Kesiapan negara menentukan keberhasilan liberalisasi pergerakan tenaga kerja profesional di kawasan ASEAN. Dibutuhkan komitmen bersama guna memperbaiki regulasi-regulasi penghambat masuknya pekerja asing ke negara ASEAN.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Kesiapan negara menentukan keberhasilan liberalisasi pergerakan tenaga kerja profesional di kawasan ASEAN. Dibutuhkan komitmen bersama untuk memperbaiki regulasi-regulasi penghambat masuknya pekerja asing antarnegara ASEAN.
Guru Besar Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Lindawati Gani mengatakan, liberalisasi pergerakan tenaga kerja profesional bagian dari upaya mewujudkan masyarakat ekonomi ASEAN tahun 2025. Salah satu pergerakan tenaga kerja yang diliberalisasi adalah akuntan profesional.
Akuntan profesional termasuk jasa profesi yang sudah difasilitasi ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dalam perjanjian saling pengakuan antarnegara ASEAN (ASEAN Mutual Recognition Arrangement/MRA). Mereka yang memenuhi kualifikasi dapat bekerja di 10 negara anggota ASEAN.
”Tantangan menerapkan liberalisasi tenaga kerja bergantung pada kesiapan negara, yang juga akan menentukan kesiapan pebisnis dan sektor publik lainnya,” ujar Lindawati, yang juga juga anggota Ikatan Akuntansi Indonesia, dalam Konferensi Pertama ASEAN Chartered Professional Accountant (CPA) di Nusa Dua, Bali, Kamis (17/10/2019).
Menurut Lindawati, negara anggota ASEAN yang sudah menyepakati ASEAN MRA seharusnya mulai membenahi regulasi tenaga kerja. Misalnya, akuntan profesional yang sudah memiliki sertifikat ASEAN CPA bebas visa. Proses administrasi dan birokrasi juga bisa dipermudah.
Mengutip data ASEAN, pemegang sertifikat ASEAN CPA per September 2019 mencapai 3.770 orang. Indonesia menjadi negara pemegang sertifikat ASEAN CPA terbanyak, yakni 1.291 orang, selanjutnya Malaysia (873 orang), Thailand (593 orang), Singapura (592 orang), Myanmar (402 orang), dan Filipina (18 orang).
Akuntan pemilik sertifikat ASEAN CPA bukan hanya menguasai teori dan praktik akuntansi secara umum. Mereka juga harus mengetahui peraturan akuntansi lokal di negara-negara ASEAN secara spesifik, seperti perpajakan. Akuntan bersertifikasi ASEAN CPA juga mesti memahami peraturan undang-undang yang berlaku di setiap negara.
”Saat ini harus dipastikan, bagaimana negara-negara anggota ASEAN ini bersedia untuk saling menerima dengan fasilitas itu,” kata Lindawati.
Menurut dia, liberalisasi pergerakan akuntan profesional di kawasan ASEAN juga mesti dibarengi dengan perbaikan sistem pendidikan. Akuntan adalah profesi yang sangat terkait dengan kepercayaan dan etika publik. Untuk itu, standar kompetensi di setiap negara juga harus diperbaiki.
Ketua Bidang Sertifikasi Institut Manajemen Akuntan Indonesia Agung Nugroho Soedibyo menuturkan, peta jalan ASEAN MRA untuk jasa akuntansi harus dieksekusi secara berkelanjutan. Implementasi kebijakan harus dimulai dari membenahi regulasi, melakukan promosi, menilik prospek bisnis, baru kemudian meliberalisasi pergerakan pekerja.
Potensi klien jasa akuntansi mencapai 30.000 orang atau korporasi. Potensi itu mencakup korporasi asing, BUMN, institusi pemerintah daerah, lembaga pendidikan, organisasi nonprofit, dan berbagai sektor publik lainnya.
”Peta jalan ASEAN MRA dari tahun 2014 dimulai dari pemerintah ke pemerintah, pemerintah ke pebisnis, pebisnis ke pebisnis, baru orang ke orang,” katanya.
Potensi jasa akuntansi
Agung menambahkan, liberalisasi pergerakan tenaga kerja berarti memutar uang lebih luas. Pasar keuntungan bisnisnya cukup besar, terutama jasa akuntansi. Setidaknya ada empat keuntungan liberalisasi pergerakan tenaga kerja ASEAN, yaitu transfer teknologi, jejaring bisnis, daya saing, dan pertukaran informasi.
Di Indonesia, misalnya, potensi klien jasa akuntansi mencapai 30.000 orang atau korporasi. Potensi itu mencakup korporasi asing, BUMN, institusi pemerintah daerah, lembaga pendidikan, organisasi nonprofit, dan berbagai sektor publik lainnya.
”Potensi ekonomi jasa akuntansi sangat besar, apalagi sebagian penduduk ASEAN di masa depan adalah kaum milenial,” ujar Agung.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perluasan pasar harus dibarengi dengan pemberdayaan tenaga kerja lokal agar tidak ada satu pun negara yang tertinggal. Indonesia, misalnya, harus menyiapkan sistem pendidikan akuntansi yang berpatokan pada ASEAN CPA.
”Jangan sampai ada negara yang kalah karena kehilangan kesempatan. Banyak hambatan untuk menerapkan perjanjian ini,” kata Sri Mulyani.
Adapun Konferensi I ASEAN CPA diselenggarakan Kementerian Keuangan dan Sekretariat ASEAN bersama Ikatan Akuntan Manajemen Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia, Ikatan Akuntan Publik Indonesia, dan ASEAN Federation of Accountants.