Dayak Kenyah Menari, Rayakan Persahabatan
Di desa kecil itu, mereka menambatkan persaudaraan dengan denting sampek dan tarian yang sublim.
Melalui tarian dan senyuman yang subtil, suku Dayak Kenyah yang bermukim di Kelurahan Pampang, Kecamatan Samarinda, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, berkenalan dan bersahabat dengan sejumlah pendatang serta turis. Di desa kecil itu, mereka menambatkan persaudaraan dengan denting sampek dan tarian yang sublim.
Minggu (29/9/2019) siang, Lamin Adat Pamung Tawai atau rumah adat suku Dayak di Kelurahan Pampang dipenuhi wisatawan. Mereka memenuhi sekitar seratus kursi yang ada.
Tak lama, lima lelaki duduk di hadapan para pengunjung. Mereka memangku sampek, alat musik petik tradisional suku Dayak.
Pemandangan seperti ini lazim terlihat di Kelurahan Pampang, berjarak sekitar 25 kilometer sisi utara pusat Kota Samarinda. Setiap minggu, suku Dayak Kenyah di sana menggelar pertunjukan tari. Sekitar satu jam, mereka menampilkan 10 tarian khas Dayak.
Ketua Kesenian Pampang, Kang Laeng Along, membuka pertunjukan dengan menyapa tamu berdasarkan asalnya. Data itu didapat dari daftar hadir tamu. Selain dari Samarinda, penonton yang hadir pada hari itu juga berasal dari Sulawesi Utara, Jawa Timur, Sumatera Utara, Papua, Balikpapan, dan Jerman. Along menyapa mereka dan menyilakan berdiri.
”Perbedaan yang membuat kita bertemu dan berkumpul saat ini,” kata Along, disusul tepuk tangan penonton.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa perbedaan justru menjadi daya yang mendorong mereka untuk menjalin persaudaraan dengan siapa saja yang datang di situ. Melalui tari tradisi, suku Dayak di Kelurahan Pampang dengan sadar menjalin relasi dengan siapa saja. Eksotisme tarian, baju adat, dan tradisi kuping panjang suku Dayak dijadikan jembatan untuk bersaudara dengan orang di luar suku Dayak.
Pertunjukan dimulai dengan alunan sampek yang dimainkan. Sejurus kemudian, keluar seorang penari laki-laki dewasa dari belakang panggung. Ia membawa Mandau, senjata khas suku Dayak sejenis pedang serta talawang atau perisai dari kayu ulin.
Sang penari menampilkan gerakan lambat menebas. Itu merupakan simbol pembersihan halaman rumah, sekaligus pembersihan hati dan pikiran semua orang yang hadir sejak dimulainya pertunjukan.
Tarian selanjutnya adalah Kanjet Lasan Leto atau tarian persahabatan. Puluhan penari perempuan dewasa masuk. Menggunakan mahkota dan pakaian yang dihias manik-manik, mereka melangkah pelan dan anggun. Para penari tak menampilkan gerakan rumit. Gerakan jemari yang tersemat bulu imitasi burung enggang digerakkan seolah memeluk siapa saja yang melihat.
Tarian persahabatan ini menunjukkan sisi kelembutan suku Dayak. Gerak tari yang sederhana melambangkan bahwa memulai dan menjalani persahabatan itu sangat sederhana. Manusia hanya perlu saling mengenal dan menghargai.
”Gerakan yang lembut dan musik yang tenang menandakan bahwa berteman itu mudah. Kita tersenyum dan menari saja sudah bisa dapat teman. Setelah pertunjukan, kita bisa mengobrol dengan pengunjung,” ujar Along.
Bagi suku Dayak, pertemuan patut dirayakan. Tari tradisi menjadi bahasa tubuh untuk memperkenalkan diri dan memulai pertemanan. Biasanya, tarian selamat datang dan tarian pertemanan dipentaskan saat ada tamu.
Melalui pertunjukan seni mingguan ini, suku Dayak Kenyah di sana sadar bahwa perbedaan yang membuat persahabatan menjadi lebih hangat. Perbedaan tradisi membuat orang datang dari berbagai daerah ke Kelurahan Pampang. Para pengunjung datang karena ingin melihat sesuatu yang unik, yang berbeda dari tradisi mereka.
Pertunjukan mingguan itu membuktikan bahwa kesenian menjadi senjata ampuh untuk memulai persaudaraan. Ada satu tarian yang melibatkan penonton, yaitu Tari Pangpaga. Tarian itu menceritakan bagaimana ritual suku Dayak Kenyah mengusir hama di masa silam.
Dalam tarian itu, empat penari memegang empat bilah kayu. Kayu itu disilangkan di lantai, dua kayu menghadap sisi utara dan selatan, dua kayu lain menghadap sisi barat dan timur. Setiap ujung kayu dipegang oleh penari.
Sementara itu, terdapat empat penari lain, berdiri di ruas yang tersedia di persilangan kayu. Empat penari yang memegang kayu kemudian mengetuk-ngetukkan kayu membentuk irama. Setiap dua ketukan, kayu terbuka, setelah itu kayu diketukkan menutup. Empat penari lain melangkah berputar mengikuti irama ketukan. Mereka memanfaatkan celah kayu untuk melintas.
Penonton diajak menari dalam tarian ini. Dua penonton dipandu dua penari. Saat tari dimulai, penonton dibuat tertawa karena pengunjung yang ikut menari ada yang kakinya terjepit kayu. Mereka terlambat melangkah. Sebab, semakin lama ketukan, semakin cepat.
”Saya datang ke sini bersama keluarga dari Surabaya. Kami ingin melihat tradisi khas suku Dayak. Karena berbeda dari tradisi lain dan tradisi kami sendiri, kami tertarik untuk melihat,” kata Anton (48), salah satu pengunjung.
Asal usul
Suku Dayak Kenyah di Kelurahan Pampang merupakan suku Dayak yang bermigrasi cukup jauh. Mereka termasuk berbeda dari suku Dayak kebanyakan karena tidak tinggal di pedalaman Kalimantan. Mereka berladang tidak jauh dari Samarinda, pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur.
Wakil Ketua Kesenian Pampang Pejalung Kila menceritakan, berdasarkan cerita turun- temurun, leluhur suku Dayak Kenyah di sana berasal dari tepi Sungai Kayan di Kalimantan Utara. Mereka bermigrasi dengan menyusuri sungai untuk mencari tempat bercocok tanam yang lebih baik. Sebelum sampai di Desa Pampang, leluhur mereka sempat singgah di banyak tempat.
”Pada tahun 1970-an, leluhur kami sampai di Samarinda dan membangun permukiman di Kelurahan Pampang ini,” kata Pejalung.
Di situlah mereka membuka ladang dan membuat rumah lamin untuk berbagai keperluan, seperti upacara adat dan musyawarah. Meski sudah bersentuhan dengan kehidupan kota, mereka tetap melakukan berbagai tradisi adat. Karena keunikan itu, pada 1991 Pampang diresmikan sebagai desa budaya oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Sejak saat itu, banyak wisatawan yang mengunjungi Kelurahan Pampang karena mudah dijangkau dari pusat Kota Samarinda, hanya sekitar 30 menit. Selain pertunjukan tari, wisatawan juga bisa berfoto mengenakan pakaian adat atau berfoto dengan para penari. Tarif berfoto dengan pakaian adat dan para penari Rp 25.000.
Pengunjung juga bisa membeli berbagai cendera mata yang dijajakan di samping rumah lamin. Di sana, dijual berbagai aksesori khas suku Dayak, seperti gelang manik-manik, tas anyaman, pakaian adat, atau perisai kayu bermotif.
Selain berfoto, banyak pengunjung yang berbincang dengan para penari seusai pertunjukan. Mereka berbincang banyak hal, seperti makna tarian atau bahasa Dayak. Mengunjungi suku Dayak di Kelurahan Pampang tidak hanya melihat pertunjukan tari secara rutin. Kita seperti melihat sebuah perayaan persaudaraan dari keberagaman.
”Saya ikut ekstrakurikuler menari di sekolah. Makanya, tadi tanya-tanya soal tarian dan maknanya kepada penari di sini. Kami juga bertukar nomor telepon,” kata Imayah (16) dari Balikpapan.
Melalui tarian, suku Dayak di Kelurahan Pampang menyentuh nurani para pengunjung bahwa keberagaman harus dirayakan, tidak perlu dipertentangkan. Sebab, perbedaan akan membuat perkenalan dan percakapan lebih bermakna. Berkat perbedaan, mereka dipertemukan melalui pertunjukan tari sederhana.