Lebanon diguncang unjuk rasa disertai pelemparan aneka jenis benda sejak Kamis hingga Jumat (18/10/2019). Rencana pemungutan pajak jenis baru di tengah kemerosotan ekonomi menjadi pemicu unjuk rasa itu.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
BEIRUT, SABTU — Lebanon diguncang unjuk rasa disertai pelemparan aneka jenis benda sejak Kamis hingga Jumat (18/10/2019). Rencana pemungutan pajak jenis baru di tengah kemerosotan ekonomi menjadi pemicu unjuk rasa itu.
Para pengunjuk rasa menutup berbagai jalan di Beirut, ibu kota Lebanon, dengan tong sampah dan ban yang dibakar. Mereka mulai berkumpul sejak Kamis malam di berbagai penjuru kota yang bolak-balik dilanda perang itu.
Konblok bertebaran di berbagai sudut Beirut. Sebelumnya, pengunjuk rasa memakainya untuk melempari aparat. Surat kabar Lebanon, An-Nahar, menyebut unjuk rasa itu sebagai ”Intifada Pajak”.
Selain karena melawan rencana pemungutan pajak jenis baru, unjuk rasa itu disertai pelemparan batu dan aneka benda kepada aparat. Hal ini mirip cara warga Palestina kala melawan tentara Israel beberapa tahun lalu.
Rencana Menteri Telekomunikasi Mohamed Choucair mengenakan pajak 20 sen pound Lebanon per hari kepada setiap pengguna layanan pesan singkat melalui internet menjadi pemicu unjuk rasa. Pajak itu merupakan salah satu jenis pungutan yang diusulkan untuk dikenakan kepada warga sebagai cara menambah pendapatan negara. Unjuk rasa yang meluas membuat Choucair akhirnya mengumumkan pembatalan pajak yang menyasar, antara lain, pengguna Whatsapp itu.
Unjuk rasa yang meluas membuat Choucair akhirnya mengumumkan pembatalan pajak yang menyasar, antara lain, pengguna Whatsapp.
Rangkaian unjuk rasa membuat Kementerian Pendidikan meliburkan sekolah demi alasan keamanan. Unjuk rasa juga membuat Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri membatalkan sidang kabinet.
”Kami bersatu melawan pemerintah. Kami ingin (pemerintah) jatuh,” kata para pengunjuk rasa di Jeita, kota di luar Beirut. Mereka juga meneriakkan kata ”Revolusi” berkali-kali.
”Kami menolak yang tengah melanda Lebanon. Kegagalan pemerintah bertindak membuat kami terpaksa turun ke jalan. Mereka mengenakan pajak terus-menerus, padahal kami sudah tidak kuat,” kata penulis dan sutradara Lucien Bourjeily.
Ekonomi terpuruk
Bolak-balik dilanda perang, perekonomian Lebanon tidak kunjung pulih. Hingga 37 persen penduduk berusia kurang dari 35 tahun tidak punya pekerjaan. Lebanon harus menanggung utang setara 150 persen produk domestik bruto (PDB). Kini, nilai utang negara itu mencapai 86 miliar dollar AS.
Perekonomian semakin sesak karena negara itu harus menampung 1,5 juta pengungsi Suriah sejak 2011. Selama ini, Lebanon terutama mengandalkan kiriman uang dari warganya di luar negeri sebagai sumber pendapatan negara ataupun masyarakat.
Lembaga donor internasional meminta Lebanon membuat sejumlah perubahan jika ingin mendapat utang baru. Sampai sekarang, perubahan yang diharapkan belum kunjung dilakukan.
Perubahan dibutuhkan karena pemberi kredit ingin memastikan pinjaman dari mereka dibelanjakan dengan tepat. Korupsi menjadi salah satu persoalan di negara yang kerap dilanda perang itu.
Menteri Dalam Negeri Lebanon Raya al-Hassan meminta pengunjuk rasa menjaga ketertiban. Ia menyebut unjuk rasa bisa memicu krisis dengan dampak yang sulit diprediksi pada perekonomian yang sudah menurun. ”Pemerintah mencoba membantu warga. Pemerintahan baru pun akan melakukan hal yang sama,” ujarnya seraya menolak pembubaran kabinet. (AFP/REUTERS)