Tangkeno, Pentas Perjuangan di Bombana
Ratusan orang bergerak senada membentuk lingkaran besar. Bergamit tangan, mereka mengikuti irama Molulo, penanda rangkaian Festival Tangkeno tuntas. Sebuah festival yang merayakan kekerabatan, sekaligus ikhtiar perjuangan menjaga tanah dari rongrongan perusakan alam di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
Malam semakin larut, namun pengunjung penutupan Festival Tangkeno, pertengahan September lalu, tidak jua susut. Di depan sebuah panggung besar, ratusan orang bergerak seirama dalam gerakan Molulo, tarian yang diadaptasi dari tari Lulo, tari tradisional dari Sulawesi Tenggara.
Tua-muda, lelaki-perempuan, bergerak ke kiri dan ke kanan sembari saling menggamit tangan. Irama rancak dari pelantang menjadi pengiring mereka bergerak seirama di plaza pertunjukan yang ada di Desa Tangkeno, Kabaena, Kabupaten Bombana, Sultra.
”Festival ini sudah yang ketujuh. Kami mengadakan banyak kegiatan dan perlombaan. Dari lomba tari Lulo Alu, Lumense, cerita rakyat, pawai budaya, dan lainnya. Kami berusaha menampilkan khazanah dan budaya yang ada di wilayah ini,” kata Janariah, Kepala Dinas Pariwisata Bombana.
Festival Tangkeno menjadi salah satu agenda tahunan pariwisata di tingkat provinsi sejak 2017 lalu. Meski tidak seramai biasanya, Dinas Pariwisata Bombana ingin agar festival ini terus tumbuh dan menjadi daya tarik baru bagi siapa saja yang ingin mengenal Tangkeno dan Kabaena secara luas.
Festival ini diadakan untuk memupuk kekerabatan warga di Pulau Kabaena. Warga dari wilayah timur dan barat bertemu di tengah, yaitu di Desa Tangkeno. Selama ini, kekerabatan warga berkurang seiring waktu. Terlebih, wilayah di Kabaena telah dikelilingi pertambangan yang membuat warga terbelah.
”Di sini banyak tambang dan terjadi perubahan sosial di masyarakat. Karena itu, budaya dan wisata harus tetap dilestarikan. Sekaligus untuk terus mempertahankan kekerabatan warga,” kata Janariah.
Desa Tangkeno berada di lereng Gunung Sabampolulu, bagian dari deretan Pegunungan Sangia Wita, Pulau Kabaena. Desa dengan luas 68 hektar ini tepat berada di bagian paling tinggi pulau yang berada di selatan jazirah Sulawesi bagian tenggara. Terletak di ketinggian, topografi desa ini berbukit-bukit dengan pemandangan yang menyejukkan mata dan perasaan. Desa yang terkenal dengan alamnya yang dingin dan sering kali tertutup awan ini dijuluki ”Negeri di Awan”.
Tanah di Tangkeno berwarna merah. Jalan tanah, lembah, dan tepian bukit juga memerah. Tiga gunung yang berada dalam jejeran Pegunungan Sangia Wita itu tandus dan tanpa pohon. Dari jauh, gunung ini serupa gunung berapi atau gunung berpasir. Beragam batuan mineral berserakan. Kadar nikel di kawasan ini diprediksi memiliki nilai yang tinggi.
Penolakan tambang
Syahrul, pendamping masyarakat Desa Tangkeno dan Kabaena, menuturkan, festival ini merupakan upaya untuk menjaga Tangkeno agar tidak terus digerus pertambangan. Terlebih, gelaran ini sebagai penanda Desa Tangkeno telah diakui sebagai desa wisata.
Festival Tangkeno, yang berlangsung sejak 2013 lalu, merupakan kegiatan tahunan yang telah menjadi agenda pariwisata kabupaten, lalu naik tingkat ke provinsi. Awalnya, kegiatan ini disebut Festival Seni Budaya Kabaena. Berbagai kegiatan budaya dan pertunjukan seni dari Tangkeno dan Kabaena dipentaskan.
Abdul Madjid Ege (70), Kepala Desa Tangkeno, sejak awal menyayangkan terbitnya surat izin usaha pertambangan yang areanya melingkupi Desa Tangkeno. Keberadaan pertambangan dikhawatirkan merusak bentang alam Tangkeno. Selain itu, sumber mata air di Pulau Kabaena yang memiliki luas 873.000 hektar itu dikhawatirkan juga akan hilang.
”Jadi, saya menolak kehadiran tambang,” ucap Madjid, dengan peci hitam yang tidak pernah lepas dari kepalanya. Mendapat penolakan, perusahaan tambang tidak bergeming. Mereka datang dan datang lagi menemui Madjid dengan alasan telah memiliki izin eksplorasi yang lengkap.
Orang suruhan perusahaan bahkan pernah diam-diam mengambil sampel tanah di Tangkeno. Namun, Madjid dengan tegas menyuruh orang itu untuk mengembalikannya. Baginya, pertambangan hanya akan merusak hidup warga dan tidak menyisakan apa-apa untuk hidup anak cucu ke depan.
Perjuangan menolak tambang menemui titik terang. Peta izin usaha pertambangan (IUP) yang awalnya memasukkan kawasan Tangkeno telah mengeluarkan kawasan itu. Dalam peta IUP milik PT Bakti Bumi Sulawesi yang tertera dalam daftar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, misalnya, awalnya mencakup area seluas 5.000 hektar dan selanjutnya menciut menjadi 4.888 hektar.
Sebanyak 112 hektar, yang di dalamnya termasuk kawasan Desa Tangkeno, telah dikeluarkan. Nining Rahmawati, Kepala Seksi Pemetaan WIUP dan Pemberian IUP Mineral Logam dan Batubara Dinas ESDM Sultra, menyebutkan, perusahaan tersebut telah mengubah luas IUP sejak keluarnya izin produksi pada 2012 lalu. Dengan keluarnya izin tersebut, perusahaan secara legal bisa melakukan penambangan dengan melengkapi berbagai izin tambahan.
”Sejauh ini, mereka belum melakukan aktivitas produksi. Kalau di situ ada kawasan hutan, mereka harus melengkapi izinnya dulu,” ucap Nining. Madjid berkomitmen akan terus menjaga kawasan Tangkeno dari perusakan alam dan lingkungan. Sebab, menjaga Tangkeno berarti menjaga penghidupan untuk banyak orang, hingga anak cucu mendatang.
”Saya berpikir bukan untuk sekarang, tetapi untuk ke depan. Saya tidak mau di usia saya yang senja malah meninggalkan warisan kelabu,” ucap Madjid, yang juga Ketua Lembaga Adat Moronene Tokotua ini. Pandangannya menengadah, tepat menuju barisan pegunungan yang memerah.
Seperti sebuah rangkaian festival, perjuangan masyarakat Tangkeno baru memulai tahapan pembuka dalam merawat tanah dan alam. Jalan panjang terbentang, hingga pentas benar-benar usai. Dalam masa-masa setelah ini, waktu akan menjawab, apakah irama kaki dari warga menari yang terdengar atau justru suara truk dan alat berat yang akan berdengung.