Kode Prabowo lewat Lincoln, Mao Ze Dong, dan Hideyoshi
Menjelang pelantikan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, belum ada lampu hijau bagi Gerindra untuk bergabung dalam pemerintahan. Sementara di internal Gerindra, sudah tak ada persoalan dari kader jika Prabowo memutuskan bergabung.
Menjelang pelantikan Presiden-Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, belum ada lampu hijau bagi Partai Gerindra untuk bergabung dalam pemerintahan Jokowi-Amin. Adapun di internal Gerindra, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto memakai kisah perseteruan Abraham Lincoln dan William Seward dan sejumlah tokoh dunia lain agar kader tak bergejolak jika kelak Prabowo membawa Gerindra bergabung dalam pemerintahan.
Kisah tersebut diceritakan Prabowo saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Gerindra di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (16/10/2019).
Di hadapan lebih dari 4.000 kader Gerindra, Prabowo menceritakan betapa besar rasa nasionalisme Presiden ke-16 Amerika Serikat (AS) Abraham Lincoln seusai kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) AS pada 1860.
Kala itu, Lincoln berbesar hati meminta rival utamanya di Partai Republik, William H Seward, untuk masuk ke kabinet sebagai Menteri Luar Negeri AS. Padahal, kedua tokoh itu sempat bersaing sengit dalam konvensi untuk menjadi calon presiden AS dari Partai Republik.
Kerasnya persaingan antara Lincoln dan Seward terjadi hingga mengarah pada perkataan-perkataan tak pantas, bahkan cenderung terkesan meremehkan, dilontarkan Seward kepada Lincoln.
”Seward mengatai Lincoln sebagai monyet,” kata politisi Partai Gerindra Sandiaga Uno, yang menceritakan ulang kisah yang dibawakan Prabowo saat Rapimnas.
Pada akhirnya, Lincoln keluar sebagai pemenang pilpres. Tidak lama setelah pilpres, Lincoln mengajak Seward bergabung ke kabinet dengan menawarkan jabatan menteri luar negeri. Dalam sistem pemerintahan di AS, jabatan menteri luar negeri adalah posisi ketiga terkuat setelah presiden dan wakil presiden di AS.
Secara diam-diam, Lincoln mengajukan penawarannya melalui Wakil Presiden terpilih, Hannibal Hamlin. Penawaran itu disampaikan Lincoln dalam dua pucuk surat. Surat pertama berisi penawaran resmi sebagai menteri luar negeri. Adapun surat kedua diberi tanda ”pribadi dan rahasia” untuk jaga-jaga jika Seward menolak tawaran pada surat pertama.
Upaya mengirimkan dua surat itu ditempuh Lincoln karena dia telah mendengar isu bahwa tawaran jabatan menteri itu dilandasi maksud untuk menenangkan para pendukung Seward. Dia khawatir, isu tersebut justru membuat penawaran itu menyinggung hati Seward.
Baca juga: Kebebasan Sipil Menjadi Penentu
Doris Kean Goodwin, dalam penelitiannya tentang kabinet Lincoln, Team of Rivals, mengisahkan, Seward kemudian menanggapi dingin permintaan Hamlin terhadap tawaran yang diajukan Lincoln. Namun, air muka Seward seketika menjadi pucat karena senang seusai membaca surat kedua.
Singkat cerita, setelah berkonsultasi dengan penasihat politiknya, Seward menerima tawaran itu dan membantu Lincoln memilih anggota kabinet yang lain.
”Kedua tokoh itu memang saling membenci. Tapi, ada satu hal yang tak terbantahkan, mereka sama-sama mencintai Amerika Serikat,” ujar Sandiaga.
Kisah lain
Kode-kode dari Prabowo terkait sikap politiknya dan Gerindra pada periode kedua pemerintahan Jokowi, 2019-2024, tidak hanya disampaikan lewat kisah Lincoln dan Seward.
Masih dari Rapimnas Gerindra, Prabowo juga mengisahkan pertikaian antara Panglima Perang Jepang Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu, dan pendiri Republik Rakyat China Mao Zedong dengan rivalnya, Deng Xiaoping. Dari kedua kisah itu tersirat pesan yang serupa dengan kisah Lincoln dan Seward.
Hideyoshi dan Tokugawa, misalnya. Sehari sebelum pertempuran yang terjadi di abad ke-16, kedua panglima perang di Jepang itu bersepakat untuk tidak berperang dan menyelesaikan perselisihan dengan jalur perundingan.
"Mereka akan berperang besok. Sehari sebelumnya, Hideyoshi mengirim utusan kepada Tokugawa untuk bertemu empat mata," ujar Sandiaga.
"Hideyoshi lantas mengatakan ada 70.000 pasukan di kedua kubu, mereka anak muda kuat dan bisa mengukir masa keemasan Jepang. Mungkin sekali Tokugawa menang atau sebaliknya, Hideyoshi. Namun akan banyak sekali anak muda Jepang yang meninggal dan terluka. Oleh karena itu, karena keduanya cinta pada Jepang dan menghindari perpecahan, maka perselisihan diselesaikan dengan jalur perundingan," tambahnya.
Senada, Mao Ze Dong dan Deng Xiao Ping, dua tokoh pemimpin China yang sebenarnya tidak saling menyukai, tetapi mereka memilih melihat ke depan untuk mewujudkan Republik Rakyat China yang lebih kuat. Saat Mao terpilih, ia menunjuk Deng Xiao Ping sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis China.
Menurut Sandiaga, setelah menyimak ketiga kisah itu, perbedaan pandangan yang ada di antara para kader Gerindra pun terkikis. Mereka lantas menyerahkan mandat kepada Prabowo untuk mengambil sikap politik Gerindra. Mereka siap menerima apa pun keputusan Prabowo.
Sebelumnya, Sandiaga mengakui ada dua aliran pemikiran di antara para kader. Ada yang menghendaki partai tetap menjadi oposisi dan ada yang ingin Gerindra bergabung ke dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi.
”Saya simpulkan pikiran Pak Prabowo bahwa yang harus kita kedepankan adalah cinta bangsa, cinta NKRI. Kedua, melihat ke depan, jangan melihat ke belakang. Ketiga, adalah hindari perpecahan di belakang kita. Tiga hal itu yang dibawa dalam rapimnas kemarin, yang menjadi pegangan, ini diakhiri dengan instruksi ke setiap kader,” tutur Sandiaga.
Baca juga: Sandiaga Uno, Kembali ke Panggung Politik dan Sikap Abu-abu Gerindra
Mentan atau menhan?
Belakangan ini, santer tersiar kabar mengenai potensi kursi menteri yang akan diperoleh Gerindra jika bergabung dalam koalisi pendukung pemerintahan.
Jabatan yang paling sering disebut adalah menteri pertanian (mentan) yang santer disebut akan diampu oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo.
Meski demikian, informasi yang diterima Kompas, Prabowo juga mengincar jabatan lain yang lebih prestisius di kabinet, yakni menteri pertahanan (menhan). Menhan merupakan bagian dari triumvirat atau sebutan bagi tiga menteri yang akan menjalankan pemerintahan dalam kondisi darurat jika presiden dan wakil presiden sedang berhalangan. Triumvirat terdiri atas Menhan, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Dalam Negeri.
Pak Prabowo tidak pernah bicara harus menteri apa, yang jelas yang kami tawarkan itu konsepsi. Terserah apakah mau dipakai atau tidak oleh Pak Jokowi.
Informasi itu dikuatkan dengan konsep program dan kebijakan yang telah ditawarkan Prabowo kepada Presiden Jokowi. Salah satu di antara konsep itu terkait bidang pertahanan dan keamanan, selain konsep lainnya seputar ketahanan pangan dan energi.
Menanggapi isu tersebut, Juru Bicara Partai Gerindra Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, dalam lobi-lobi politiknya, Prabowo tidak pernah membicarakan secara spesifik kursi menteri apa yang ia inginkan.
”Pak Prabowo tidak pernah bicara harus menteri apa, yang jelas yang kami tawarkan itu konsepsi. Terserah apakah mau dipakai atau tidak oleh Pak Jokowi,” katanya.
Setengah hati
Terlepas dari isu menteri itu, di saat Prabowo sudah berhasil meyakinkan kadernya untuk mengikuti sikap politiknya jika kelak memutuskan bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Amin, ganjalan justru datang dari Koalisi Indonesia Kerja, partai-partai politik pendukung Jokowi-Amin.
Sejumlah partai masih setengah hati, bahkan ada yang keberatan, menerima kedatangan anggota baru, apalagi anggota baru itu rival politik di Pilpres 2019. Sebagai eks rival, Gerindra diragukan komitmennya dalam mendukung pemerintah.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) salah satu yang terlihat setengah hati. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar berulang kali menyindir Gerindra dengan makmum masbuk atau jamaah yang datang terlambat saat shalat.
Namanya makmum masbuk, kalau terlambat, datang belakangan, maka jatahnya juga belakangan. Makmum masbuk juga harus menunjukkan komitmen, dia harus mampu mengikuti sampai rakaat terakhir, jangan memisahkan diri di tengah jalan.
”Namanya makmum masbuk, kalau terlambat, datang belakangan, maka jatahnya juga belakangan. Makmum masbuk juga harus menunjukkan komitmen, dia harus mampu mengikuti sampai rakaat terakhir, jangan memisahkan diri di tengah jalan,” katanya.
Golkar lebih resistan. Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, seusai pertemuan Prabowo Subianto dan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, 15 Oktober lalu, menyampaikan, idealnya Gerindra berada di luar pemerintahan Jokowi-Amin. Selain itu, Golkar berharap Presiden lebih memprioritaskan kader partai dalam KIK untuk masuk dalam kabinet Jokowi-Amin.
”Golkar ingin agar partai koalisi yang sudah bekerja keras bisa lebih diprioritaskan. Ini bukan soal jatah menteri, melainkan agar bagaimana sistem demokrasi kita benar-benar terbentuk. Butuh fungsi check and balance (pengawasan dan keseimbangan) agar ada keseimbangan dalam sistem politik yang sehat,” katanya.
Baca juga: Musim Gugur Oposisi
PDI-P sebagai partai pendukung utama Presiden Jokowi juga menyiratkan keberatan. ”Dalam demokrasi yang sehat, koalisi sebelum pilpres dan setelah pilpres harusnya sama. Selain itu, demokrasi membutuhkan checks and balances karena di dalam maupun di luar pemerintahan sama-sama tugas patriotik,” ujarnya.
Kalaupun ada penambahan partai baru dalam koalisi, Hasto mengatakan harus didasarkan pada pertimbangan yang sangat strategis, misalnya perlu konsolidasi kekuatan nasional dalam menghadapi tantangan eksternal dan internal. Keputusan menambah partai juga harus diputuskan bersama KIK. Tidak bisa hanya diputuskan oleh Presiden Jokowi.
Akankah resistansi itu membuat lampu hijau bergabungnya Gerindra dalam pemerintahan Jokowi-Amin tak akan pernah muncul? Atau sebaliknya, lobi-lobi mengubah sikap partai-partai di KIK?
Baca juga: Teka-teki Kabinet Joko Widodo-Ma\'ruf Amin
Seperti disampaikan Presiden Jokowi melalui akun Instagram-nya, kemarin, ”Sabar, sebentar lagi....” Presiden menyampaikan susunan kabinet sudah rampung dan akan segera diumumkan sehingga meminta segenap pihak bersabar. Dari susunan kabinet tersebut kelak bisa diketahui, siapa koalisi dan siapa oposisi, termasuk di mana posisi politik Gerindra.