JAKARTA, KOMPAS— Penangkapan Bupati Indramayu, Jawa Barat, Supendi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan suap proyek infrastruktur memperkuat indikasi perilaku koruptif belum berubah pada sebagian kepala daerah. Untuk mengubah perilaku semacam itu, diperlukan penguatan efek penggentaran disertai dengan sistem pencegahan dan pengawasan yang kuat.
KPK, Selasa (15/10/2019), menetapkan Supendi sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Indramayu Omarsyah, Kepala Bidang Jalan di Dinas PUPR Indramayu Wempy Triyono, dan pihak swasta Carsa.
Supendi menjadi kepala daerah ke-121 yang dijadikan tersangka oleh KPK sejak 2004. Tahun 2019, Supendi menjadi kepala daerah ke-8 yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
”Korupsi dalam pengadaan sudah dapat dipastikan akan merusak upaya pemerintah dalam pembangunan yang merata di seluruh Indonesia,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK, kemarin.
Suap proyek
Supendi baru delapan bulan menjabat Bupati Indramayu, menggantikan Anna Sophanah yang mengundurkan diri. Anna ialah istri Irianto MS Syafiuddin atau Yance, Bupati Indramayu 2000-2010. Yance pernah terlibat perkara korupsi pembebasan lahan pembangkit tenaga uap di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra, Indramayu, tahun anggaran 2004 yang merugikan negara Rp 4,1 miliar.
Dugaan suap Supendi juga terkait pengadaan barang dan jasa. Ia diduga menerima suap bersama Kepala Dinas PUPR Indramayu. Suap dilakukan agar pihak swasta memperoleh proyek. Setidaknya ada tujuh proyek senilai Rp 15 miliar yang diperoleh CV Agung Resik Pratama, mayoritas pembangunan jalan. Pemberian suap ini berdasarkan kesepakatan imbalan 5-7 persen dari nilai proyek.
Dari data KPK, modus terbanyak korupsi kepala daerah ialah suap dan gratifikasi yang ditukar dengan proyek di dinas tertentu atau untuk mengatur besarnya anggaran.
Terkait belum berubahnya perilaku koruptif sebagian kepala daerah, Basaria mengatakan, upaya mengatasi hal itu tidak bisa diserahkan hanya kepada KPK. Menurut dia, semua kementerian, lembaga, dan masyarakat harus bekerja sama.
KPK sudah mendorong penerapan Program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. ”Namun, kembali lagi, manusia yang mengendalikan sistem ini. Sebagus apa pun sistem yang dibangun bisa dipermainkan jika manusianya punya niat sejak awal untuk korupsi,” ujar Basaria.
Kompleks
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menilai keberulangan para kepala daerah melakukan korupsi merupakan hal yang kompleks. Selain pemidanaan dan perampasan aset yang tak optimal, banyak celah dalam sistem yang juga berakibat para kepala daerah tak kunjung jera.
Di sisi lain, sebagian partai politik tak serius memberi sanksi kepada kader pelaku korupsi. Sistem perekrutan yang kacau menambah persoalan. ”Memulai perbaikan memang harus dari reformasi parpol dan pendanaan politik,” katanya.
Manajer Riset Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko menilai sudah ada regulasi yang mengatur proses perencanaan hingga serah terima barang harus dilakukan transparan, akuntabel, dan partisipatif. Namun, korupsi barang dan jasa masih terjadi karena perilaku korup sudah mengakar kuat dan rendahnya integritas serta sistem mitigasi risiko korupsi.
Dari sisi efek penjeraan, pengajar Hukum Pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, menilai penerapan hukuman finansial bagi koruptor, termasuk kepala daerah yang korupsi, menjadi salah satu cara efektif. Penjeraan juga bisa dilakukan dengan mewajibkan menerapkan hukuman pencabutan hak politik bagi politisi.
Kemarin, KPK juga menangkap delapan orang di Samarinda dan Bontang, Kalimantan Timur. Salah satunya Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Wilayah XII Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Refly Ruddy Tangkere. Penangkapan ini terkait dugaan suap proyek di Kalimantan Timur tahun 2018-2019. (REK/IAN/IKI/SHR)