Pelonggaran kebijakan fiskal dinilai bisa jadi jawaban perekonomian nasional dalam menghadapi proyeksi perlambatan ekonomi. Meski begitu, pelonggaran berupa belanja dan insentif pajak itu perlu diperbaiki manajemennya.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelonggaran kebijakan fiskal dinilai bisa menjadi jawaban perekonomian nasional dalam menghadapi proyeksi perlambatan ekonomi. Meski begitu, pelonggaran berupa belanja dan insentif pajak itu perlu diperbaiki manajemennya agar tidak terjadi kebocoran.
Diskusi terkait pelonggaran fiskal terjadi dalam Kafe BCA: Economy Outlook 2020 pada Jumat (18/10/2019) di Jakarta. Diskusi itu menghadirkan Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, dan ekonom Universitas Indonesia Febrio Kacaribu.
Piter mengatakan, pertumbuhan ekonomi pada 2020 memang akan cenderung menurun. Resesi global masih akan menekan ekspor komoditas yang merupakan sektor unggulan Indonesia.
”Harga komoditas masih akan turun. Karena itu tidak bisa memanfaatkan ekspor. Kita juga tidak bisa memanfaatkan perang dagang karena industri manufaktur belum siap,” ucapnya.
CORE melihat, kondisi ekonomi yang lesu akan membuat kebijakan moneter lebih longgar. Bank Indonesia diperkirakan masih akan menurunkan suku bunga dan melonggarkan likuiditas.
Menurut Piter, kebijakan moneter itu perlu didukung dengan pelonggaran kebijakan fiskal. Pelonggaran fiskal bisa melalui belanja dan insentif pajak yang lebih besar.
”Penerimaan akan turun dan belanja naik. Hasilnya, defisit melebar yang membuat utang lebih banyak. Ini risikonya. Tetapi harus dicoba karena kondisi ekonomi sedang tidak pasti,” ucapnya.
Selama ini, Piter menilai kebijakan fiskal pemerintah masih inkonsisten. Seperti, misalnya, tahun ini pemerintah memberikan insentif pajak, tetapi menargetkan penerimaan pajak yang sangat tinggi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebelumnya, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,1 persen poin menjadi 5 persen pada 2019 dan 5,1 persen pada 2020. Sementara itu, ekspor diperkirakan tumbuh tipis 1,5 persen pada tahun depan.
Febrio menjelaskan, pemerintah tetap harus menjaga disiplin fiskal. Menurut dia, insentif yang dilakukan pemerintah masih belum efektif karena terjadi banyak kebocoran. Hal itu disebabkan manajemen yang belum baik.
”Bisa defisit fiskal, sementara defisit, kan, tidak bisa lebih dari 3 persen. Lebih baik tetap disiplin saja. Karena 11 persen pengeluaran pemerintah saat ini untuk membayar bunga utang. Kalau rating utang naik, kan, bunga bisa turun. Jadi pengaruhnya dari sana,” tutur Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) tersebut.
LPEM UI melihat, pemerintah lebih baik fokus dalam membenahi perizinan usaha. Perizinan usaha yang mudah akan berpengaruh pada kinerja investasi yang berkontribusi sekitar 36 persen pada produk domestik bruto (PDB).
”Ekspor kita 2020 belum akan recover, tetapi tidak masalah karena kontribusi hanya 19 persen terhadap PDB. Yang penting, seperti apa menarik investasi dan mendorong konsumsi rumah tangga,” ujar Febrio.
LPEM UI memperkirakan ekonomi bertumbuh 5-5,2 persen pada 2020. Adapun sektor yang berorientasi jasa, seperti komunikasi dan logistik, masih berpotensi untuk tumbuh cepat.
Dari sisi perbankan, David melihat, Indonesia akan bertahan dari resesi global karena pengaruh konsumsi domestik yang sangat kuat. Pengaruh konsumsi rumah tangga mencapai 56 persen terhadap PDB. Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tidak akan lebih rendah dari 4,6 persen.
Menurut David, kebijakan BI seperti penurunan suku bunga acuan yang sudah dilakukan beberapa kali pada paruh kedua 2019 akan memacu konsumsi pada tahun depan. Selain itu, rencana pemindahan ibu kota juga akan mendorong kinerja di sektor konstruksi dan properti.
”Kalau bisa, kebijakan yang menekan konsumsi masyarakat menengah ke bawah jangan dilakukan sekaligus, seperti menaikkan harga rokok, iuran BPJS, dan lainnya,” katanya.