Seniman perempuan unjuk karya. Mereka menuangkan ekspresi keresahan serta kritik para perempuan terhadap isu sosial dan lingkungan lewat pameran.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah seniman perempuan bergabung dalam penyelenggaraan Proyek Seni Perempuan Perupa 2019. Kegiatan ini menjadi wadah ekspresi keresahan dan kritik para perempuan terhadap isu sosial dan lingkungan.
Proyek Seni Perempuan Perupa merupakan agenda tahunan yang digagas oleh Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak 2014. Agenda ini diselenggarakan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 15-29 Oktober 2019.
”Program ini mendukung peran unik perupa perempuan dalam menawarkan kontribusi untuk perkembangan seni kontemporer Indonesia. Ini dilakukan lewat isu domestik, reproduksi, feminisme, dan karakteristik patriarki dalam kebudayaan dan tradisi,” kata Pelaksana Tugas Ketua Dewan Kesenian Jakarta Danton Sihombing, di Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Ada lima perupa yang terlibat, yaitu Citra Sasmita, Dea Widya, Dewi Candraningrum, Prilla Tania, dan Tita Salina. Adapun penyanyi dan akademisi Saras Dewi berlaku sebagai kurator.
Tema yang diangkat tahun ini adalah ekofeminisme dangan judul ”SIklus Buana”. Ekofeminisme merupakan gabungan kata ”ekologi” dan ”feminisme”. Tema tersebut cerminan penolakan terhadap seksisme dan rasialisme. Selain itu, tema juga membahas isu perempuan dan lingkungan.
Ekofeminisme tidak dimaknai sebagai gabungan dari dua kata semata. Ekologi dan feminisme dipandang sebagai dua hal yang mengalami ketidakadilan dan didasari oleh konstruksi sosial yang patriarkat.
”Ekofeminisme itu penyetaraan masalah ekologi dan perempuan yang menghilangkan hierarki. Karya para perupa adalah sebuah undangan untuk berbuat sesuatu dari ilham artistik mereka,” kata Saras.
Salah satu perupa, Citra Sasmita, menampilkan karya yang diberi judul ”Timur Merah Project II, the Harbour of Restless Spirits”. Karyanya merupakan lukisan dari cat akrilik dengan media kulit sapi.
Lukisan tersebut menampilkan puluhan perempuan dalam wujud berbeda-beda yang bersanding dengan alam. Ada wujud perempuan utuh dan ada pula yang tidak. Setiap perempuan yang digambar menggambarkan hutan, laut, dan gunung.
”Perempuan merupakan lambang dari lingkungan dan semesta, contohnya ibu pertiwi. Di tempat saya berasal, Bali, masyarakat yang melihat alam itu seperti melihat saudara atau ibunya. Masyarakat memandang alam bukan sebagai obyek, melainkan subyek,” kata Citra.
Hal tersebut tertuang dalam karya yang dibuat Citra. Perempuan digambar menjadi sosok fluid, kadang menyerupai manusia dan kadang tidak. Setiap gambar merepresentasikan siklus kehidupan di alam dan kekuatan yang alam miliki.
Perempuan kerap dikisahkan menjadi sosok yang menjaga alam semesta. Dalam sebuah keterangan tertulis, mitologi diciptakan untuk melindungi subyek yang dikandung semesta, yakni alam dan perempuan. Mitologi itu menjadi sistem keamanan terakhir dalam pikiran manusia dari perilaku destruktif terhadap alam. ”Misalnya, di Bali jika ada pohon yang dililit kain, masyarakat akan menghormatinya karena dianggap ada entitas yang mendiami pohon itu,” kata Citra.