Pencegahan kasus penyalahgunaan data pribadi nasabah layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi sulit dilakukan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencegahan kasus penyalahgunaan data pribadi nasabah layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi sulit dilakukan. Sebab, kasus baru bisa ditindaklanjuti jika nasabah yang menjadi korban melapor kepada penegak hukum.
”Kebanyakan korban penyalahgunaan data pribadi hanya menulis keluhan di media sosial dan tidak melaporkan ke polisi. Sebab, berdasarkan delik aduan, penegakan hukum sulit dilakukan. Kesulitan bertambah takkala penyalahgunaan dilakukan penyedia layanan ilegal,” ujar Wakil Ketua Pengurus Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko dalam diskusi Potensi dan Tantangan Digitalisasi Keuangan untuk Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Rabu (16/10/2019), di Jakarta.
Dalam keterangan pers pada 12 Desember 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan telah melarang penyelenggara aplikasi legal mengakses daftar kontak seluler, berkas gambar, dan informasi pribadi dari ponsel pintar nasabah. Penyelenggara wajib memenuhi segala ketentuan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/2016 dan POJK Nomor 18/2018 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara Bertanggung Jawab yang diterbitkan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) turut mengatur perlindungan data pribadi. Pada pokok ketiga penerapan prinsip itikad baik disebut larangan pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data pribadi yang dilakukan tanpa persetujuan nasabah.
Sunu menambahkan, kedua ketentuan ini diberlakukan bagi penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi terdaftar dan berizin.
Sementara itu, di luar entitas legal, dia mengakui, perusahaan pinjam-meminjam ilegal masih banyak beredar di pasar. Teknologi yang dipakai kian canggih.
Sebelumnya, OJK menyampaikan, tingkat inklusi keuangan di Indonesia per September 2019 sebesar 75 persen terhadap total penduduk, atau melebihi target yang ditetapkan sampai dengan akhir 2019. Pada 2016, tingkat inklusi keuangan sekitar 67,8 persen.
Sementara tingkat literasi keuangan di Indonesia pada awal 2019 baru mencapai 31 persen. OJK menargetkan, sampai dengan akhir 2019, tingkat literasi keuangan naik menjadi sekitar 35 persen.
Menurut Sunu, semakin tinggi tingkat inklusi keuangan, berarti semakin banyak warga memperoleh akses terhadap layanan finansial. Namun, tingkat inklusi yang tinggi tidak selalu mencerminkan tingkat literasi keuangan masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan literasi harus selalu dilakukan.
”Literasi jangan sampai terputus. Pengawasan kepada penyedia terdaftar/berizin mudah karena ada asosiasi dan OJK. Kami berharap sudah saatnya ada peraturan perundang-undangan perlindungan pribadi sehingga pengawasan kasus penyalahgunaan data pribadi semakin kuat, tidak hanya untuk kasus industri pinjam-meminjam uang,” katanya.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi Tongam L Tobing, yang ditemui terpisah, menyebutkan, pihaknya menindak ratusan penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi ilegal. Penawaran pinjaman disebarluaskan melalui aplikasi, media sosial, dan pesan pendek. Tidak jarang, pelaku menjual data pribadi nasabah, seperti nomor kontak telepon seluler dan data yang tersimpan di ponsel pintar.
Tongam Tobing menambahkan, Satgas Waspada Investasi sudah pernah bertemu pihak Google untuk bersama-sama memberantas peredaran aplikasi penyedia layanan pinjam-meminjam uang ilegal. Namun, pertemuan itu tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Google mengaku setiap hari menerima pendaftaran aplikasi berjumlah besar sehingga kesulitan menyisir aplikasi penyedia layanan pinjam-meminjam yang belum mendaftar atau berizin di OJK.
Ia menambahkan, sampai saat ini, jalan tengah mengatasi lebih banyak korban penyalahgunaan data pribadi, khususnya dari penyedia ilegal, adalah terus menjalankan kegiatan literasi.
”Ada sejumlah warga Indonesia yang cenderung suka berutang untuk membayar transaksi yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Kemudahan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi malah disalahgunakan,” katanya.
Kanit Tipideksus Bareskrim Polri Komisaris Setyo Bimo Anggoro mengemukakan, laporan pengaduan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi menyebar dari tingkat polda dan polres. Mayoritas laporan pengaduan terkait kejahatan siber, yakni penyalahgunaan data pribadi, diterima tim Cyber Crime Polri.
”Hampir semua laporan masuk berkaitan dengan penyedia layanan ilegal. Kami bahkan pernah menerima laporan warga yang menggunakan beberapa layanan penyedia ilegal sekaligus,” ujarnya.
Di luar persoalan penyalahgunaan data pribadi, Setyo menceritakan, pihaknya sekarang mencurigai aktivitas pendanaan terorisme melalui platform pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Pelacakan jejak kegiatan kejahatan seperti itu lebih sulit. (MED)