Konsolidasi Ideologis di Balik Pembentukan Kabinet
›
Konsolidasi Ideologis di Balik...
Iklan
Konsolidasi Ideologis di Balik Pembentukan Kabinet
Dinamika pembentukan kabinet pemerintahan periode 2019-2024 dinilai tak sekadar bagi-bagi kue kekuasaan. Penyusunan kabinet berangkat dari konsolidasi ideologis dari masing-masing partai.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika pembentukan kabinet pemerintahan periode 2019-2024 dinilai tak sekadar bagi-bagi kue kekuasaan. Penyusunan kabinet berangkat dari konsolidasi ideologis dari masing-masing partai.
Dinamika penyusunan kabinet yang demikian dinilai menjadi modal agar Indonesia tidak terjebak kembali dalam politik identitas, seperti yang dirasakan dalam dua pemilu terakhir. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari dalam diskusi ”Teka-teki Menteri dan Koalisi” yang diselenggarakan MNC Trijaya, Sabtu (19/10/2019), di Jakarta. Dalam acara itu, hadir juga pengamat politik Hendri Satrio, Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira, Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria, Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily, dan Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera.
Qodari berpendapat, ada agenda besar di balik pembentukan kabinet yang dibahas dalam rangkaian pertemuan elite politik beberapa hari terakhir. Ia menangkap ada kesan pertarungan ideologis dalam proses itu.
”Penyusunan kabinet merupakan bagian dari konsolidasi ideologi partai-partai nasionalis dan Islam tradisional. Selain itu, ada juga upaya merangkul Islam modernis, seperti merangkul Partai Amanat Nasional (PAN),” katanya.
Dia menjelaskan, PDI-P, Gerindra, Golkar, dan Nasdem mewakili partai nasionalis. Sementara Islam tradisional diwakili Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan PAN dan PKS mewakili Islam modernis.
Menurut dia, Demokrat juga bagian dari partai nasionalis. Akan tetapi, masih sulit membaca sikap politik partai ini karena perannya sebagai partai penyeimbang. ”Dalam operasionalnya, penyeimbang itu berarti tergantung situasi dan kondisi,” katanya, disusul gelak tawa peserta diskusi.
Dia menjelaskan, konsolidasi ideologi melalui pembentukan kabinet dilatarbelakangi oleh dinamika politik global dan nasional, terutama karena menguatnya kembali isu politik identitas dalam dua pemilu terakhir. Ini kemudian turut membuka mata para elite politik untuk mengubah ekses demokrasi tersebut.
Dengan mengutip antropolog Clifford Geertz, Qodari menyatakan bahwa isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Indonesia ibarat buaya yang berada di dasar sungai tenang, ”Ketika buayanya nongol, korbannya banyak dan berdarah-darah,” katanya.
Mardani Ali Sera menampik adanya persoalan ideologis di balik keengganan partainya bergabung dengan pemerintah. PKS, katanya, hanya ingin menunjukkan konsistensi dan menjunjung tinggi etika publik.
Menurut dia, dua pemilu terakhir menunjukkan tingginya partisipasi publik dalam agenda lima tahunan itu. Dia khawatir, jika PKS ikut menyeberang ke koalisi, akan terjadi demoralisasi publik. Masyarakat tak akan percaya lagi dengan partai politik.
Andreas Hugo Pareira menyatakan, selain ideologi, pertemanan antarelite politik juga menjadi faktor penentu dalam membangun kepercayaan. Ia menyatakan, rangkaian pertemuan sejumlah ketua umum partai dengan Joko Widodo adalah bagian untuk membangun kepercayaan itu. Harapannya, Joko Widodo bisa menjadi pengikat hubungan antarelite politik agar pemerintahan tetap berjalan efektif.
Merespons PKS yang memilih menjadi oposisi, Andreas menyatakan bahwa dalam format sistem presidensial, oposisi dan koalisi bersifat cair. Rigiditas antara koalisi dan oposisi hanya ada pada demokrasi parlementer, yang pernah dipakai Indonesia pada 1950-an.
Dalam beberapa hari terakhir, Joko Widodo bertemu dengan sejumlah Ketua Umum Partai, antara lain dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.
Ahmad Riza Patria menyatakan, hingga saat ini belum ada kepastian Gerindra bergabung dengan pemerintah atau tidak. Yang pasti, Gerindra siap bergabung dengan pemerintah jika diminta oleh Presiden. Gerindra, katanya, berada dalam posisi pasif dalam hal ini. ”Kami tahu diri karena kami bukan partai pengusung Joko Widodo,” katanya.
Sementara bagi Golkar, kata Ace Hasan Syadzily, pembentukan kabinet diserahkan sepenuhnya kepada Presiden. Golkar menginginkan figur menteri yang sesuai dengan tantangan Indonesia saat ini. ”Kami tidak dalam kapasitas untuk menawarkan diri, tetapi kalau diminta, kami akan berikan yang terbaik,” katanya.