Berita utama harian ini, Rabu 16 Oktober 2019, menulis dalam judul besar, ”Kepala Daerah Belum Berubah”. Bupati dan pejabat negara ditangkap karena korupsi.
Berita itu mengutip keterangan pers Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang penangkapan Bupati Indramayu, Jawa Barat, Supendi dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Indramayu. Supendi baru delapan bulan menjabat dan menjadi kepala daerah ke-121 yang dijadikan tersangka sejak 2004. Untuk tahun 2019, Supendi adalah kepala daerah kedelapan yang ditangkap KPK. Selain di Indramayu, pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga ditangkap di Kalimantan Timur.
Belum selesai kasus Supendi dibahas, Rabu 16 Oktober 2019, melalui portal berita, publik kembali dikejutkan oleh operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Wali Kota Medan Dzulmi Eldin. Serial penangkapan sejumlah kepala daerah karena korupsi itu menyedihkan sekaligus memuakkan. Namun, penafsiran atas fakta itu bisa saja berbeda.
Ada narasi yang menyebutkan, banyaknya kepala daerah yang ditangkap KPK bukanlah ukuran keberhasilan KPK. Ukuran keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia justru kalau tak ada lagi penyelenggara negara yang ditangkap. Pengusung narasi ini mau mengatakan, jika tak ada lagi pejabat yang ditangkap KPK, berarti tak ada lagi korupsi di Indonesia. Penangkapan sejumlah pejabat negara juga diteorikan bakal menghambat iklim investasi di Indonesia. Namun, ada juga narasi lain, yang dibangun sebaliknya.
Elite bangsa ini sebenarnya sedang sakit. Ada perang narasi soal pemberantasan korupsi. Ada keinginan memoderasi pemberantasan korupsi. Ada kelompok yang serius ingin memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, tetapi ada juga kelompok yang ingin mengubah arah dengan mengedepankan aspek pencegahan. Kelompok ini disebut Vishnu Juwono dalam buku Melawan Korupsi sebagai kelompok konservatif dan oligarki yang hidup dari ekonomi korupsi.
Melihat realitas yang ada, kita harus sampai pada kesimpulan, korupsi adalah salah satu ancaman serius bagi republik ini. Entah bagi elite politik. Keterbelahan elite dan massa, partai politik dan massa, soal pemberantasan korupsi itulah yang kita rasakan sekarang. Kamis 17 Oktober 2019, Undang-Undang KPK yang telah direvisi berlaku. Terlepas ditandatangani atau tidak oleh Presiden Joko Widodo, konstitusi mengatakan, tiga puluh hari setelah disahkan, undang-undang akan berlaku.
Dengan berlakunya UU KPK hasil revisi, operasi tangkap tangan susah dilakukan KPK. Operasi tangkap tangan selalu diawali penyadapan. Penyadapan harus mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas. Izin Dewan Pengawas baru akan terbit setelah dilakukan gelar perkara. Sesuatu yang sulit dilakukan. Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, KPK tetap bisa bekerja sesuai dengan undang-undang lama.
Situasi itu yang kini dirasakan. Teralienasinya aspirasi elite dan massa. Kita kutip pernyataan pemenang Nobel Kosta Rika, Oscar Arias Sanchez, yang masih relevan. ”Skandal korupsi berkepanjangan membuat rakyat frustrasi. Perlawanan muncul di sejumlah negara. Partai politik yang menjadi benteng utama demokrasi sedang digoyang korupsi. Tatkala partai politik ditinggalkan, demokrasi akan lumpuh.” Semoga tidak.