Apresiasi Publik di Era Jokowi dan SBY
Tingkat kepuasan kinerja yang masih tinggi di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo membuat posisi politik di periode kedua terlegitimasi. Dibanding periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terjadi perbedaan apresiasi.
Hasil survei Kompas di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo menunjukkan 58,8 persen masyarakat menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tingkat kepuasan yang tinggi itu didukung pula oleh penilaian terhadap citra Jokowi yang dinyatakan baik oleh 73,3 persen responden. Dengan temuan ini posisi politik Jokowi dalam memasuki jabatan kedua kepresidenannya terlegitimasikan. Besaran publik yang menyatakan puas relatif sebanding dengan persentase pemilih Jokowi di Pemilihan Presiden 2019.
Hanya saja, capaian positif kali ini masih menyisakan persoalan. Jika dicermati semenjak 2015, opini publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla berfluktuasi. Ada masa ia mendapatkan apresiasi yang tinggi. Sebaliknya, terdapat pula masa tatkala capaian kinerja pemerintahan dinilai turun.
Volatilitas kepuasan terhadap kinerja maupun citra Jokowi yang tergambarkan dalam grafik hasil survei longitudinal Kompas sepanjang satu periode perintahannya itu dapat ditafsirkan dalam dua simpulan yang berkaitan.
Kesimpulan pertama, fluktuasi kepuasan dan citra positif sosok Jokowi menunjukkan potret kemampuan dirinya menghadapi tekanan opini masyarakat. Setidaknya, terdapat dua “krisis” opini publik yang ia hadapi dan menurunkan persepsi publik terhadap terkait performa pemerintahannya.
Pada periode enam bulan pertama pemerintahan, kebijakan Jokowi-Kalla tak popular. Pemerintah dua kali menaikkan harga BBM meski dua kali pula menurunkan harga. Tanggal 17 November 2014, kurang dari sebulan setelah dilantik, Jokowi menaikkan harga premium dan solar Rp 2.000 per liter.
Pada 1 Januari 2015, harga premium diturunkan dari Rp 8.500 jadi Rp 7.600. Harga solar dari Rp 7.500 jadi Rp 7.250. Dua minggu kemudian, Jokowi menurunkan lagi harga premium jadi Rp 6.600 per liter dan solar Rp 6.400. Namun, 28 Maret 2015, harga BBM dinaikkan jadi Rp 7.400 untuk premium dan Rp 6.900 untuk solar.
Persepsi publik sensitif terhadap kenaikan BBM. Persoalan ini menjadi pemicu dominan penurunan popularitas pemerintahan. Di saat itu, penurunan apresiasi mencapai sekitar 10 persen, suatu derajat penurunan tertinggi dalam sejarah pemerintahannya.
Perlu waktu satu tahun, citra dan apresiasi terhadap Jokowi pulih. Pada survei di bulan April 2016, apresiasi masyarakat naik 13 persen. Saat itu, capaiannya (67,4 persen) malah jauh lebih tinggi daripada apresiasi publik saat ia baru menjabat kursi kepresidenan (65,1 persen). Namun sayangnya, peningkatan apresiasi tidak berlanjut. Satu tahun kemudian, April 2017, apresiasi terhadap kinerja Jokowi menjadi 63,1 persen.
Penurunan terjadi di bidang politik dan keamanan, ekonomi, serta kesejahteraan sosial. Di bidang politik dan keamanan, penurunan yang cukup menonjol pada indikator penanganan terhadap konflik antarkelompok dan gerakan separatis yang turun 10 persen. Selain itu, terdapat konflik revisi UU KPK yang diusulkan sejumlah fraksi di DPR.
Akan tetapi, lagi-lagi Presiden Jokowi mampu membalikkan kondisi. Tidak beberapa lama, apresiasi kembali diraih. Bahkan, simpati publik menjadi semakin besar, mencapai puncaknya setahun kemudian (April 2018). Saat itu, 72, 2 persen responden menyatakan puas terhadap kinerja pemerintah.
Hanya saja, sesaat kemudian terjadi lagi penurunan apresiasi publik. Penurunan terjadi jelang Pemilu 2019 yang sekaligus menjadi ajang penghakiman terhadap peluang keberlanjutan jabatan kepresidenannya.
Kesimpulan kedua, apresiasi sepanjang periode pertama pemerintahan Jokowi-Kalla menunjukkan titik kulminasi yang terlampaui. Apa yang terjadi kini, justru kecenderungan penurunan yang konsisten yang berlangsung 1,5 tahun. Jangka waktu penurunan tersebut tergolong lama dan di luar kebiasaan yang terjadi.
Terlebih, penurunan terjadi saat Presiden Jokowi mengakhiri paruh pertama jabatannya. Hal ini di luar kebiasaan apabila becermin dari pola yang biasa terjadi dalam survei opini, termasuk yang dialami presiden di negeri ini.
Era Yudhoyono
Fenomena itu menjadi cukup menarik jika dibandingkan capaian apresiasi publik terhadap pemerintahan Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya pada saat periode pertama pemerintahan.
Presiden Jokowi dan Presiden Yudhoyono tersebut sama-sama mengawali pemerintahan dengan apresiasi publik yang tinggi. Kinerja pemerintahan Presiden Yudhoyono, saat itu berdasarkan hasil survei SMRC (LSI) mendapat apresiasi 80 persen responden yang menyatakan puas.
Dalam perjalanan selanjutnya, apresiasi publik kepada dua sosok tersebut berjalan dengan pola yang relatif sama, terjadi penurunan. Perbedaannya, jika penurunan apresiasi terhadap pemerintahan Jokowi berlangsung hingga bulan ke-12 pemerintahan, Yudhoyono berlanjut hingga bulan ke-18.
Jika ditelusuri lebih jauh, faktor-faktor penurunan juga disebabkan persoalan yang relatif mirip, yaitu kenaikan dan penurunan BBM. Setelah lepas dari persoalan itu, keduanya rebound.
Kondisi yang membedakan ada pada periode selanjutnya. Apresiasi terhadap pemerintahan Presiden Jokowi masih mengalami pasang surut. Terakhir, semenjak bulan ke-42 hingga berakhirnya periode pertama terjadi konsistensi penurunan apresiasi kinerja.
Sementara itu, pada konteks Yudhoyono tidak demikian. Memang terdapat sedikit fluktuasi, tetapi sejak bulan ke-42 hingga berakhirnya kekuasaan periode pertama, justru terjadi kenaikan yang konsisten. Pada ujung usia pemerintahannya, Yudhoyono meraih apresiasi 75 persen responden, mendekati proporsi saat pertama kali menjabat kursi kepresidenan.
Sebaliknya, pada kontens Presiden Jokowi, justru di saat mengakhiri periode pertama derajat apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah menurun. Ia memasuki periode kedua pemerintahan dengan apresiasi publik yang tidak lagi setinggi pada awal ia menjabat.
Lantas bagaimanakah nasib periode kedua pemerintahan?
Jika mencermati hasil survei opini publik, fluktuasi apresiasi berjalan sangat dinamis. Terdapat berbagai peluang dalam kebaikan maupun penurunan apresiasi. Satu persoalan yang paling nyata, turun naiknya grafik kepuasan publik sangat rentan (elastis) terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi, khususnya kenaikan harga BBM yang secara langsung akan mempengaruhi harga barang kebutuhan. Faktor demikian terjadi baik di era pemerintahan Presiden Jokowi maupun Yudhoyono.
Di luar faktor ekonomi, tahun terakhir kepemimpinan Presiden Jokowi tidak lepas dari beberapa problem yang bisa jadi memengaruhi persepsi publik. Tekanan-tekanan kondisi sosial politik jelang dan selepas Pemilu 2019 masih belum terpulihkan.
Itulah mengapa, ada kecenderungan penurunan apresiasi pada pemerintahan Jokowi di akhir masa jabatannya. Namun, merujuk hasil-hasil survei, besaran kenaikan maupun penurunan yang terjadi tidak sedrastis penurunan yang diakibatkan kenaikan harga BBM dan barang kebutuhan.
Jika memang faktor ekonomi yang menjadi determinan besaran kepuasan publik, maka tidak tertutup kemungkinan bagi Presiden Jokowi untuk lebih cepat membalikkan penurunan apresiasi publik di awal periode kedua jabatan kepresidenannya. (LITBANG KOMPAS)