Berakhirnya riwayat sebuah lembaga pendidikan bisa dipicu oleh sejumlah faktor. Harian Kompas edisi 19 Oktober 1977 menyuguhkan berita seputar ditutupnya Akademi Geologi dan Pertambangan (AGP).
Lembaga pendidikan yang berkampus di Bandung, Jawa Barat, itu sudah tiga tahun dilanda kemelut hingga jumlah mahasiswanya terus menyusut. Tahun 1975, jumlah mahasiswanya 888 orang. Tiap tahun terus berkurang hingga 231 orang dan kemudian ditutup Maret 1978.
Tidak terungkap penyebab terus menciutnya jumlah mahasiswa AGP. Yang pasti, pimpinan dan senat mahasiswa AGP sepakat untuk tidak menelantarkan nasib 231 mahasiswa yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Mahasiswa AGP yang terdiri dari 134 orang jurusan pertambangan dan 97 orang jurusan geologi meminta pimpinan akademi dan dosen menuntaskan proses pendidikan yang tinggal lima bulan lagi.
Di lain pihak, mahasiswa juga tetap antusias belajar. Pejabat Rektor AGP Adnan Ibrahim menyebutkan, akademi yang dikelola Departemen Pertambangan dan Energi itu diisi mahasiswa dari kalangan anak pegawai negeri, anak pensiunan, dan anak petani.
Penutupan sebuah akademi yang dinaungi Departemen Pertambangan dan Energi pada masa itu tentulah sesuatu yang kontras dengan situasi empirik. Seharusnya departemen ini merawat akademi yang sudah dikelolanya sebagai wujud tanggung jawab untuk menyediakan sumber daya manusia yang terampil di bidang pertambangan dan energi. Menteri Pertambangan dan Energi Subroto pada masa itu menyebutkan, sampai tahun 2000, minyak bumi masih tetap akan memegang peranan penting di bidang energi (Kompas, 31/5/1983). (NAR)