Sengketa karena baku klaim di Laut China Selatan harus diselesaikan dalam kerangka hukum internasional. Dibutuhkan kesepakatan bilateral di antara negara bersengketa.
jakarta, kompas Sengketa di Laut China Selatan hanya bisa diselesaikan secara bilateral oleh negara-negara terkait. Langkah-langkah lain hanya bisa ditempuh berdasarkan kesepakatan para pihak. Seluruh penyelesaian diharapkan tetap dalam koridor hukum.
”Masalah sengketa Laut China Selatan lebih berkembang dari sebelumnya. Ini tak bisa dikesampingkan, harus diselesaikan,” ujar Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Damos Dumoli Agusman saat konferensi Perkembangan Hukum Internasional di Asia (DILA) yang diselenggarakan Kemlu RI dan Universitas Indonesia, Selasa (15/10/2019), di Jakarta. Pakar hukum dari berbagai negara Asia hadir sebagai pembicara dalam forum itu.
Penyelesaian sengketa membutuhkan kesepakatan bilateral di antara negara-negara terkait sengketa. Mekanisme multilateral tidak bisa dipakai dalam tataran itu.
Damos dan pakar hukum internasional, Hasjim Djalal, juga menegaskan, Indonesia tidak menjadi pihak dalam sengketa kepemilikan di Laut China Selatan. Sengketa itu hanya melibatkan China dengan Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. China mengklaim Laut China Selatan berbasis ”Sembilan Garis Putus”.
Klaim itu ditolak Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina. ”Indonesia tidak punya persoalan tentang itu kecuali dengan Malaysia dan Vietnam yang sedang dalam proses penyelesaian,” kata Damos.
Hasjim Djalal mengatakan, penafsiran Konvensi Hukum Laut Internasional (Unclos) tidak bisa dipakai untuk mendukung klaim kepemilikan perairan di sekitar Kepulauan Paracel. ”Kita tak bisa mengklaim sebagai negara kepulauan (archipelagic state), karena hanya diakui sebagai kepulauan (archipelago),” ujarnya soal kepulauan obyek sengketa di Laut China Selatan itu.
Indonesia juga berkontribusi pada pengembangan hukum internasional lewat Unclos. Para pakar hukum dan diplomat Indonesia bekerja keras untuk menfinalisasi konvensi itu. ”Saya tawar-menawar agar status negara kepulauan diakui. Saya mendukung zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil, juga hak berlayar dalam negara kepulauan,” kata Hasjim.
Penentuan nasib
Konferensi tersebut juga menghadirkan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Eddy Pratomo. Ia menyinggung soal hak menentukan
nasib dalam norma internasional. ”Hak itu hanya dikenal pada konteks dekolonisasi atau wilayah tanpa pemerintahan sendiri (NSGT). Hukum internasional tidak mendukung pemisahan wilayah di luar konteks dekolonisasi,” ujarnya.
PBB memfokuskan hak menentukan nasib dalam konteks dekolonisasi. PBB tidak pernah menerima prinsip pemisahan wilayah negara anggotanya. Negara-negara menegaskan hak menentukan sendiri berbeda dari hak memisahkan diri
Ia tidak menampik, ada beberapa pemisahan wilayah di luar konteks dekolonisasi ataupun kerangka PBB. Hal itu terjadi pada Namibia yang berpisah dari Afrika Selatan, Sudan Selatan dari Sudan, dan Bangladesh dari Pakistan. Walakin, banyak juga upaya yang gagal, seperti Quebec dari Kanada atau Catalan dari Spanyol.
Ia mengingatkan, tak ada dasar hukum internasional untuk kampanye pemisahan wilayah. Setiap upaya penentuan nasib harus mengikuti hukum internasional. Damos menyatakan, Indonesia mengikuti hukum internasional sejak berdiri. Proklamasi kemerdekaan dilakukan dalam kerangka dekolonisasi dan mematuhi hukum internasional. (RAZ)