Gagasan mengubah lagi konstitusi terus disuarakan pimpinan MPR. Padahal, dalam panggung kampanye tak pernah disuarakan adanya ide amendemen konstitusi.
Terpilihnya Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR tak bisa dilepaskan dari kesepakatan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Amendemen terbatas konstitusi menjadi salah satu bagian dari kesepakatan itu (Kompas, 4 Oktober 2019).
Dikutip harian ini, 17 Oktober 2019, pimpinan MPR menjamin amendemen konstitusi tidak menjadi bola liar. Bambang pun menjanjikan MPR tidak akan terburu-buru. Kita sepakat tak perlu buru-buru.
Secara matematis politik, koalisi pemerintahan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin bisa mengusulkan amendemen konstitusi. MPR diberi kewenangan mengubah konstitusi. Dalam Pasal 37 UUD 1945 disebutkan, usul perubahan UUD 1945 dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurangnya 1/3 anggota MPR. Sepertiga anggota MPR setara dengan 237 orang. Pendukung pemerintah (PDI-P, Partai Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP) berjumlah 349 kursi.
Konstitusi juga menulis, setiap usulan perubahan diajukan secara tertulis beserta alasannya. Jadi, tidak mungkin hanya dengan jargon amendemen terbatas. Di pasal mana yang mau diubah. Untuk mengubah pasal dalam UUD, sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR atau 474 anggota MPR. Artinya, butuh lobi politik dengan partai di luar pemerintah atau melobi anggota MPR dari DPD yang berjumlah 136 orang. Sementara putusan mengubah pasal dalam UUD dilakukan dengan persetujuan lima puluh persen ditambah satu anggota MPR.
Namun, kita mau ingatkan, amendemen konstitusi bukan hanya soal matematis politis. Deliberasi soal amendemen konstitusi baik-baik saja. Ruang publik harus dibuka, karena konstitusi bukan hanya milik pimpinan partai politik atau milik 711 anggota MPR. Sebagai kontrak sosial, amendemen konstitusi adalah milik bangsa Indonesia!
Pengusul amendemen perlu menjelaskan apa itu amendemen terbatas. Apa amendemen terbatas itu hanya menambahkan satu ayat dalam Pasal 3 UUD 1945 yang berbunyi MPR berhak menetapkan haluan negara. Penambahan pasal kewenangan MPR menetapkan haluan negara akan memunculkan keterkaitan dengan pasal lain, termasuk pertanyaan siapa yang akan membuat haluan negara itu. Apakah MPR akan membuat haluan negara? Apa konsekuensinya jika Presiden tidak menjalankan haluan negara? Siapa yang menilai? Jika MPR, bukankah MPR menjelma menjadi lembaga tertinggi negara seperti era Orde Baru ?
Membuat haluan negara membuka perdebatan baru. Isu sensitif bisa muncul. Amendemen konstitusi membuka kotak pandora. Membaca hasil kajian MPR amendemen konstitusi lebih menyeluruh, bukan hanya haluan negara. Jadi, amendemen terbatas masih diragukan kepastiannya. Amendemen bisa jadi bola liar.