Pada Festival Sastra Chekhov ini, belum pernah ada peserta asal Indonesia yang menembus proses kurasi. Bagaimana dengan tahun ini?
Oleh
Mohammad Hilmi Faiq
·4 menit baca
Enam puisi mengantarkan penyair Iwan Jaconiah terpilih menjadi wakil Indonesia pada X International Literary Festival ”Chekhov Autumn-2019”. Acara ini akan digelarpada 21-24 Oktober 2019 di Yalta, Republik Crimea, Federasi Rusia.
Ratusan penyair dari berbagai negara di Eropa, Asia (Arab), dan Amerika akan berpartisipasi pada acara ini. Tahun ini, X International Literary Festival memasuki tahun ke-10. Demikian diungkapkan komite tinggi penyelenggara Festival Sastra Chekhov, The Union of Writer of Republic Crimea.
Iwan diundang panitia setelah puisi-puisinya resmi dipilih pada September lalu. Salah satu poin pentingnya, puisi-puisi Iwan dinilai mewakili tema negeri kepulauan oriental.
Iwan adalah peraih juara kedua pada International Literary Youth and Students dari The Pushkin Institute pada 2016. Dia juga sebagai penyair Asia pertama yang diundang berpartisipasi pada International Poetry Festival ”Taburetka” di Monchegorsk, Murmansk, pada 2017.
Dalam ranah sastra, penyair asal Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, ini telah menulis tiga buku kumpulan puisi, yaitu Tapisan Jemari (2005), Rontaan Masehi (2013), dan Hoi! (2018), serta sejumlah antologi puisi.
Pada Festival Sastra Chekhov ini, belum pernah ada peserta asal Indonesia yang menembus proses kurasi.
Jika tidak ada halangan dan Iwan jadi tampil di X International Literary Festival ”Chekhov Autumn-2019”, dia adalah orang Indonesia pertama yang membaca puisi dalam acara itu. Dia menulis puisinya dalam tiga bahasa, yakni Indonesia, Inggris, dan Rusia, tetapi hanya puisi berbahasa Indonesia yang akan dia baca. ”Pada Festival Sastra Chekhov ini, belum pernah ada peserta asal Indonesia yang menembus proses kurasi,” kata Iwan dari Moskwa, Selasa (15/10/2019).
Seberapa istimewa pusi-pusi Iwan? Berikut adalah tiga dari enam puisi yang akan dia bacakan nanti.
MUSIM PANAS TERAKHIR
Tidak ada tembakau
hanya biji.
Tidak ada tabu
mawar dan Eros,
cukup untuk hidup.
Moskow, 15 Juli 2019
Puisi ini lahir ketika Iwan mengamati paralihan musim panas ke musim semi. Sebuah proses alam yang kemudian dia ceritakan secara puitik dan metaforis. Puisi ini dapat dimaknai sebagai gambaran bahwa para pelajar Indonesia mau tak mau harus pulang pada Juli hingga Agustus. Visa pelajar umumnya berakhir di bulan-bulan itu. Biasanya, di bulan ini masa visa habis. ”Nah, ada dua cara perpanjang, yaitu pulang ke Indonesia atau keluar sementara ke negara lain sebelum masuk kembali ke Rusia,” kata Iwan yang berencana studi di Rusia hingga empat tahun ke depan.
Dia menambahkan, saat visa habis atau diperpanjang, biasanya ada keraguan-keraguan pelajar Indonesia di sini. ”Sehingga mawar dan eros cukup untuk hidup; artinya hidup ini perlu kesabaran dan kecintaan. Maka, semuanya bisa dilalui secara baik.”
BUMI
Bulan bersinar di gunung
ketika kamu tidak di sini
tidak ada yang bisa menghapus air mata ini, gapai
- satu-satunya kamu.
Matahari terbit pada relung:
ketika orang mencari tanah,
aku memetik bunga di lubang
memilihnya; suara punah.
Ibu, bagaimana kabarmu
pada mimpi semalam, aku melihat kau
musim panas di sini, tetapi musim dingin
- selalu di hatiku.
Dolgorukovskaya, 14 Juli 2019
Puisi ini menggambarkan tentang Tanah Air yang menggunakan simbol kata ”Ibu”. Juga tentang paradoks-paradoks para perantau. ”Orang-orang bekerja dan membeli apartemen, tetapi bagi sebagian orang itu sangat sulit sebab mereka hidup dalam dunia penyewaan kamar atau rumah,” kata Iwan memberi tafsir.
Iwan menulis puisi ini juga sebagai penggambaran betapa kuat ikatan seseorang dengan tanah airnya. Dia bercerita, banyak mahasiswa ikatan dinas (mahid) asal Indonesia yang sejak era Soekarno tidak pulang-pulang ke Tanah Air karena peristiwa 1965. Mereka akhirnya stateless. Mereka menikah dengan orang setempat, beranak pinak, sampai meninggal dan dikuburkan di Moskwa.
”Mereka hanya bisa bermimpi tentang masa remaja mereka dahulu di Indonesia. Mereka sudah mendapatkan hak berkewarganegaraan Indonesia, tetapi usia mereka 70 ke atas sehingga tak mau untuk pulang. Meski sebagian sudah pernah pulang, ada yang tidak pernah pulang sejak tiba di Moskwa pada 1950-an sampai sekarang.”
Iwan menyebut dirinya sebagai pengembara. Sebagian besar puisinya dia tulis di jalan seperti halnya puisi berjudul Silentium, yang ia tulis saat berada di pusat Kota Moskwa. Berada di jalan memungkinkan dia mengobservasi kondisi sosial masyarakat.
Ketika masih di kampung di Nusa Tenggara Timur, dia berpikir bahwa negara-negara Eropa itu kaya-raya. Nyatanya, setelah dia menjejakkan kaki di Eropa, persepsi itu berubah. Baginya, negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, masih lebih kaya, terutama sumber daya alamnya. Kesan itulah yang dia rangkum dalam Silentium.
SILENTIUM
Pagi tiba di luar jendela;
diam dan pucat
tak seorang pun di gubuk, hanya bayangan yang rusak
berdiri dan tertawa di sampingku.
Rumah tanpa bunga
oleh sebab kau jauh
pohon ek menari,
segelas anggur cukup untuk membuka hari baru.
Pagi tanpa kenangan
hanya satu hal yang mengingatkanku; harapan
tidak ada yang bisa menyangkalnya
di sini; rerumputan bergetar di bawah pohon.
Moskow, 1 Juli 2019
”Harapan yang membuat setiap pelajar untuk mencari ilmu di negeri orang dan kelak bisa menerapkannya bagi anak-anak di desa, tempat kita berasal. Pagi tanpa kenangan/hanya satu hal yang mengingatkanku; harapan//. Ini silentium sesungguhnya bagi para pemimpi di era postmodern ini,” tuturnya.