Kabinet Baru Momentum Mempertebal Modal Sosial
Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berfluktuasi. Penyusunan kabinet perlu dijadikan momentum mempertebal modal kepercayaan publik.
JAKARTA, KOMPAS— Penyusunan kabinet menjadi momentum bagi Presiden Joko Widodo untuk mempertebal modal sosial yang sempat tergerus. Untuk menguatkan kepercayaan publik, seyogianya menteri-menteri yang dipilih bisa menggambarkan simbol kerakyatan, rendah hati, berkapabilitas, dan berorientasi pada kinerja.
Dengan karakteristik itu, menteri-menteri bisa diterima dan diapresiasi publik. Tingkat penerimaan masyarakat yang baik akan menjadi modal sosial bagi pemerintahan Presiden Jokowi untuk bekerja pada periode 2019-2024.
Momentum ini perlu dimanfaatkan guna merespons persepsi publik yang fluktuatif terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selama lima tahun terakhir. Hasil survei Litbang Kompas, 19 September-4 Oktober 2019, melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi dengan margin of error +/- 2,83 persen menunjukkan 58,8 persen responden merasa puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla. Tingkat kepuasan ini bukan yang tertinggi dan bukan yang terendah dalam lima tahun pemerintahan Jokowi-Kalla. Tingkat kepuasan publik tertinggi mencapai 72,2 persen, seperti terekam dalam survei April 2018, sedangkan titik terendah ada pada April 2015, yakni 53,8 persen.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor di Jakarta, Rabu (16/10/2019), mengatakan, untuk mempertebal kembali modal sosial, Presiden Jokowi perlu menunjukkan empati pada cara pandang masyarakat akar rumput, bukan hanya mempertimbangkan pandangan elite politik.
Selain itu, penyusunan kabinet sebagai kewenangan presiden, menurut Firman, bisa menjadi momentum menentukan bagi pemerintahan 2019-2024 dalam meraih modal sosialnya kembali. Menteri-menteri yang dipilih hendaknya bisa menggambarkan simbol-simbol kerakyatan, rendah hati, berkapabilitas, dan tidak menghadirkan nuansa politis yang tinggi.
”Menteri-menteri harus bisa diterima oleh masyarakat, prorakyat, humble, dan bisa meningkatkan trust kepada pemerintah,” kata Firman.
Peneliti Center for Strategic and International Studies Jakarta, Arya Fernandes, mengatakan, Presiden Jokowi perlu mengatur prioritas pada periode kedua pemerintahannya guna mewujudkan janji-janji dan programnya saat kampanye Pemilu 2019.
”Ujian pertama ada pada penentuan kabinet profesional, yang diisi orang-orang tanpa konflik kepentingan, sehingga prioritasnya betul-betul bekerja,” kata Arya.
Sebaliknya, kabinet yang terlalu berat pada kader-kader dari partai politik pendukung dikhawatirkan bisa membuat Presiden Jokowi makin sulit mengambil keputusan yang berpihak kepada rakyat. Apalagi jika disertai koalisi pendukung pemerintahan yang terlalu gemuk.
Hasil survei Litbang Kompas juga menunjukkan kepuasan tertinggi masyarakat ada pada kinerja pemerintah di bidang politik dan keamanan (64,3 persen), diikuti sosial (59,4 persen), ekonomi (49,8 persen), dan hukum (49,1 persen).
Terkait persepsi masyarakat tersebut, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, mengatakan, Presiden Jokowi pada periode terakhirnya memiliki kesempatan untuk menuntaskan program-program yang belum dilaksanakan pada periode sebelumnya. Berdasarkan orientasi itu, ia bisa menentukan menteri-menteri yang sekiranya mampu membuat terobosan.
”Jika kabinet yang dihasilkannya mampu membuat terobosan-terobosan itu, ditopang dengan kepemimpinan yang merakyat, modal sosial (pemerintahan) Jokowi akan kembali,” kata Arie.
Arie berpendapat, integritas kabinet, soliditas menteri, dan kemampuan kabinet dalam merespons tantangan-tantangan ke depan juga akan memengaruhi persepsi publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi lima tahun ke depan.
Penyebab tergerus
Tergerusnya modal sosial pemerintahan Jokowi dinilai dipengaruhi banyak faktor.
Menurut Firman, unjuk rasa mahasiswa pada September 2019 yang menolak sejumlah rancangan undang-undang, termasuk revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, menunjukkan muncul riak-riak ketidakpuasan publik terhadap pemerintah dan parlemen, terutama dalam pembuatan regulasi.
Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla, kata Firman, agak goyang karena kebijakannya dalam beberapa waktu terakhir dipandang tidak sejalan dengan keinginan sebagian masyarakat.
Masyarakat masih memerlukan penguatan-penguatan simbol kedaulatan rakyat dan demokrasi, seperti elemen kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat. Rakyat menginginkan hal itu juga ditunjukkan oleh pemerintahan Jokowi-Kalla.
Selain itu, Arie berpendapat, turunnya modal sosial Jokowi juga bisa dipicu oleh ketegangan politik yang cukup berat yang merupakan rentetan dari Pilkada DKI Jakarta 2017, Pemilihan Presiden 2019, dan penebalan politik identitas.
”Wajar jika modal sosial (pemerintahan) Jokowi turun dibandingkan dengan saat pertama kali dirinya terpilih tahun 2014. Sebab, ketika itu ia muncul sebagai bagian dari politik harapan di mana ketegangan politik tidak seketat sekarang,” kata Arie.
Pengaruh media sosial
Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Program Pemerintahan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Arif Wibowo mengatakan, mengembalikan kepercayaan publik akan menjadi tantangan besar periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Satu-satunya cara ialah fokus menjalankan kebijakan dan program yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat.
Untuk itu, kata Arif, dibutuhkan dukungan politik yang kuat dari Dewan Perwakilan Rakyat. Terkait hal ini, beberapa waktu terakhir, serangkaian pertemuan silaturahmi dilakukan Jokowi bersama sejumlah ketua umum partai politik. Faktor itu juga yang membuat Jokowi dan koalisi partai pendukungnya tengah mempertimbangkan menambah anggota koalisi.
Hanya saja, Arif meyakini, faktor yang cukup memengaruhi turunnya apresiasi masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla ialah permainan opini di media sosial. Menurut dia, penurunan kepercayaan itu tak serta-merta terjadi karena kinerja pemerintahan yang buruk.
Pada masa mendatang, menurut Arif, pemerintah perlu memperbaiki pola komunikasi ke publik serta menyamakan persepsi menteri dan elite di sekitar Jokowi dalam menyikapi isu yang berkembang.
(AGE/REK)