Terkait perkembangan nilai tukar 5 tahun terakhir, puncak ketidakstabilan terjadi pada 2017-2018. Saat itu, bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga acuan dan defisit transaksi berjalan RI juga mulai makin dalam.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terkait perkembangan nilai tukar lima tahun terakhir, puncak ketidakstabilan terjadi pada 2017-2018. Saat itu, bank sentral AS, The Fed, mulai menaikkan suku bunga acuan dan defisit transaksi berjalan Indonesia juga mulai makin mendalam.
Akibatnya, terjadi aliran keluar modal sehingga nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp 15.000 per dollar AS. ”Tetapi memasuki tahun 2019, nilai tukar rupiah mulai stabil di level Rp 14.100-an per dollar AS,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, di Jakarta.
Gejolak faktor eksternal yang memengaruhi ketidakstabilan nilai tukar kini berkurang. Terkait perang dagang AS-China, kondisi ini di satu sisi memang menimbulkan ketidakpastian sehingga menurunkan volume perdagangan. Akan tetapi, di sisi lain, perang dagang juga memunculkan potensi arus masuk investasi asing ke negara-negara berkembang.
”Cuma sayangnya Indonesia tidak bisa menangkap potensi itu sehingga investasi lebih banyak masuk ke negara tetangga di ASEAN, seperti Vietnam dan Thailand,” ujar Abra.
Menurut Abra, perbaikan defisit neraca perdagangan dibutuhkan karena pada akhirnya juga akan memperbaiki defisit transaksi berjalan. Langkah perbaikan ini diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah ke depan.
”Jadi, ada dua sisi yang perlu diberi perhatian, yakni meningkatkan kinerja perdagangan dan menarik investasi, baik investasi portofolio maupun penanaman modal asing langsung,” kata Abra.
Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah karena pada 2018 pertumbuhan investasi asing minus sekitar 8 persen. ”Apabila kinerja investasi—terutama penanaman modal asing—sepanjang 2019 positif, bisa menjadi landasan bahwa pada 2020 ada semacam ekspektasi kinerja penanaman modal Indonesia akan lebih baik,” kata Abra.
Pasar pun akan merespons komposisi tim baru bidang perekonomian di kabinet mendatang. Respons pasar, secara psikologis, akan memengaruhi keputusan investor, baik dalam portofolio maupun investasi langsung.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menuturkan, pelambatan pertumbuhan ekonomi global—termasuk akibat perang dagang—memunculkan peluang.
”Merespons pelambatan ekonomi global tersebut, bank-bank sentral mengambil kebijakan yang lebih dovish, lebih longgar,” kata Piter pada forum diskusi Kafe BCA 11 bertema ”Economy Outlook 2020: Capturing Opportunities to Growth” di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Menurut Piter, kebijakan bank-bank sentral yang lebih longgar—seperti penurunan suku bunga—memberikan peluang aliran modal masuk ke Indonesia. Dengan demikian, tekanan terhadap rupiah pada tahun depan pun diperkirakan berkurang.
Lapangan kerja
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menuturkan, regulasi untuk mendorong penciptaan lapangan kerja harus senapas dengan seluruh kebijakan apabila menginginkan pertumbuhan ekonomi yang bagus.
”Indonesia harus mengoptimalkan produktivitas penduduk dengan cara memberikan kesempatan bagi mereka mendapatkan pekerjaan yang mengacu pada lapangan kerja formal,” kata Hariyadi.
Hariyadi menuturkan, penduduk miskin dapat dilihat dari data BPJS Kesehatan. Penerima bantuan iuran sudah mencapai 96,8 juta orang atau hampir 37 persen dari populasi penduduk Indonesia.
”Kalau penerima bantuan iuran sebegitu besar, mesin pertumbuhan ekonomi akan berat terbebani. Artinya, kita nanti bisa-bisa bukan menikmati bonus demografi, tetapi beban demografi,” kata Hariyadi. (CAS)