Pendidikan Membangun SDM, Bukan Hanya Peningkatan Pendapatan
Kebijakan pendidikan jangan untuk mengejar peningkatan ekonomi semata. Lalu, bagaimana seharusnya kebijakan pendidikan diarahkan?
Kebijakan pendidikan yang dititikberatkan kepada penumbuhan ekonomi tidak akan bisa benar-benar membentuk sumber daya manusia yang utuh.
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pendidikan jangan untuk mengejar peningkatan ekonomi semata. Kebijakan pendidikan harus bisa membaca kebutuhan di masa depan dan menyiapkan sumber daya yang pembelajar, dalam artian bisa beradaptasi dengan perubahan, kreatif, dan membangun bangsa dari semua aspek kehidupan.
”Kebijakan pendidikan yang dititikberatkan kepada penumbuhan ekonomi tidak akan bisa benar-benar membentuk sumber daya manusia yang utuh karena target jangka waktunya pendek dan menengah. Pembangunan SDM harus bisa memperkirakan kebutuhan yang lebih jauh dibandingkan dengan masa kerja pemerintahan,” tutur Ketua Umum Koalisi Kependudukan Sonny HB Harmadi di Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia menuai pujian dengan adanya kebijakan perluasan akses pendidikan kepada penduduk. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD merupakan reaksi dari pendekatan pembangunan bangsa yang berlandaskan peningkatan ekonomi setelah Indonesia merdeka. Pada kurun 1973 hingga 1978, pemerintah membangun 61.807 SD baru, dikenal sebagai SD Inpres, guna menyerap anak-anak untuk bersekolah.
Pada kurun 1973 hingga 1978 pemerintah membangun 61.807 SD baru, dikenal sebagai SD Inpres, guna menyerap anak-anak untuk bersekolah.
Situasi yang relatif damai mengakibatkan angka kelahiran bertambah dan Indonesia mengalami ledakan penduduk. Bentuk ekonomi yang kemudian dipilih oleh Presiden Soeharto adalah yang menitikberatkan kepada industrialisasi, terutama padat karya, karena bisa menyerap jumlah rakyat yang banyak. Industri jenis ini hanya membutuhkan keterampilan tingkat rendah, yaitu kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
”Kebijakan SD Inpres mengakomodasi persiapan calon tenaga kerja ini berdampingan dengan program pemberantasan buta huruf,” ujar Sonny.
Salah satu pemenang Nobel Ekonomi 2019 Esther Duflo pada 2000 menulis makalah Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment yang melihat kebijakan SD Inpres. Rasio jumlah sekolah dengan siswa pada 1974 adalah dua SD untuk 1.000 anak usia 5-14 tahun. Pemerintah menembak kenaikan angka partisipasi kasar (APK) sebesar 85 persen.
Evaluasi pada 1978 oleh Bank Dunia menunjukkan APK adalah 84 persen untuk siswa laki-laki dan 82 persen untuk siswa perempuan. Organisasi ini pada 1990 memuji kebijakan Pemerintah Indonesia sebagai salah satu yang tersukses di dunia untuk pemerataan akses pendidikan. Duflo berargumen bahwa apabila Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil, 30 tahun setelah program SD Inpres dicanangkan, penduduk akan mengalami kenaikan upah 6,8 persen hingga 10 persen.
Baca juga: Nobel tentang Kaum Papa
Dilematis
Pada kesempatan yang berbeda, Guru Besar Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Jakarta Syarif Sumantri dan Zulela MS menjelaskan, kebijakan SD Inpres ambisius di atas kertas, tetapi sangat kompleks di lapangan. Jika ditelaah dari persepsi ilmu pendidikan, juga sangat dilematis. Tujuan pendidikan untuk memberantas buta huruf ternyata tidak memberi nilai tambah kepada sekolah.
Kebijakan SD Inpres ambisius di atas kertas, tetapi sangat kompleks di lapangan.
”Memang dari segi APK terlihat banyak anak mengakses sekolah, tetapi putus sekolahnya juga tinggi. Sifat masyarakat yang pragmatis mengakibatkan kebutuhan sekolah sekadar bisa calistung. Ketika level calistung anak dinilai sudah baik oleh orangtua, mereka disuruh berhenti sekolah untuk bekerja. Sekolah sekadar mengajar bisa membaca abjad, bukan membangun SDM yang kompeten,” papar Syarif.
Dari sisi guru, Zulela menjabarkan, pada masa itu idealnya para guru lulus dari sekolah pendidikan guru. Jumlah lulusan yang terbatas mengakibatkan muncul kuota yang harus segera diisi. Pemerintah membuka kursus pendidikan guru yang bisa diambil oleh orang-orang yang baru bisa lulus SMP. Kompetensi guru yang tidak merata ini membuat pemelajaran terhambat sehingga metode yang diambil ialah penerapan kurikulum secara kaku dengan penekanan kepada menghafal.
Baca juga: Peningkatan Kompetensi Guru Mutlak Diperlukan
”Guru sebagai motivator, inspirator, dan fasilitator membutuhkan kemampuan pedagogik dan profesional tingkat lanjut yang tidak dikembangkan di banyak guru SD Inpres karena rekrutmen besar-besaran. Sistem tidak memberi mereka ruang untuk berkembang seperti zaman sekarang,” paparnya.
Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya Warsono mengatakan, memandang dari peningkatan upah juga subyektif. Misalnya, orangtua yang buta huruf memiliki penghasilan sangat kecil. Anak mereka yang melek huruf dan putus sekolah bisa mendapat pekerjaan dengan upah lebih banyak walaupun bagi standar upah masyarakat tetap kecil. Bagi orangtua, tingkat ekonomi anak sudah membaik.
Hal ini tampak dari data jumlah tenaga kerja Indonesia pada 2018 yang sebanyak 41,8 persen hanya lulusan SD ke bawah. Mereka umumnya bekerja di sektor pertanian dan manufaktur karena manufaktur di Tanah Air masih berupa perakitan, bukan penciptaan produk.
Menurut Warsono, pendidikan harus berbasis tujuan pemecahan masalah bangsa karena di dalamnya mencakup kemampuan beradaptasi atas perubahan, budaya terus belajar, kemampuan bersosialisasi dan berjejaring, kreatif, pemberani, serta berpersepsi kebangsaan.
”Pendidikan yang mengajar kita untuk bertanya, bukan menghafal. Berani bertanya merangsang sifat berani menjawab dengan menyusun argumentasi sistematis,” ucapnya.
Tanggulangi ketertinggalan
Sonny mengkritisi kebijakan pendidikan yang lama beradaptasi dengan perubahan. Pada 1970-an, wajar bagi pemerintah menargetkan pemberantasan buta huruf dibandingkan dengan pendidikan secara holistik. Akan tetapi, pada 1990, ketika Perang Dingin berakhir dan globalisasi dimulai, Indonesia semestinya sudah mencanangkan Wajib Belajar 12 Tahun.
Sistem pendidikan yang kaku, berbasis menghafal, dan hanya mementingkan penguasaan calistung menjadi salah satu penyebab dampak krisis ekonomi tahun 1997 begitu serius karena mayoritas penduduk adalah tenaga kerja tidak terampil. Butuh satu dekade bagi Indonesia untuk bangkit dan memulai dari nol.
Berani bertanya merangsang sifat berani menjawab dengan menyusun argumentasi sistematis.
”Generasi Z ke bawah adalah kesempatan emas karena mereka sudah akrab dengan teknologi digital sejak lahir. Mereka juga memiliki mental mau belajar dari berbagai sumber. Kalau SDM ini bisa diolah dan diarahkan dengan baik, Indonesia bisa menanggulangi ketertinggalan. Apalagi, era disrupsi membuat semua negara harus menyusun ulang kebijakan mereka di segala bidang,” tuturnya.