Mengimpikan Dunia yang Harmonis
Kerja sama Nahdlatul Ulama dengan Vatikan perlu terus didorong agar setiap kesamaan yang ada di setiap agama dikembangkan bersama, sekaligus menghargai perbedaan yang terdapat di dalamnya.
Dari atas podium, dengan suara bariton, Paus Fransiskus menyapa peserta audiensi umum (Udienza Generale) di halaman Basilika Santo Petrus, Vatikan. Mereka datang hanya untuk mencari berkah dan melihat Paus. Massa berjumlah puluhan ribu itu datang dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Indonesia.
Sesuai dengan jadwal, Rabu (25/9/ 2019) itu, audiensi umum akan dimulai pukul 09.30 waktu setempat. Akan tetapi, sejak pukul 06.00, ribuan orang rela mengantre di beberapa pintu masuk halaman Basilika. Di pintu Angelica, antrean berjejer tiga sepanjang lebih dari 100 meter.
Udara sedikit panas, suhu berkisar 20-23 derajat celsius, tak membuat pengunjung beringsut. Mereka tertib mengantre dengan memegang tiket gratis, yang mesti diambil sehari sebelumnya.
Ratusan pasangan lengkap dengan baju pengantin telah lebih dahulu berada di dekat podium di halaman Basilika. Mereka datang dari sejumlah negara, di antaranya Jerman, Denmark, Filipina, dan beberapa negara Afrika. Mereka sudah menikah di negaranya, tetapi ingin mendapat pemberkatan langsung dari Paus.
Suasana hening saat protokol memberi tahu Paus Fransiskus dengan mobil bak terbuka memasuki halaman Basilika. Paus berdiri melambai-lambaikan tangan ke arah peserta yang tertib duduk di kursi.
Dari mobil, Paus menuju podium disambut beberapa pastor dan pasukan pengamanan dari Swiss. Paus pun lalu menyapa hadirin dengan suara bariton, yang terasa sejuk penuh kedamaian. Lalu, secara bergantian beberapa pastor membacakan ayat-ayat suci dalam beberapa bahasa dunia, termasuk bahasa Arab. Seusai pembacaan ayat-ayat suci itu, Paus menutup dengan doa. Dalam semua ayat dan yang dibacakan para pastor dan Paus, terkesan bagaimana Gereja dan Paus menitikberatkan pada keadilan dan humanisme (kemanusiaan).
Dialog
Rombongan kami dari Jakarta yang dipimpin Katib Am Syuriah PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, dan Uskup Pontianak Mgr Agustinus Agus datang ke Vatikan untuk mengundang Paus Fransiskus ke Indonesia. PBNU mengundang Paus hadir pada pertemuan tokoh agama sedunia tahun depan di Jakarta.
Baca juga: Dialog Antaragama Bisa Terus Dikembangkan
Sebelum bertemu Paus, Rabu itu juga, KH Yahya bertemu Sekretaris Pontifical Council for Interreligious Dialogue Vatican Mgr Indunil Kodithuwakku. Kepada Pastor Indunil, KH Yahya menyerahkan keputusan Munas Alim Ulama di Banjar Patroman, Jabar. Munas, antara lain, memutuskan menghilangkan sebutan kafir bagi warga negara Indonesia yang tidak beragama Islam.
Kepada Pastor Indunil, KH Yahya menyerahkan keputusan Munas Alim Ulama di Banjar Patroman, Jabar, yang antara lain memutuskan menghilangkan sebutan kafir bagi warga negara Indonesia yang tidak beragama Islam.
”Keputusan itu diambil sebagai langkah untuk merekontekstualisasi pemahaman keragaman umat dan bangsa. Hal ini penting dilakukan untuk menghindarkan konflik atas nama agama ke depan,” ujar KH Yahya.
Dialog antaragama akan saling mengenalkan ajaran dan pemahaman setiap agama, baik di tingkat elite maupun pemeluknya. Dengan demikian, kerja sama Nahdlatul Ulama dengan Vatikan perlu terus didorong agar setiap kesamaan yang ada di setiap agama dikembangkan bersama sekaligus menghargai perbedaan yang terdapat di dalamnya.
”Kami semua ingin menjadi pencipta kedamaian, bukan perusak kedamaian,” ujar Indunil yang didampingi Pastor Markus Solo, yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sudah 12 tahun mengabdi di Vatikan. ”Kami punya sejarah hubungan dengan NU cukup lama dan kami tahu bagaimana pandangan serta pemahaman keagamaan NU. Dulu, Gus Dur biasa keluar-masuk Vatikan, tetapi sudah lama tak ada pimpinan NU yang berkunjung ke sini,” kata Romo Markus.
Menurut Indunil, tahun ini Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb yang difasilitasi Uni Emirat Arab menandatangani Deklarasi Abu Dhabi. Deklarasi ini, antara lain, berisi ”menghentikan penggunaan nama Tuhan untuk menghalalkan kekerasan, terorisme, dan pembunuhan serta berhenti menggunakan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.” ”Itu (deklarasi) bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Hal seperti ini yang mesti kita dorong ke depan,” ujarnya.
Baca: Al-Azhar-Vatikan Membuat Sejarah
Mengundang Paus
Ketika bertemu Paus, seusai audiensi umum di halaman Basilika Santo Petrus, KH Yahya juga menyampaikan hasil Munas Alim Ulama NU. ”Kami (tokoh agama) harus jadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Kehadiran Paus di Indonesia nanti sangat penting,” kata KH Yahya.
Yaqut Cholil Qoumas menambahkan, GP Ansor membawa misi mendukung dokumen Human Fraternity for World Peace and Living Together yang dikampanyekan Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed al-Tayeb. ”Ketika bertemu dan bersalaman dengan Paus, kami memberikan dokumen GP Ansor Declaration on Humanitarian Islam atau Deklarasi GP Ansor tentang Islam untuk Kemanusiaan,” ucap Yaqut.
Deklarasi GP Ansor tersebut memuat seruan untuk membangun konsensus global demi mencegah dijadikannya agama, khususnya Islam, sebagai senjata politik. Agama seharusnya menjadi solusi perdamaian dan bukan sumber konflik. ”Humanitarian Islam ini juga dimaksudkan untuk memupus maraknya kebencian komunal melalui perjuangan untuk mewujudkan tata dunia yang ditegakkan di atas dasar penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat bagi setiap manusia,” katanya.
Toleransi tak cukup
Menurut KH Yahya, di tengah kondisi global yang kian tak menentu, rakyat Indonesia harus mengambil sikap untuk melawan tindakan yang memecah belah bangsa. Toleransi semata tidak cukup karena upaya memecah belah bangsa terbukti membuat hampir semua negara di Timur Tengah tak lagi mampu berpikir mencari jalan keluar bagi bangsanya sendiri.
”Kita tidak boleh menoleh ke belakang. Terlalu banyak alasan yang bisa membuat semua umat beragama terlibat dalam konflik. Jika menoleh ke belakang, Perang Salib selama ratusan tahun itu telah membuat umat Islam dan Kristen punya banyak alasan untuk saling membenci,” ujar KH Yahya di depan rohaniwan Katolik di Kedutaan Besar RI untuk Takhta Suci, Roma, Kamis (26/9/2019).
”Selama ini kita lebih banyak diam serta melawannya dengan wacana toleransi dan mengedepankan cinta kasih atau rahmah dalam bahasa Islam. Hal itu ternyata tidak cukup. Saatnya kita melawan dan bergerak bersama-sama,” ujarnya.
Selama ini kita lebih banyak diam serta melawannya dengan wacana toleransi dan mengedepankan cinta kasih atau rahmah dalam bahasa Islam. Hal itu ternyata tidak cukup. Saatnya kita melawan dan bergerak bersama-sama.
Kerja sama NU dengan para sahabat Katolik, kata Yahya, tidak cukup hanya seperti yang selama ini dilakukan. ”Kita harus berani mengambil sikap decisive dan terencana. Kalau memang harus berbenturan, ya, kita lawan, tak boleh lagi diam. Ini yang pernah saya minta kepada GP Ansor saat ada kirab di Jatim sebelum HTI dibubarkan,” katanya.
Baca juga: Toleransi Saja Tidak Cukup
Yaqut menambahkan, GP Ansor akan terus bergerak untuk melawan radikalisme dan sikap intoleran. ”Sangat banyak warga negara kita yang baik, tetapi tidak bersuara,” ujarnya. Beberapa pastor yang hadir menyampaikan pengalamannya bekerja sama dengan Ansor. Pastor Agus dari Yogyakarta mengakui dapat memimpin misa Natal dan Paskah dengan tenang karena kehadiran Banser.
”Bahkan, jauh hari sebelum Natal, beberapa teman Ansor ikut hadir dalam rapat kepanitiaan. Ini yang membuat kami tenang,” ujar Agus yang sudah tiga tahun berada di Vatikan. Menurut Yahya, ketika Barat mulai mengenalkan dan menggaungkan humanisme yang didasarkan pada Kristen, mereka cepat bergerak maju. ”Sekarang Barat jauh lebih maju meski masih menyisakan beberapa hal, seperti di Irlandia itu,” katanya.
Kerja sama
Seusai menghadiri audiensi umum, KH Yahya mengunjungi Pontifical Institute of Arabic and Islamic Studies (PISAI) untuk menjajaki kemungkinan kerja sama. Kerja sama akan kian memperkaya khazanah Islam dari perspektif berbeda yang dikembangkan PISAI. ”Kami mengkaji Islam dari sumber asli berbahasa Arab dan dari perspektif kami sebagai orang Katolik,” ujar Diego Sarrio Cucarella, Direktur PISAI.
Di perpustakaan PISAI terdapat sebagian besar kitab yang biasa dikaji di pesantren Indonesia. ”Kalau orang luar Islam saja sebegini hebat mengkaji, kita mestinya bisa lebih maju,” kata Yahya.
Cucarella menyatakan, terbuka bagi warga NU yang ingin belajar di PISAI. ”Kami senang jika ada warga NU mau belajar di sini. Syaratnya, harus bisa bahasa Arab. Untuk jurnal atau menulis karya ilmiah, kami menggunakan bahasa Italia dan Inggris. Tetapi, seluruh mahasiswa di sini harus fasih berbahasa Arab,” katanya.
Menurut Cucarella, PISAI memiliki sekitar 40.000 buku yang sebagian besar dikenal di Indonesia dengan kitab kuning. Di samping itu, PISAI berlangganan 900 jurnal dan 250 manuskrip tentang Islam. ”Kami membuka diri untuk bekerja sama soal keilmuan Islam. Saya sendiri pernah ke Bali untuk menghadiri undangan diskusi soal agama dan demokrasi,” ujarnya.
Romo Marcus Solo yang mendampingi Cucarella menambahkan, NU sudah mengembangkan apa yang dikenal dengan Islam Nusantara. Nusantara adalah sebutan lain untuk Indonesia. ”Itu Islam yang berkembang dan dikembangkan oleh umat Islam yang hidup dan ada di Nusantara. Jika kami melihat Islam dari perspektif Katolik, dan NU dari perspektif Nusantara, mungkin ada sesuatu yang bisa dikembangkan dalam kajian keilmuan ke depan,” katanya.
Yahya menambahkan, kerja sama keilmuan dengan PISAI bisa dilakukan sejauh setiap pihak menghormati hasil kajian masing-masing. ”Menarik, misalnya, adakah hasil kajian PISAI terkait soal hubungan agama dan negara dalam perspektif Islam,” katanya.