Amendemen untuk Siapa?
Wacana amendemen terbatas konstitusi untuk menghadirkan kembali haluan negara, memunculkan sejumlah kekhawatiran dan kecurigaan, seperti memicu kembalinya kekuasaan ke segelintir elite.
Di bulan pertama masa baktinya, Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2019-2024 mulai menggulirkan wacana amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945. Namun, wacana amendemen yang disebut untuk menghadirkan haluan negara ini memunculkan sejumlah pertanyaan.
Anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Andreas Hugo Pareira, menuturkan, wacana amendemen terbatas ini berasal dari rekomendasi MPR periode 2014-2019 yang menilai perlu hadirnya haluan negara.
Dengan adanya haluan negara, lanjut Andreas, suksesi kepemimpinan nasional dan daerah tidak akan memengaruhi arah pembangunan nasional yang telah diatur konstitusi. ”Kami juga menilai perlu mengembalikan kewenangan MPR sebagai lembaga negara yang berwenang memutuskan haluan negara,” tutur Andreas dalam acara Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu (16/10/2019).
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo ini, hadir pula sebagai narasumber Wakil Ketua MPR Arsul Sani; Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nono Sampono; Ketua Fraksi Partai Demokrat di MPR, Benny K Harman; peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi; serta pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Savitri.
Menurut Arsul, wacana amendemen terbatas UUD 1945 telah dikemukakan MPR ke sejumlah tokoh, seperti Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Dalam diskusi dengan MPR, katanya, Megawati memberi perhatian terhadap perlunya haluan negara sebagai alat penghubung pembangunan nasional.
Namun, dalam Rancangan Keputusan MPR tentang Rekomendasi MPR 2014-2019, haluan negara hanya satu dari tujuh poin rekomendasi MPR. Enam rekomendasi lainnya adalah penataan kewenangan MPR, penataan kewenangan DPD, penataan sistem presidensial, penataan kekuasaan kehakiman, penataan sistem hukum dan peraturan perundangan berdasarkan Pancasila; serta pelaksanaan sosialisasi empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika (Kompas, 9/10/2019).
Arsul menegaskan, rekomendasi MPR 2014-2019 terkait amendemen UUD 1945 bersifat sunnah muakkad atau lebih baik kaji.
Terkait hal itu, kata Arsul, proses amendemen masih amat panjang karena MPR masih akan melakukan pengkajian. ”Pimpinan MPR sekarang tidak akan tiba-tiba mengagendakan sidang umum atau sidang tahunan untuk amendemen UUD 1945. Pimpinan MPR akan lebih dahulu membentuk komisi pengkajian guna menjembatani pandangan MPR dan publik terkait isu ini,” jelasnya.
Nono mengingatkan, amendemen UUD 1945 harus dilakukan hati-hati. Amendemen itu harus memperhatikan peletakan kewenangan lembaga negara, harapan, dan momentum. ”Apabila (amendemen) dilakukan sekalian untuk penguatan kewenangan DPD, kita akan sejalan dengan gagasan itu,” katanya.
Beda pendapat
Hingga saat ini, belum ada satu suara di MPR terkait wacana amendemen UUD 1945. Partai Demokrat, misalnya, berpendapat amendemen UUD 1945 belum diperlukan. Menurut Benny, haluan negara telah ada melalui sistem perencanaan pembangunan nasional. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Atas dasar itu, Benny menilai, cara pandang pimpinan MPR untuk menghadirkan pokok haluan negara melalui amendemen terbatas UUD 1945 menunjukkan ada lompatan cara berpikir. ”Jika membutuhkan haluan negara, sebaiknya merevisi dua undang-undang itu,” sarannya.
Sementara itu, Mochtar berpendapat amendemen UUD 1945 tidak dibutuhkan. Gagasan itu, terkesan hanya sebagai pemenuhan kepentingan jangka pendek sejumlah elite politik. ”Hasrat amendemen itu susah dipisahkan dengan hasrat untuk mengembalikan kembali Indonesia kepada demokrasi terpimpin,” katanya.
Sedangkan Bivitri mengingatkan, empat kali amendemen UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999 hingga 2002, merupakan bagian dari tuntutan masyarakat saat itu yang mendorong hadirnya demokrasi. Namun, kini masyarakat tidak pernah membicarakan haluan negara, tetapi lebih mengutamakan isu lain seperti tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, politik uang, dan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
”Ide amendemen itu bukan genuine dari masyarakat, melainkan dimunculkan MPR dan dipasarkan ke masyarakat. Menurut saya, amendemen ini keinginan elite politik untuk mengambil kembali kekuasaan ke tangan segelintir elite,” katanya.
Berbagai pendapat yang muncul itu mengisyaratkan, masih banyak hal yang perlu diselesaikan terkait wacana amendemen konstitusi.