Karebosi, Rumah Bersama di Titik Nol Makassar
Karebosi, bagi warga Kota Makassar, lebih dari ruang publik serta perjumpaan orang dan kepentingan. Lapangan seluas 11,2 hektar itu bak rumah singgah.
Seusai berlari tiga putaran, Iswar Ismail (17) menepi di tempat duduk terbuat dari beton di sisi utara Lapangan Karebosi. Napasnya terengah. Bulir keringat meluncur ke pipi.
Tiga temannya bergabung. Mereka juga berbasah peluh. ”Setiap Sabtu, saya bersama teman-teman berlari di sini,” ujar Iswar yang tinggal di bilangan Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (5/10/2019).
Demi sampai di gelanggang olahraga itu, ia menempuh perjalanan 30 menit dengan sepeda motor. Sebenarnya di sekitar rumah ada taman, tetapi kecil dan tak ramai. Sore itu, ratusan warga berlari mengelilingi tiga lapangan sepak bola di Lapangan Karebosi. Pepohonan yang rindang mengelilingi lintasan lari sepanjang 200 meter dan lebar 80 meter itu.
Di dua lapangan sepak bola, anak-anak berlarian menyepak si kulit bundar. Teriakan mewarnai permainan mereka. Pemandangan seperti itu terlihat setiap hari di Lapangan Karebosi, ruang publik dan landmark legendaris di Makassar. Karebosi berjarak sekitar 500 meter dari Benteng (Fort) Rotterdam dan dikelilingi sejumlah perkantoran.
Lapangan yang menjadi titik nol Kota Makassar ini menjadi ruang warga untuk bermacam tujuan. Karebosi juga dilengkapi dengan tanah lapang berlantai beton plus panggung dan tribune besar. Berbagai kegiatan kerap dilakukan di area ini, seperti konser musik, pameran, kampanye, upacara hari besar, dan gelar pasukan. Karebosi juga menjadi tempat shalat Idul Fitri yang dihadiri wali kota dan unsur muspida bersama warga.
Di sisi barat ada lapangan sofbol dan basket. Ada juga areal parkir sepeda motor dan mobil. Selain berolahraga, pengunjung juga menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan dan makan di sisi utara lapangan.
Sejarah panjang
Sebagai ruang publik di tengah kota, Karebosi melewati sejarah panjang sejak Makassar masih menjadi wilayah Kerajaan Gowa. Karebosi juga salah satu tempat pertemuan pihak Kerajaan Gowa dan Tallo, yang kelak melahirkan sebutan kerajaan kembar Gowa-Tallo. Itu berlangsung hingga Benteng Somba Opu di Gowa jatuh dan pemerintahan kolonial berdiri.
Saat itu, pusat pemerintah kolonial berada di Benteng Rotterdam, tak jauh dari Pelabuhan Makassar. Ilham Daeng Makkelo, sejarawan Universitas Hasanuddin, mengatakan, sejak lama Karebosi sudah menjadi pusat berbagai kegiatan meski peruntukannya berbeda.
Awal abad ke-18, saat Hindia Belanda berkuasa dan bermukim di dalam benteng, Karebosi belum banyak difungsikan sebagai ruang publik. Pertengahan abad ke-18, saat Cornelis Speelman menjadi gubernur jenderal, orang-orang Belanda mulai bermukim di luar benteng.
Saat itu, Karebosi menjadi tempat berkumpul tentara, termasuk untuk latihan. ”Perkembangannya, di sekitar Karebosi mulai ramai dibangun rumah jabatan, tangsi militer, kantor, dan lainnya,” kata Ilham.
Posisi strategis Karebosi sudah terasa pada awal abad ke-20 saat budaya dan kebutuhan warga kota kian kompleks. Secara perlahan Karebosi menjadi ruang lebih terbuka. Perayaan ulang tahun Ratu Belanda yang biasanya diramaikan pasar malam atau pesta rakyat juga digelar di Makassar. Karebosi mulai menjadi lokasi representatif.
Kelahiran Persatuan Sepak Bola Makassar (PSM), salah satu klub sepak bola tertua di Indonesia yang kini berusia 104 tahun dengan pemain legendaris Ramang, tak bisa lepas dari keberadaan Karebosi.
Tahun 1906, Makassar menjadi kota otonom dan Karebosi tetap menjadi ruang terbuka bagi warga. Tahun 1915, lahan itu mulai menjadi tempat latihan sepak bola. Setidaknya 10 klub aktif berlatih di sana.
Saksi zaman
Kelahiran Persatuan Sepak Bola Makassar (PSM), salah satu klub sepak bola tertua di Indonesia yang kini berusia 104 tahun dengan pemain legendaris Ramang, tak bisa lepas dari keberadaan Karebosi.
Di lapangan itu pula berbagai aktivitas warga dilakukan, mulai berdagang makanan, menjual beragam barang, hingga menikmati pasar malam atau pesta rakyat. Beberapa kuliner legendaris Makassar, seperti konro dan rujak Karebosi yang sudah dikelola generasi ketiga, pernah menjadikan lapangan itu awal berusaha. Itulah mengapa nama Karebosi tetap digunakan meski lokasi usaha mereka tak ada lagi di sana.
Arman Yunus (75), warga Makassar, mengenang Karebosi sebagai tempat menonton pertandingan PSM tahun 1950-an, sekaligus tempat pasar malam. ”Saat kecil, saya sering dibawa menonton pertandingan PSM di Karebosi. Di sekeliling Karebosi sejak dulu banyak tenda penjual makanan,” katanya.
Pro dan kontra
Pemerintah Kota Makassar melakukan revitalisasi Karebosi tahun 2006. Berbagai kritik muncul, mulai soal sejarah lapangan hingga peruntukannya yang dikhawatirkan Karebosi tak lagi menjadi rumah bersama warga.
Saat itu, Pemkot Makassar menggandeng swasta membiayai revitalisasi. Pihak swasta diberi kesempatan menjalankan bisnis tempat belanja bawah tanah dengan status hak guna pakai. Pemkot mendapat pemasukan dari pajak dan retribusi serta menyerap tenaga kerja.
Banyak pihak menentang. Namun, Wali Kota Makassar saat itu, Ilham Arief Sirajuddin, menjanjikan Karebosi akan lebih tertata dan dilengkapi sumur resapan agar tak tergenang seperti sebelumnya, khususnya saat hujan. Ia juga menjanjikan Karebosi tetap menjadi ruang publik dilengkapi dengan fasilitas olahraga.
Menarik ke belakang, ada satu yang tak berubah: titik nol Makassar itu tetap menjadi tempat kumpul dan rumah singgah bagi siapa saja. Bukan hanya bagi warga lokal, melainkan juga wisatawan.
Pro-kontra dan gelombang demonstrasi baru berhenti saat warga mulai melihat Karebosi lebih tertata dan nyaman. Kini, Karebosi menjadi ikon tersohor Makassar. Menarik ke belakang, ada satu yang tak berubah: titik nol Makassar itu tetap menjadi tempat kumpul dan rumah singgah bagi siapa saja. Bukan hanya bagi warga lokal, melainkan juga wisatawan.