Air Mata untuk Hutan Kalimantan
Deforestasi menjadi ancaman masyarakat adat Dayak yang hidup di Kalimantan Tengah. Hutan-hutan ditukar paksa dengan perkebunan monokultur. Mereka berjuang menolak hingga menggunakan budaya sebagai bentuk perlawanan.
Air mata Rani (45) jatuh saat membacakan puisi dalam besoi atau bermain kata di Festival Rimba Terakhir di Desa Laman Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Rabu (11/9/2019). Festival yang berlangsung hingga Minggu (15/9) itu diinisiasi masyarakat adat Laman Kinipan.
”...Pastilah menang, pasti menang dalam konflik agraria. Maju berdaulat, siap senjata, cukupkan sandang pangan kita, Pasti menang untuk hutan kita,” kata Rani, membacakan penggalan akhir dari besoi itu. Selama jeda membaca antarkalimat, riuh rendah penonton berteriak, ”Kurrrrrrrrrr (ayo)... semangat”.
Saat itu jam menunjukkan pukul 22.00 WIB, tetapi lapangan bola SD Laman Kinipan yang menjadi lokasi festival penuh dihadiri masyarakat dari berbagai desa tetangga dan warga Laman Kinipan. Ramai. Desa tak pernah seramai itu jika tak ada pesta pernikahan atau orang meninggal.
Kali ini berbeda. Festival Rimba Terakhir mengumpulkan ratusan orang selama lima hari, baik siang maupun malam. Seperti malam saat Rani membacakan besoi-nya. Penonton yang mengelilingi panggung di tengah lapangan itu berdiri dan berteriak setiap kali Rani berteriak di penggalan terakhir kalimatnya. Seperti Hardias Sway (50) yang mengepal-ngepalkan tangannya ke udara seperti meninju angin. Bukan tepuk tangan, melainkan sorakan pemberi semangat.
Penonton hanyut dalam teriakan-teriakan Rani. Mereka merasakan semangat yang sama, yakni mempertahankan hutan. Sejak 2018, hutan adat tempat mereka berburu dan sumber mata pencarian dibabat alat berat. Sedikitnya 4.000 hektar hutan, tempat ratusan jenis tanaman dan populasi orangutan, habis dibabat.
Sebelumnya, berbagai aksi unjuk rasa sudah dilakukan untuk melawan perusakan hutan. Hingga akhirnya mereka pun sepakat membuat festival sebagai bentuk perlawanan lewat budaya. Festival juga menyatukan warga yang sempat terbelah karena hadirnya perusahaan perkebunan sawit.
Selama lima hari festival dilaksanakan, terdapat enam perlombaan yang dilaksanakan. Besoi merupakan satu dari enam perlombaan dalam festival itu. Permainan tradisional lainnya adalah babual bajarupis (permainan rakit bambu), kangkurung (musik bambu), menganyam rotan, berayah (berpantun), dan balogok (memukul tempurung kelapa).
Desa Laman Kinipan berjarak sekitar 303 kilometer dari Kota Palangkaraya, ibu kota Kalteng. Jarak itu setara dua kali jarak Jakarta-Bandung. Namun, perjalanan Palangkaraya ke Desa Laman Kinipan membutuhkan waktu lebih kurang 14 jam, melewati perkebunan sawit hingga masuk ke hutan- hutan belantara.
Di lokasi yang diklaim warga sebagai wilayah kelola hutan adat, pepohonan banyak ditebangi perusahaan perkebunan sawit. Padahal, warga kerap berburu dan meramu obat di hutan itu. Kekhawatiran Rani dan warga desa lainnya terus berlanjut karena sampai saat ini perusahaan masih membuka hutan mereka. Pembukaan hutan pun berbuah konflik. Masyarakat sampai saat ini berjuang mencegah pembabatan hutan.
Aspirasi warga yang ingin mempertahankan hutan sudah disampaikan kepada pemerintah di berbagai tingkatan hingga ke pemerintah pusat. Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing mengatakan, setidaknya sudah tiga kali perwakilan Kantor Staf Presiden (KSP) datang ke lokasi pembukaan hutan. Beberapa kali berunding, tetapi belum ada jalan keluar. Yang ada, alat-alat berat terus bekerja membabat hutan.
Festival Rimba Terakhir ditutup dengan bagondang atau menari dan bernyanyi diiringi musik gendang khas Dayak Tomun. Effendi Buhing terlihat berpelukan dengan beberapa warga lainnya,. Setelah itu mereka berpegangan tangan.
”Saya bersyukur, festival ini dibuat tanpa anggaran, tetapi ada yang datang bawa beras dan yang lainnya sampai acara ini sukses dan warga bersatu lagi. Ternyata semangat kami masih ada,” kata Buhing sambil meneteskan air matanya.
Kebakaran hutan
Di bagian timur Kalteng, tepatnya di Desa Tumbang Puroh, Kabupaten Kapuas, Sumeng Kamis (56) menangisi 1.200 pohon karetnya yang terbakar habis. Api merambat dari lahan kosong milik salah satu perusahaan sawit yang terbakar.
Penghasilan Rp 1 juta per bulan dari menyadap karet pun musnah. ”Uang sejuta itu pun saya enggak pernah bisa sadap semuanya (pohon karet),” kata Sumeng Kamis. Sumeng dan ratusan keluarga yang kebunnya terbakar di desa itu hanya bisa meratapi akar-akar pohon karet yang menghitam, hangus, dilumat gambut yang terbakar. ”Sudah harga (karet) jatuh, pohonnya pun terbakar,” kata Sumeng.
Kebakaran di lahan gambut melumat ribuan pohon karet dan sawit milik warga di Tumbang Puroh. Kebakaran diduga berasal dari lokasi pembukaan lahan untuk perkebunan yang tak jauh dari kampung. Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di Indonesia setidaknya 328.000 hektar terbakar dan lebih kurang 189.000 merupakan lahan gambut selama 2019. Di Kalteng, setidaknya 44.769 hektar terbakar sebagian merupakan lahan gambut.
Muliadi, Ketua Yayasan Petak Danum—lembaga nonpemerintah yang peduli lingkungan dan konflik agraria—mengungkapkan, kebiasaan membakar merupakan tradisi suku Dayak saat berladang sejak nenek moyang dulu. Kebiasaan itu diklaim tidak pernah membuat kebakaran hutan dan lahan hingga menjadi bencana asap.
Lahan gambut yang kering menjadi salah satu faktor kebakaran tak terkendali hingga mencemari udara di Kalteng. Suku Dayak sejak dahulu tidak mengelola lahan gambut, atau yang biasa mereka sebut tanah sahep, karena gambut selalu basah, bahkan tergenang. ”Orang Dayak menggunakannya untuk mencari ikan membuat tambak dan kolam, bukan ditanami padi, apalagi sawit,” ungkap Muliadi.
Ia menambahkan, gambut mulai dikelola menjadi perkebunan, bahkan dipaksa menjadi sawah, ketika Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) dilaksanakan pada 1995. Saat itu, kanal-kanal dibuat membelah kubah-kubah gambut yang akhirnya membuat lokasi itu sebagai lokasi yang selalu terbakar.
”Proyek itu kemudian gagal, tidak jadi apa-apa, tak ada yang ditanam. Lalu, tanahnya terbengkalai dan terjadi kebakaran hebat tahun 1997, setelah itu malah diberikan izin di atas tanah terbakar itu dan menjadi perkebunan sawit,” katanya.
Lokasi itu kemudian dijadikan sebagai salah satu lokasi transmigrasi. Banyak transmigran asal Pulau Jawa pun berhasil mengelola gambut. Sejak saat itu, banyak orang kemudian mulai mengelola gambut. Di satu sisi, perizinan perkebunan sawit, pertambangan, dan izin lainnya juga semakin banyak.
Ancaman deforestasi
Hingga saat ini, hutan di Kalimantan terus menyusut. Data Walhi Kalteng menunjukkan, pada 1990 tutupan hutan masih 11,05 juta hektar. Namun, pada 2014, hutan tinggal 7,8 juta hektar karena alih fungsi lahan.
Adapun luas wilayah Kalteng mencapai 15,8 juta hektar. Sekitar 78 persen atau 11,3 juta hektar dikuasai pemegang izin usaha perhutanan ataupun perkebunan, baik yang sudah beroperasi maupun belum.
”Saat ini kondisi di Kalteng itu sedang kritis ekologis karena masifnya eksploitasi sumber daya alam. Kerusakan itu yang akhirnya membuat bencana, seperti kebakaran dan banjir, muncul setiap tahun,” ungkap Direktur Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono.
Ia menambahkan, Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Namun, instruksi tersebut dinilai tidak efektif.
”Ide moratorium yang dilakukan tidak menjadi jawaban dari bencana-bencana yang terjadi, evaluasi tidak pernah dilakukan,” kata Dimas. Pada Desember 2018, Komite Perdamaian Dunia di Indonesia mengganjar Kalteng sebagai ibu kota paru-paru dunia setelah Brasil. Namun kenyataannya, kejadian kebakaran setiap tahun, deforestasi, dan konflik agraria membuat hutan Kalteng berada di ujung kehancuran.
Air mata Rani ataupun Sumeng Kamis jatuh di lahan gambut yang terbakar dan hutan yang tersisa. Rimba terakhir pun terancam menuju kepunahan sehingga warga, seperti Rani dan Sumeng Kamis, kian tak berdaya.