Lestarikan Festival Ujungan, Wariskan Keberanian
Festival Ujungan menjadi tradisi yang digelar Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, untuk memohon hujan saat musim kemarau panjang. Tradisi itu sekaligus menjadi sarana untuk mewariskan keberanian dan sportivitas warga serta menjadi daya tarik bagi pengembangan pariwisata setempat.
Dua laki-laki dewasa yang disebut jawara bertarung menggunakan rotan. Debu dari sawah yang tandus beterbangan ketika keduanya saling menyerang.
Dalam pertarungan itu, ada dua gerakan yang khas, yakni erek dan jinjit. Erek merupakan gerakan memutar-mutar rotan sehingga musuh bingung, sedangkan jinjit merupakan gerakan mengangkat tumit dan badan condong ke depan untuk bersiap menyabet musuh. Dengan berjinjit, sabetan dipercaya lebih keras.
Sabetan rotan menyambar betis atau tulang kering petarung yang terlambat menghindar. Teriakan penonton meramaikan suasana. Sejurus kemudian, wlandang atau sang wasit segera memisah kedua jawara.
Kemeriahan Festival Ujungan di Desa Gumelem itu berlangsung pada Minggu (6/10/2019) sore. Sebanyak 22 jawara bertarung dalam 11 babak. Ujungan merupakan tradisi masyarakat setempat untuk memohon turunnya hujan di musim kemarau yang panjang ini. Tidak ada pemenang dalam festival itu, tetapi pelestarian kebudayaan dan doa menjadi yang utama.
”Sudah lima bulan ini hujan tidak turun. Sawah kering tidak ada air. Saya kerja serabutan, ya kadang menjadi tukang di proyek,” kata Rasmidi Ratim (60), petani di Desa Gumelem Kulon, yang juga menjadi wlandang pada ujungan itu.
Sebelum dipercaya menjadi wasit, Rasmidi juga merupakan jawara atau peserta ujungan sejak tahun 1970. Tradisi turun-temurun di desanya itu mendorong dirinya untuk terus setia mengikuti dan menekuni tradisi itu. ”Ini tradisi turun-temurun dari nenek moyang untuk memohon hujan dari Allah,” ujarnya.
Ki Agus Winaryanto (50), Koordinator Kesenian Ujungan, menambahkan, dari tradisi lisan yang digali dari para sesepuh di desanya, tradisi ujungan sudah ada sejak lama. Berdasarkan kisah sesepuh desa almarhum Kaswari, ujungan bermula sekitar tahun 1500.
”Saat itu, ada kemarau panjang dan di atas bukit ini ada genangan air yang diperebutkan warga hingga berkelahi satu sama lain,” katanya.
Perkelahian saat itu terjadi antara warga di sisi utara dan selatan bukit. Perkelahian saat itu menggunakan senjata tajam berupa cangkul dan celurit. Saat itu, tokoh masyarakat bernama Singakerti menengahi perselisihan itu dan menyarankan perkelahian menggunakan batang kayu reside.
”Konon perkelahian dimenangi warga di sisi selatan sehingga air dialirkan ke sana,” kata Agus. Seiring berjalannya waktu, perkelahian itu dijadikan ritual dan tradisi yang kemudian dipercaya menjadi sarana memohon turunnya hujan. Saat menggelar Festival Ujungan, dipanjatkan doa permohonan kepada Yang Mahakuasa agar hujan segera turun.
Dalam perkembangannya, senjata yang digunakan dalam Festival Ujungan berubah, mulai dari penggunaan kayu pohon reside, batang tanaman burus, hingga saat ini dipakai batang rotan. Dalam pertarungan para jawara di arena tertanam jiwa keberanian serta sportivitas. ”Pertarungan hanya ada di arena. Setelah itu tidak ada dendam atau saling benci di luar arena,” kata Agus.
Setiap kali bertarung, peran wlandang cukup besar dalam mengatur permainan. Wlandang hanya membatasi setiap jawara bisa terkena sabeten sebanyak enam kali yang diselingi dengan pertukaran senjata pada sabetan ketiga.
Sasaran sabetan rotan pun hanya dari lutut ke bawah. Jawara dilarang menyerang area lutut ke atas hingga kepala. Para jawara dilindungi dengan kostum kain berlapis pada kepala dan juga tangan kiri.
”Saya senang ikut ujungan. Ini untuk nguri-nguri atau melestarikan tradisi. Tadi terkena sabetan, tapi tidak sakit. Sebenarnya ini lebih melatih mental karena harus berani untuk maju menjadi jawara,” kata Waryo (39), salah satu jawara yang sehari-hari bekerja sebagai sopir truk.
Waryo sudah mengikuti ujungan sejak usia 16 tahun. Setiap kali mengikuti ujungan, dirinya selalu menyempatkan untuk berpuasa selama dua hari sebagai persiapan lahir dan batin. Selain Waryo, ada pula Slamet (30) yang juga senang mengikuti ujungan ini. ”Tidak terasa sakit meski tersabet rotan,” ujar Slamet seusai bertarung.
Rampak Ujungan
Pada pembukaan Festival Ujungan, Jumat (4/10), 50 anak sekolah dasar ikut berpartisipasi menarikan tari Rampak Ujungan. Mereka pun didandani laksana laki-laki dewasa dengan jenggot dan kumis bak jawara. Tutup kepala dan rambut palsu dari rafia pun menambah garang tampilan para penari.
”Anak-anak sejak kecil dikenalkan dengan tradisi ujungan. Mereka juga belajar untuk berani tampil di depan umum,” kata Sabar Jatmiko, pendamping dan guru Pendidikan Jasmani dan Kesenian di SD Negeri 2 Gumelem Wetan.
Hingga saat ini, bencana kekeringan masih melanda 30 desa di 10 kecamatan di Banjarnegara. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Banjarnegara sepanjang 2019 telah menyalurkan air bersih 850 tangki atau 4.250.000 liter kepada warga.
Adapun berdasarkan prediksi Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Cilacap, meskipun saat ini sudah memasuki awal musim hujan, curah hujan masih di bawah normal. ”Musim hujan diperkirakan normal pada Desember-Februari,” kata prakirawan Stasiun Meteorologi BMKG Cilacap, Rendi Krisnawan.
Sembari memohon hujan bagi bencana kekeringan di Banjarnegara, festival ini diharapkan juga bisa menjadi ikon budaya yang menjadi daya tarik pariwisata.
Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Banjarnegara Singgih Haryono mengatakan, festival ujungan ini merupakan salah satu festival dari total 69 kegiatan budaya yang ada di Banjarnegara selama setahun.
”Diharapkan melalui festival ini jumlah kunjungan wisatawan ke Banjarnegara meningkat. Pada 2019 ini sudah ada 2 juta orang berkunjung ke Banjarnegara,” kata Singgih.