiap tahun. Masyarakat belum paham mengenai dampak dari kebakaran, seperti kekeringan sumber-sumber mata air serta kepunahan fauna dan flora endemik NTT.
Ia mengatakan, hukum adat di sebagian masyarakat melarang pembakaran itu, tetapi masyarakat lebih berpikir masa kini dan tidak memahami dampak jangka panjang dari kebakaran. Pemda harus lebih tegas terhadap pelaku pembakaran, di samping melakukan sosialisasi.
Selain padang ilalang yang terbakar, sejumlah tanaman bernilai ekonomi pun ikut terbakar, seperti kopi, pisang, mangga, kelapa, kemiri, cendana, cokelat, dan tanaman lain. Dengan demikian, gagal panen tidak hanya terkait padi, jagung, dan umbi-umbian akibat kekeringan, tetapi juga tanaman perkebunan akibat kebakaran.
Menurut Kapitan, Gubernur NTT Viktor Laiskodat telah memerintahkan para bupati dan camat untuk menghentikan aksi pembakaran hutan sejak Juli 2019. Namun, imbauan itu tidak banyak pengaruh di lapangan. Pembakaran terus terjadi, entah dilakukan dengan sengaja atau kelalaian.
Personel polisi kehutanan, satpol PP, serta aparat kepolisian dan TNI pun terbatas. Kawasan hutan cukup luas, tersebar di 22 kabupaten/kota. Data luas hutan NTT 350.000 km² dari total luas wilayah 2.540.000 km². Jumlah 350.000 km² hutan ini, sekitar 210.000 km² merupakan sabana.
”Namun, akibat kebakaran itu, hampir sebagian besar sabana di NTT berubah bentuk menjadi hamparan padang yang hitam. Situasi kebakaran di NTT tidak seperti daerah lain. Angin bertiup cukup kencang, di samping rumput sabana sangat jarang sehingga api cepat menjalar dan cepat menghilang, termasuk asap,” kata Kapitan.