Pekan lalu, kawasan Istora dan Parkir Selatan Senayan, Jakarta Selatan disulap jadi wadah tumpah ruah budaya dalam acara Pekan Kebudayaan Nasional (PKN). Beragam kemasan hadir untuk menangkap skema kebudayaan berbagai daerah di Indonesia, mulai dari tarian, pertunjukkan, pameran, musik, hingga permainan tradisional. Pada acara ini, sajian keberagaman justru jadi daya tarik yang membuat pengunjung betah berlama-lama.
Para pengunjung mulai berlarian kecil menuju panggung Kedauk kala musik mulai dimainkan. Ketika para penari dari Sanggar Uni Using naik ke panggung, penonton menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Dengan sigap, para penonton langsung mengeluarkan ponsel pintar untuk merekam momen yang jarang mereka temui di ibukota. Siang itu para pengunjung dihibur dengan penampilan tari Gandrung dari daerah Banyuwangi.
Ketiga penari dengan luwes memainkan selendang dan kipas dengan senyum yang tak pernah terlepas dari wajah mereka. Iringan musik gamelan Jawa turut mendukung penampilan ketiganya di tengah terik matahari. Bahkan, musik yang meriah ini memancing beberapa penonton untuk berjoget sembari meneriakan sahutan kecil seperti “ea, ea” atau “srrraaah”. Penonton berkulit putih, kulit hitam, kulit sawo matang, semua larut dalam kemolekkan tari yang biasanya digunakan sebagai wujud syukur atas hasil panen masyarakat Banyuwangi tersebut.
“Jujur, aku dari etnis Tionghoa jadi suka kepengen tahu budaya yang Jawa tulen itu seperti apa. Seringnya lihat di film-film kayak di Sang Penari atau apalah, sekarang bisa lihat langsung ya happy makanya langsung ikutan joget,” ujar Evita, seorang pengunjung.
Bukan hanya tari Gandring yang membuat pengunjung betah berkeliling di Pekan Kebudayaan Nasional. Hampir setiap sudut Istora Senayan dan Parkir Selatan Senayan dapat jadi spot foto dan sumber informasi yang menarik, seperti museum mumi.
Terletak di selasar atas Istora Senayan, museum mumi merupakan satu-satunya tempat bernuansa gelap dan mencekam dibanding ruang pameran lainnya. Museum ini menampilkan lima ritual pemakaman istimewa dari beberapa daerah di Indonesia seperti Trunyan di Bali, makam bayi Kambira di Tana Toraja, makam dinding batu Lemo, dan Londa di Toraja, Waruga di Minahasa, dan sarkofagus di Batak. Mumi asli Indonesia dari Makassar juga turut dipajang di ruangan tersebut.
Meski suasana mencekam, pengunjung justru terlihat antusias. Hal ini terlihat dari banyaknya pengunjung yang rela antre demi bertanya tentang hal-hal yang ingin diketahui kepada si pemandu museum, termasuk Rifqy Sultan (20). Mahasiswa jurusan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Jakarta ini tadinya hanya berniat untuk melihat pertunjukkan musik. Namun, ia jadi kebablasan mengeksplorasi zona lainnya di Pekan Kebudayaan Nasional, termasuk museum mumi.
“Paling berkesan ya di museum mumi ini ya. Saya baru tahu juga itu ritual-ritual pemakamannya unik semua. Tatanannya juga dibuat keren banget, suasananya seram tapi enggak berlebihan,” ujar Rifqy pada Jumat (11/10/2019).
Rifqy mengaku hari ini merupakan kali kedua dirinya datang ke Pekan Kebudayaan Nasional. Pada kunjungan pertamanya di Rabu (7/10/2019), Rifqy sudah tertarik mengeksplorasi zona selain panggung Kedauk. Namun saat itu, ia dan kawan-kawannya tak bisa berlama-lama karena harus kembali mengerjakan tugas kuliah. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali beberapa hari setelahnya ketika kegiatan kampus sedang tidak begitu padat.
“Saya baca informasi yang tercantum di selasar (Istora) itu, ternyata banyak juga informasi soal budaya lain yang saya enggak tahu. Ada banyak ruangan keren di sini, itu yang buat semangat dan betah jalan-jalan di sini,” ujarnya.
Permainan tradisional
Antusias pengunjung juga terasa kala mendatangi arena kampung permainan rakyat. Di tengah teriknya matahari, pengunjung dari usia anak-anak hingga dewasa turut memainkan permainan seperti gasing, engrang, terompah panjang, sumpitan, hingga gobak sodor.
Keinginan untuk memainkan atau sekadar menonton permainan tersebut jadi alasan sebagian orang untuk menyambangi kawasan Parkir Selatan Senayan sedari pagi. Ina Lestary (25) merupakan salah satu pengunjung yang hendak bernostalgia dengan permainan semasa kecilnya. Ia dan kawan-kawannya rela datang dari pukul 10.00 pagi untuk menonton perlombaan permainan tradisional.
“Pagi-pagi itu kan ada perlombaan yang diatur panitianya, nah itu aku dan teman-teman ingin nonton karena pengen kayak nonton lomba 17an dulu gitu,” ujar Ina.
Ketika perlombaan selesai, beberapa pengunjung dibebaskan untuk menjajal dan menggunakan peralatan permainan tradisional tersebut. Semua alat dijaga oleh seorang panitia sehingga pemakaian teratur dan tidak saling rebut. Ina pun turut mencoba sembari diiringi teriakan semangat dari teman-temannya yang duduk di samping lapangan.
“Senang banget bisa main engrang lagi. Tadi menonton lomba engrang juga sudah enggak sabar mencoba. Enggak takut jatoh juga sih karena ini permukaan lapangannya agak empuk,” ucapnya.
Pengalaman bermain engrang di arena kampung permainan rakyat membuat Ina jadi termotivasi untuk menghidupkan kembali permainan ini di komplek perumahannya. Selain sensasi berjalan dengan menggunakan bambu, Ina merasa permainan ini turut memancing kemeriahan dan semangat.
“Lihat saja kan tadi, teman-teman saya langsung berisik ketika saya bisa berjalan beberapa langkah dengan menggunakan engrang. Suasana jadi seru, ini buat saya jadi pengen hidupkan lagi lewat acara tujuh belasan di komplek,” cerita Ina.
Meski matahari sudah terbenam, Ina dan kawan-kawannya masih bersemangat mengeksplorasi berbagai permainan tradisional yang ada di Pekan Kebudayaan Nasional. Ia berniat melihat orang bermain gangsing setelah mencoba engrang.
“Iya habis ini mau lihat gangsing, tadi mau main gobak sodor tapi enggak cukup orang. Habis itu baru pulang, sudah dari pagi di sini,” pungkasnya. (*/***)