JAKARTA, KOMPAS - Biaya penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 perlu dipandang sebagai pertanggungjawaban nasional alih-alih proyek nasional. Penghematan biaya penting didorong oleh presiden sebagai salah satu amanat dalam konstitusi.
Ketua Institute for Policy Reform (Rumah Reformasi Kebijakan/RRK) Riant Nugroho, Kamis (17/10/2019) mengatakan pernyataan perlunya biaya pilkada dikurangi karena sesuai dengan konstitusi perlu diucapkan presiden. Terutama yang terkait dengan bagian jika negara memiliki aset maka mesti digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Riant menyebutkan hal itu dalam konteks kondisi perekonomian saat ini yang cenderung semakin susah. Karena itulah, biaya pilkada yang dibutuhkan idealnya turun atau setidaknya sama dengan penyelenggaraan sebelumnya.
“Tugas presiden ke Mendagri dan KPU (untuk) mendesain pemilu (pilkada) yang lebih hemat,” kata Riant.
Ia mengatakan, caranya bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi dalam penyelenggaraannya. Praktiknya dengan melibatkan sumber daya manusia melimpah di bidang tersebut dengan skema urun daya.
Dalam perhitungannya, penerapan metode tersebut di sebagian daerah akan bisa memangkan pengeluaran hingga sekitar sepertiga. Hal ini, imbuh Riant, membuat seluruh pihak belajar untuk tidak menyia-nyiakan anggaran negara.
Disinggung mengenai anggaran pilkada yang berasal dari APBD, Riant mengatakan bahwa hal itu seharusnya bisa diatur dari pusat. Menurutnya hal itu menyusul APBD yang juga berasal dari APBN.
“Lewat Bappenas, Kemendagri, Kemenkeu, Daerah bisa mellibatkan asosiasi gubernur, bupati, walikota. DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota,” sebut Riant. Selain itu, seluruh fakultas ilmu sosial dan ilmu politik se-Jawa dan Bali bisa diminta menyiapkan metode dan skenario terkait.
Sebelumnya, Riant juga menyampaikan mengenai hasil riset selama tiga bulan terakhir mengenai “Kinerja Kebijakan Pemerintahan Presiden Jokowi." Riset dengan metode analisis wacana di lima media massa terpilih itu menyimpulkan bahwa kinerja kabinet saat ini di bidang politik dan ekonomi berada pada posisi di bawah ambang batas minimum.
Kinerja kebijakan politik dan ekonomi dinilai “menengah.” Keduanya berada di bawah ambang batas nilai 60.
Sementara kinerja kebijakan sosial memiliki nilai “tinggi,” dan infrasktruktur berada pada posisi “sangat tinggi.” Keduanya melewati ambang batas penilaian pada angka 60.
Realisasi Kurang
Sementara itu, dari naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) yang sudah ditandatangani, diketahui bahwa sebagian besar kesepakatan pengucuran anggaran kurang dari usulan anggaran oleh KPU. Diketahui dari tujuh provinsi yang telah memiliki NPHD ditandatangani, jumlah NPHD dimaksud Rp 1.017.971.076.550 atau lebih kecil dari usulan total Rp 1.768.191.208.801.
Adapun dari 229 kabupaten/kota, jumlah usulan anggaran Rp 10.135.531.173.397 dengan NPHD disepakati RP 7.587.513.009.307. Masih terdapat dua provinsi dan 32 kabupaten/kota yang belum memilki NPHD ditandatangani.
Akan tetapi, sebagian kecil daerah, tercatat memiliki NPHD lebih besar dari usulan. Misalnya terjadi di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat dengan NPHD Rp 28 miliar dari usulan Rp 17 miliar.
Adapun dari tujuh provinsi, realisasi NPHD lebih kecil dari usulan terjadi di empat provinsi. Di dua provinsi lain, kesepakatan NPHD lebih besar dibandingkan usulan. Sementara di satu provinsi, kesepakatan NPHD sama dengan usulan anggaran.
Komisioner KPU Ilham Saputra pada Kamis itu mengatakan, cenderung lebih sedikitnya kesepakatan NPHD dibandingkan usulan karena hal itu sudah dirasionalkan oleh KPU penyelenggara pilkada di sejumlah daerah terkait. HIa menyatakan hal tersebut terutama jika dikaitkan dengan sejauh mana hal itu akan memengaruhi pelaksanaan Pilkada serentak 2020.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.