Ekonom Menilai UU KPK Bisa Mengancam Kesejahteraan Masyarakat
›
Ekonom Menilai UU KPK Bisa...
Iklan
Ekonom Menilai UU KPK Bisa Mengancam Kesejahteraan Masyarakat
Korupsi tidak akan pernah bisa memunculkan kepastian karena tidak ada ”tarif sogokan”. Sementara untuk investasi, hal paling utama yang dibutuhkan adalah kepastian.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para ekonom menilai Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 19 Tahun 2019 dapat mengancam kesejahteraan masyarakat. Mereka pun mendorong Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) guna membatalkan UU KPK.
Sebanyak 233 ekonom, baik dari perguruan tinggi maupun lembaga riset, di Jakarta, Jumat (18/10/2019), menyatakan sikap menolak UU KPK. Hasil telaah literatur para ekonom mendapati bahwa korupsi akan memperburuk ketimpangan pendapatan dan melemahkan pemerintahan.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo menyampaikan, kerugian keuangan negara di Indonesia akibat korupsi terhitung dari 2001-2015 mencapai Rp 203,9 triliun. Namun, hukuman finansial hanya Rp 21,26 triliun atau sekitar 10 persen yang diputus pengadilan.
”Lalu siapa yang menanggung kerugian negara sebesar Rp 182,64 triliun? Tentu saja para pembayar pajak yang budiman. Misalnya, ibu-ibu yang membeli susu formula dan makanan tambahan untuk bayi mereka, keluarga pasien yang membeli obat, bahkan generasi muda yang belum lahir,” kata Rimawan di Jakarta.
Perlu dipahami, jumlah kerugian negara ini hanya jumlah uang korupsi yang tercatat. Sementara untuk perkiraan kerugian perekonomian negara dapat mencapai minimal hingga Rp 509,8 triliun, atau 2,5 kali dari kerugian negara. Kerugian ini merupakan biaya sosial korupsi, termasuk
opportunity costs atau kondisi merugi akibat beban cicilan bunga di masa mendatang yang timbul karena korupsi di masa lalu.
Kerugian terjadi karena Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi yang menyetarakan antara kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian. Dampaknya memunculkan ketidakpastian dalam penindakan korupsi di Indonesia.
Menurut Rimawan, seharusnya UU Tipikor yang memerlukan revisi sehingga hukuman finansial kepada koruptor proporsional dengan biaya sosial korupsi yang ditimbulkan.
Rimawan menegaskan, upaya pelemahan terhadap KPK sebenarnya tidak banyak merugikan KPK, tetapi DPR, pemerintah, dan masyarakat.
”Sepertinya hanya di Indonesia yang para koruptor disubsidi oleh masyarakat. Bahkan akan disubsidi oleh para generasi di masa datang yang bahkan sekarang mungkin belum lahir,” kata Rimawan.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menilai, keadaan ekonomi yang semakin sulit, kehadiran UU KPK baru malah akan menambah persoalan. Sebab, isinya akan melemahkan KPK dalam fungsi penindakan.
”Rumusan yang disahkan oleh DPR jelas melemahkan, khususnya terkait penyadapan yang akan sulit dilakukan KPK ke depan. Sulitnya penyadapan akan membuat kasus korupsi kelas \'dewa\' atau kakap tidak terbongkar,” ujar Enny.
Data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report menunjukkan, korupsi masih menjadi hambatan utama dalam melakukan bisnis di Indonesia. Skornya pun terus meningkat dari 11,7 (2015); 11,8 (2016); hingga 13,8 (2017).
Inefisiensi birokrasi
Selain itu, inefisiensi birokrasi pemerintah pada 2017 dengan skor 11,2 juga turut menghambat kegiatan berbisnis di Indonesia. Kehadiran UU KPK baru akan meningkatkan faktor ketidakstabilan kebijakan yang dibuat pemerintah dengan skor 8,6.
Rimawan mengatakan, proses pembahasan UU KPK yang tidak masuk dalam program legislasi nasional bahkan disahkan DPR hanya dalam waktu kurang dari dua minggu telah memberikan sinyal buruk kepada investor. Sebab, keadaan ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang sangat dibutuhkan investor.
”Ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat tidak ramah dan sering kali berubah-ubah (hal kepastian hukum). Mereka (investor) akan mengatakan, UU saja bisa diubah begitu cepat, bagaimana dengan peraturan lain seperti peraturan menteri maupun presiden. Jelas ini berbahaya,” ujarnya.
Direktur Riset CORE Piter Abdullah juga menyoroti bahwa korupsi tidak akan pernah bisa memunculkan kepastian karena tidak ada ”tarif sogokan”. Sementara untuk investasi, hal paling utama yang dibutuhkan adalah kepastian.
”Berapa besar biaya kita mau investasi harus dihitung, tetapi kalau korupsinya tinggi, maka tidak ada yang bisa memastikan berapa biaya investasi di Indonesia sehingga tidak bisa membuat perencanaan. Ini yang menyebabkan investasi asing sulit masuk ke Indonesia,” kata Piter.
Padahal, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2017 menunjukkan, persetujuan investasi asing mencapai Rp 2.000 triliun. Namun, yang terealisasi hanya sekitar Rp 400 triliun.
Artinya, menurut Piter, Indonesia sebenarnya menarik bagi para investor, tetapi permasalahannya ada pada realisasi. Penyebabnya, tak lain adalah ketidakpastian hukum dan inkonsistensi kebijakan.
Mulai berlaku
Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana menyampaikan, setelah berjalan 30 hari, UU KPK hasil revisi yang telah disahkan DPR sejak 17 September lalu mulai berlaku Jumat (18/10/2019). UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 merupakan pengganti UU KPK Nomor 30 Tahun 2002.
”Naskah resminya bisa langsung didapatkan jika sudah diotentifikasi oleh Kementerian Sekretariat Negara,” kata Widodo.
Meski UU KPK sudah mulai berlaku, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, pihaknya baru mendapatkan informasi pemberlakuan UU KPK tadi pagi. KPK pun akan segera melihat dan membahas untuk memutuskan tindak lanjutnya.
”Dokumen UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 tersebut belum kami dapatkan sampai saat ini. Nanti jika sudah didapatkan akan segera dibahas,” kata Febri.