Pasca-perluasan Ganjil Genap, Kualitas Udara Jakarta Diklaim Membaik
›
Pasca-perluasan Ganjil Genap, ...
Iklan
Pasca-perluasan Ganjil Genap, Kualitas Udara Jakarta Diklaim Membaik
Kualitas udara Jakarta diklaim membaik setelah kebijakan ganjil genap diperluas mulai 9 September lalu. Namun, klaim ini diragukan. Kualitas udara bisa lebih baik jika ganjil genap berlaku pula untuk sepeda motor.
Oleh
AYU PRATIWI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebut kualitas udara Jakarta membaik pasca-perluasan aturan ganjil-genap, 9 September 2019. Namun, klaim itu diragukan karena pengukuran kualitas udara hanya dari dua titik. Selain itu, perbaikan kualitas udara juga akan lebih baik jika aturan berlaku pula untuk sepeda motor.
Berdasarkan hasil pemantauan kualitas udara dengan alat pemantau di Bundaran HI, Jakarta Pusat dan Kelapa Gading, Jakarta Utara, konsentrasi partikulat PM 2,5 menurun setelah perluasan ganjil genap. Partikulat PM 2,5 adalah partikel debu yang berukuran 2,5 mikrometer. Partikel ini memiliki ketebalan 1/30 tebal rambut manusia.
Mulai 9 September lalu, ruas jalan yang diberlakukan ganjil genap ditambah, dari semula hanya sembilan ruas jalan menjadi 25 ruas jalan. Aturan itu berlaku pada Senin hingga Jumat, pukul 06.00-10.00 dan 16.00-21.00.
”Secara umum, kualitas udara membaik,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Di stasiun pemantau kualitas udara di Bundaran HI, rata-rata mingguan konsentrasi partikulat PM 2,5 setelah diberlakukan perluasan aturan ganjil genap menurun antara 2,58-18,97 persen dibanding sebelum ganjil genap diberlakukan.
Adapun di stasiun pemantau kualitas udara di Kelapa Gading, rata-rata mingguan partikulat PM 2,5 menurun antara 11,80 hingga 38,39 persen.
”Dari hasil pemantauan di stasiun Kelapa Gading, konsentrasi PM 2,5 sampai dengan minggu kesembilan setelah perluasan ganjil genap menurun secara signifikan,” ujar Andono.
Meski demikian, Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin menilai, penurunan partikulat PM 2,5 belum signifikan. Kualitas udara dinilainya bakal lebih baik jika sepeda motor ikut dibatasi dengan ganjil genap.
”Penurunan konsentrasi PM 2,5 tidak signifikan karena masih mengabaikan polusi dari sepeda motor sebagai sumber pencemar terbesar. Kalau penggunaan sepeda motor dibatasi melalui sistem ganjil genap, pencemaran udara bisa ditekan 16,7 persen,” ujar Ahmad.
Menurut dia, sumber terbesar pencemaran udara adalah sepeda motor (44,53 persen), bus kota (21 persen), truk (18 persen), dan mobil pribadi (16,11 persen).
Seperti diketahui, aturan ganjil genap tidak berlaku untuk 12 jenis kendaraan, termasuk sepeda motor, kendaraan bertenaga listrik, angkutan umum, kendaraan angkutan barang khusus (bahan bakar minyak atau gas), ambulans, kendaraan pemadam kebakaran, serta kendaraan dengan jenis plat dinas, TNI, dan Polri.
Kekurangan alat pemantau kualitas udara
Sementara Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menilai, kualitas udara Jakarta tak bisa hanya dilihat dari dua alat pemantau di Bundaran HI dan Kelapa Gading. Penilaian yang hanya mendasarkan pada dua alat pemantau dinilainya tidak akurat.
”Kalau mau fair, harusnya data pengukuran udara yang sama juga disajikan di setiap titik lokasi yang diberlakukan ganjil genap. Apa iya data udara di Bundaran HI bisa mewakili data udara di Fatmawati? Sudah saatnya di setiap lokasi ganjil genap ada stasiun pemantau kualitas udara,” kata Bondan.
Pandangan serupa disampaikan Puput. Menurut dia, di Jakarta seharusnya ada 26 stasiun pemantau kualitas udara atau ambient air quality monitoring station (AAQMS) yang memantau polutan udara (PM 10, PM 2,5, SO2, CO, Nox, dan O3) secara terus-menerus selama 24 jam setiap hari.
”Namun, seiring perkembangan teknologi satelit, jumlah stasiun (pemantau kualitas udara) bisa dikurangi hanya dengan lima stasiun. Kawasan lain cukup dimonitor dengan proyeksi citra satelit. Kelebihan proyeksi satelit adalah wilayah cakupan monitoringnya sangat luas dan mengurangi biaya pengadaan dan perawatan alat AAQMS yang sangat mahal,” tutur Puput.
Menurut dia, harga AAQMS saat ini mencapai Rp 4,8 miliar per unit. Biaya perawatan per tahun sekitar Rp 250 juta per unit.
Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yogi Ikhwan mengatakan, pihaknya berencana menambah delapan alat pemantau kualitas udara pada 2020.