Kepergian Mas AG, Seorang ”Penjelajah”
Selasa, 15 Oktober lalu, siang hari di lantai IV Litbang Kompas, kami bertemu lama. Ada Agnes Aristiarini dari Desk Opini Kompas dan Patricius Cahanar dari Penerbit Buku Kompas.
Kami bicara ngalor-ngidul, saling melempar lelucon, seperti selama ini, keramahan yang melekat pada Mas August Parengkuan (AG). Disinggung pula rencana peluncuran buku biografi Soemadi Brotodiningrat, yang diedit Mas AG, diterbitkan Penerbit Buku Kompas dan ternyata menjadi karya terakhirnya.
Begitu ada kabar ia meninggal, Kamis (17/10/2019) pagi, saya kaget. Bukankah Selasa lalu masih segar bugar? Benar kata Martin Heidegger, being unto death. Hidup kita hanya menunda kematian.
Sederet peristiwa pernah disentuhnya sejak lahir di Surabaya, Agustus 1943, dari keluarga tentara Letkol (Purn) Jacob Parengkuan dan BP Parengkuan hingga meninggal pada usia 76 tahun, terbentang historisitas seorang August Parengkuan. Dengan inisial AG, ia termasuk reporter Kompas generasi pertama dan merangkak dari bawah sampai mencapai karier pucuk pimpinan di Kompas Gramedia. Sesudah pensiun menjadi duta besar di Italia (2012-2017).
Dunia tulis-menulis digeluti sejak SMA di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia rajin mengirimkan tulisan ke sebuah mingguan di Makassar, yang menerbitkannya. Selepas SMA bercita-cita jadi tentara, tetapi kemudian beralih ingin menjadi diplomat.
AG merantau ke Jakarta pada 1963, mencari pekerjaan di Departemen Luar Negeri. Namun, karena sudah tutup, ia melamar ke Kompas yang akan terbit 1965. Diterima dengan tugas pertama meliput berita pengadilan selama setahun, meluas ke berita politik, dan senyampang itu ia terus ”menjelajahi” persoalan politik.
AG lantas menduduki jabatan struktural Redaksi Kompas sebagai editor desk politik, redaktur pelaksana, dan sebagai wakil pemimpin redaksi. Sembari menunaikan tugas itu, ia bertanggung jawab menangani Kompas sebelum naik cetak.
”Penjelajahan” AG tak berhenti di media jurnalistik. Dalam kedudukan sebagai wakil pemred, ia juga sebagai Direktur Komunikasi Perusahaan Kelompok Kompas Gramedia (KKG), lembaga baru yang diembannya beberapa tahun setelah pensiun tahun 2003, dan merintis Kompas TV.
Sebagai Direktur Kompas TV tahun 2001, dirasakan sangat berbeda dengan perjalanannya di media cetak. Untuk bekerja 24 jam tak soal, demikian sering ia katakan, sebab sudah dijalaninya sebagai wartawan cetak sejak 1965.
”Gluprut”
”Penjelajahan” AG dalam tugas struktural Kompas ataupun Kompas Gramedia nyaris serupa dengan penugasannya sebagai wartawan Kompas. Pada tahun-tahun awal kehadiran Kompas, AG yang memfokuskan peliputan bidang politik mengalami jatuh bangunnya Kompas, termasuk di era Orde Baru dan sesudahnya.
Boleh dikata, AG termasuk salah satu saksi sejarah, berkat jiwa penjelajahannya sebagai jurnalis, perkembangan negara bangsa ini, di tahun-tahun sesudah 1965. AG tampil sebagai wartawan dalam arti seperti sering dikatakan seniornya, Jakob Oetama, ”Wartawan harus turun ke lapangan, harus gluprut (kotor) dengan persoalan.” AG berusaha hadir, omni present seperti dianjurkan Jakob Oetama dengan otak dan hati.
Gluprut-nya AG sebagai wartawan, berarti ia teruji sebagai wartawan, yang mencari bahan dan menemukannya dari lapangan. Ia tak menjadikan buku sebagai sumber satu-satunya, tetapi terutama menyurukkan diri dalam persoalan di lapangan, sumber pertama. AG bekerja dengan otak dan hati, bahan ditimba dari lapangan. Sebagai wartawan, ia sangat mengandalkan kaki, kiasan kerja wartawan masuk ke medan perang.
Terentang banyak peristiwa negeri ini, juga di internal Kompas dialami, diketahui, dan digeluti AG. Ia pernah diringkus Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabirawa ketika menguntit Bung Karno. Ia berkelana di Kalimantan Barat, ikut operasi menumpas pemberontak, berminggu-minggu berada di Timor Timur sebelum pasukan RI masuk. Ia juga pernah meliput perang Afghanistan dan terbunuhnya Presiden Mesir Anwar Sadat, 1981.
Kenyang dengan pengalaman sebagai wartawan lapangan, AG pun punya hubungan luas dengan kalangan penentu kebijakan dan keamanan. Ia pelobi ulung. Tugasnya meliput Istana, bidang yang di masa Orde Baru sangat penting, sebab banyak keputusan penting disiarkan pertama kali, membuatnya dikenal luas.
Berkat pengetahuan dan pengalaman itu, AG dipercaya senior atau yuniornya di Kompas. Jakob Oetama dan P Swantoro, dua senior yang selalu menjadi teman diskusinya, ibarat melengkapi konsep dan pemikiran dalam penerapan di lapangan. Pemikiran dan konsepnya jadi membumi. Jakob memfokuskan kepada peningkatan harkat-martabat manusia dan meminati persoalan politik, Swantoro berlatar belakang disiplin sejarah, dan AG berada langsung di lapangan.
AG termasuk otodidak, belajar sendiri dari pengalaman. Berkat kesibukan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), ia memiliki kepekaan tinggi dalam menentukan sensitivitas pernyataan dan fakta disampaikan ke publik. Oleh karena itu, beberapa terobosan strategi pengembangan perusahaan ditangani AG. Kompas Minggu yang digagas Jakob Oetama, di hari Minggu orang butuh bacaan ringan, diserahkan penanganannya kepada AG bersama Rustam Affandi, selain Kompas TV. Melengkapi keterampilannya, AG pernah memperdalam ilmu jurnalistik di Berlin Barat tahun 1968 dan di Australian National University, Canberra, tahun 1970-an.
Beberapa kebijakan strategis muncul dari AG, seperti ketika semua koran pada hari Minggu Paskah tak terbit. Paskah selalu jatuh hari Minggu dan hari libur nasional. AG mengusulkan pada hari Minggu Paskah, Kompas tetap terbit. Perubahan itu awalnya ada pro-kontra internal, tetapi akhirnya terbit sampai sekarang.
Meninggalkan istri Sonya Kusler dan empat anak (Charles Ronald, Ira Melanie Sigar, Nadia Putri Parengkuan, dan Atika Gadis Parengkuan), AG dipanggil Tuhan pada Kamis pukul 05.50 di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Jenazahnya disemayamkan di Rumah Duka RSPAD Jakarta dan akan dimakamkan di San Diego Hills, Karawang, Senin (21/10). Sosok yang ramah, akrab, suka melucu, dan loyal kepada Kompas sehingga kepergiannya meninggalkan historisitas. Wartawan itu harus gluprut, omni present, dan tidak pernah berhenti belajar.
Selamat jalan, Bung August Parengkuan!
(ST SULARTO, Wartawan Kompas 1977-2017)