Penyerangan sekolah di Kota Depok, Jawa Barat, Rabu (16/10/2019), diduga kuat karena permusuhan antarsiswa. Peristiwa ini terjadi kurang dari sepekan setelah pengelola sekolah menghadiri sosialisasi pencegahan tawuran.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany / Andy Riza Hidayat / Aguido Adri
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Konflik antarsiswa kembali terjadi di Kota Depok, Jawa Barat. Sekelompok orang yang diduga dari sekolah lain menyerang Sekolah Menengah Kejuruan Izzata-Arjuna di Jalan Raya Cipayung, Kota Depok, Rabu (16/10/2019) sekitar pukul 05.00. Penyerangan ini diduga dipicu tawuran antarsiswa sehari sebelumnya.
Belajar dari peristiwa tersebut, pencegahan tawuran pelajar tidak cukup dengan menggelar sosialisasi. Pencegahan juga harus dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang terkait aktivitas siswa. Tidak hanya unsur pendidik, tetapi juga orangtua dan masyarakat perlu ikut bertindak.
Penegasan ini disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Depok Mohammad Thamrin kepada Kompas. ”Peristiwa itu terjadi kurang dari seminggu setelah kepolisian memediasi pertemuan antarpihak sekolah, polisi, dinas pendidikan, dan unsur-unsur lain,” kata Thamrin.
Karena itu, tidak cukup dengan pertemuan dan sosialisasi. Tawuran antarpelajar mesti menjadi tanggung jawab semua pihak. Sebab, tidak hanya siswa dan sekolah yang dirugikan, masyarakat umum juga terkena imbasnya. ”Masyarakat juga ikut peduli. Jangan dibiarkan. Mari bersama-sama. Jangan menonton saja,” kata Thamrin.
Rabu dini hari, sekelompok orang tidak dikenal menyerang SMK Izzata-Arjuna di Jalan Raya Cipayung. Akibatnya, enam ruangan dan fasilitas lain rusak. Para penyerang mengendarai sepeda motor dan mempersenjatai diri dengan senjata tajam dan batu dalam aksinya. Mereka merusak kaca-kaca jendela, bangku dan meja, serta buku-buku di dalam ruangan. Sebanyak enam ruangan terdiri dari ruang guru dan lima ruang kelas rusak.
Selain ruangan, mereka juga merusak gerbang masuk dan pos keamanan. Penyerang baru meninggalkan sekolah setelah puas dengan aksinya. Batu-batu yang digunakan untuk melempari ruangan ditinggalkan di lokasi.
Gindo Suhadi (45), pegawai sekolah, mengatakan, penyerangan terjadi saat sekolah masih sepi. Penyerang yang berjumlah puluhan memaksa masuk dengan memanjat dan mengangkat gerbang. Gindo menceritakan, petugas kebersihan yang sedang beraktivitas tidak berani keluar ruangan. ”Penyerang tidak pakai seragam sekolah. Mereka pakai baju bebas. Ada petugas satpam dan petugas kebersihan saat penyerangan, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Gindo kepada Kompas TV.
Kepolisian Resor Kota Depok telah memeriksa empat saksi terkait penyerangan itu. Kapolres Kota Depok Ajun Komisaris Besar Azis Andriansyah menduga penyerangan dipicu tawuran kelompok pelajar sehari sebelumnya.
”Daerah sini beberapa kali tawuran. (Tawuran) kebiasaan anak-anak sini. Kemarin ada tawuran, sepertinya ada balas dendam. Hanya sasarannya bukan anak sekolah secara langsung, melainkan gedung sekolah,” kata Aziz.
Sebelumnya terjadi tawuran antara pelajar SMK Izzata-Arjuna dan SMK Kusuma Bangsa di Jalan Raya Sawangan, Selasa (15/10/2019). Aziz menambahkan, peristiwa serupa tidak boleh terulang. ”Polisi tidak akan membiarkan, tidak bisa dibiarkan. Kami lakukan penegakan hukum secepatnya sampai tuntas,” ujarnya. Imbas tawuran, kegiatan belajar mengajar ditiadakan untuk sementara. Polisi berjaga di sekolah guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Warisan permusuhan
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti menyesalkan peristiwa penyerangan terhadap SMK swasta di Depok. ”Kalau mempelajari polanya yang menyerang dan waktu penyerangan ada kemungkinan kelompok penyerangan merupakan ’musuh bebuyutan’ sekolah yang diserang. Bisa jadi permusuhan tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun. Artinya ada budaya mewariskan permusuhan dan kekerasan dari satu angkatan ke angkatan lain,” kata Retno.
Ia melanjutkan, jika benar dugaan bahwa ada musuh bebuyutan, maka warisan kekerasan, kebencian terhadap sekolah tertentu harus diputus. Untuk memutus mata rantai tersebut perlu dilakukan upaya bersama yang melibatkan seluruh unsur sekolah dan dinas terkait. ”Bisa dilakukan kegiatan bersama antar-kedua sekolah untuk membangun respek dan kesadaran bersahabat bukan bermusuhan. Misalnya lomba-lomba persahabatan di bidang seni dan olahraga serta kegiatan positif lainnya,” kata Retno.