Dunia Mini di Diorama
Buah-buahan berukuran mini, seukuran tak lebih besar dari ujung tusuk gigi atau pentol korek api, terserak di atas meja kerja Tiarma Siboro. Sore itu, dia baru tiba di rumahnya di kawasan Tanah Sereal, Bogor, dan langsung tenggelam dalam hobinya, membuat miniatur dan diorama.
Miniatur buah-buahan negeri tropis, seperti pepaya, pisang, dan mangga, itu dibuat oleh Ade, begitu dia akrab disapa. Sebuah kotak tak kalah mini terbuat dari kayu balsa tampak baru separuh jadi di situ. Nantinya kotak kayu mini itu akan menjadi wadah buat miniatur sayuran dan buah-buahan yang sedang dikerjakan Ade.
”Kalau sudah bikin yang kayak begini sering lupa waktu. Pulang kerja, lalu mengerjakan ini tahu-tahu sudah pukul 02.00 saja,” ujar Ade saat ditemui di rumahnya, beberapa waktu lalu. ”Semakin asyik lagi kalau mengerjakan juga sambil cari-cari ide dengan browsing di internet atau saling berkontak dengan rekan sesama penggemar hobi ini.”
Ruang kerja Ade di rumah itu sekaligus juga berfungsi sebagai kamar pribadinya. Di situ ada beragam jenis perkakas serta bahan untuk membuat miniatur dan diorama. Sejumlah karya yang sudah jadi juga dipajang di situ.
Ada diorama beberapa macam restoran atau warung tradisional, semacam warung tegal, restoran padang, warung bakso, dan lapo tuak. Ade juga membuat diorama tematis, seperti area pertambangan, toko buku, dan taman pekarangan.
Ia gemar bereksperimen untuk menemukan bahan baku serta teknik pewarnaan yang sesuai dan terjangkau anggarannya. Misalnya, Ade juga memanfaatkan bubuk kopi dan pewarna makanan untuk pewarnaan.
Untuk membuat miniatur pohon, Ade menggunakan kertas tisu atau bubur kertas dari koran bekas. Bahan-bahan itu dia hancurkan terlebih dahulu dengan air, lalu dibalutkan dan direkatkan ke rangka kawat membentuk batang serta cabang-cabang pohon. Kemudian, diwarnai setelah kering.
Selain bahan baku kayu balsa, polimer atau air dry clay, dan bahan-bahan daur ulang, Ade juga menggunakan bahan metal, seperti tembaga atau aluminium, sesuai dengan kebutuhan. Bahan tembaga dia perlukan, misalnya, untuk membuat wadah atau panci susu. Selain itu juga bahan plastik atau kaca.
Ade juga membuat figur miniatur orang. Ini diawali dari pesanan seorang teman. Ia mengerjakan figur miniatur itu dengan mencontoh foto orang yang akan dia kerjakan sebagai model. Setelah jadi, hasil figur miniatur itu ia unggah ke akun media sosialnya dan rupanya mengundang sejumlah pemesanan lain.
Ada juga pesanan dari rekan Ade yang ingin menghadiahi sang istri pada hari jadi pernikahan dengan diorama rumah mereka. Setelah mempelajari gambar beberapa sisi rumah dari beberapa foto, Ade pun kemudian merakit diorama rumah temannya itu selama beberapa pekan.
”Sebetulnya gue enggak ingin komersial dalam arti berjualan. Gue enggak pernah menetapkan harga. Paling sebatas untuk ganti bahan baku dan ongkos kirim. Kalaupun gue kasih harga, diusahakan enggak mahal. Ada orang suka barang bikinan gue dan mau mesan saja gue sudah senang,” ujar Ade sambil tertawa.
Dalam mengerjakan karyanya, Ade selalu berusaha terperinci dan mendekati benda atau orang yang menjadi modelnya. Dia, misalnya, memasang satu per satu untaian benang untuk rambut boneka miniatur model buatannya.
Otodidak
Keterampilan membuat boneka figur, miniatur, dan diorama ini dipelajari secara otodidak sejak akhir 2017. Sejak masih bersekolah dan berkuliah sebenarnya dia punya ketertarikan besar terhadap dunia seni rupa ataupun kriya. Akan tetapi, mendiang ayahnya tak membolehkan Ade berkuliah di fakultas seni.
Ade mula-mula menjelajah di internet untuk belajar soal seni pembuatan miniatur dan diorama itu. Hal tersebut juga dia lakukan sekaligus untuk membuatnya terjaga, lantaran kondisi mendiang sang ayah yang ketika itu sedang sakit keras. Sewaktu serangan kembali terjadi, karena terjaga, dia bisa langsung melarikan sang ayah ke rumah sakit terdekat.
”Selama setahun itu gue harus cari cara bagaimana supaya bisa selalu terjaga, tidak stres, dan tetap bahagia. Awalnya gue bikin komik dan animasi di komputer. Setelah bosan, gue terpikir untuk berkarya dalam bentuk tiga dimensi,” ujarnya.
Ade pun akhirnya mantap membuat kreasi miniatur dan diorama. Setelah produk-produk miniatur yang dibuatnya bertambah banyak, ia merangkainya menjadi sebuah diorama dengan tema tertentu.
Seiring dengan keterampilan yang berkembang, Ade juga melengkapi perkakas dan perlengkapan yang dibutuhkan, termasuk oven listrik untuk mengeraskan bahan polymer clay setelah dibentuk.
”Gue pernah coba pakai microwave, eh malah microwave dan miniaturnya sama-sama terbakar. Pemanasan dengan microwave tidak disarankan karena kita enggak bisa mengatur suhunya,” ujar analis di perusahaan konsultan itu.
Untuk mengajar gue juga enggak kepingin mengomersialkan, apalagi kepada anak-anak.
Selain terus mengasah keterampilan, Ade juga berbagi dan mengajarkan keterampilan tersebut kepada sejumlah remaja di sekitar rumahnya.
Mereka rupanya sangat tertarik dan antusias untuk mencoba.
”Untuk mengajar gue juga enggak kepingin mengomersialkan, apalagi kepada anak-anak. Itu supaya mereka bisa punya hobi dan tahu sejak awal apakah mereka punya bakat ke bidang seni,” katanya.
Ade juga mengajar karena ia merasa banyak berutang ilmu kepada sesama pehobi serta penggemar miniatur dan diorama yang dia kenal selama ini, baik langsung maupun melalui media sosial. Menurut dia, mereka sama sekali tidak pernah pelit ilmu.
Adakalanya pula ia bertukar ilmu dengan sesama pehobi. ”Yang namanya ilmu enggak akan berkurang kalau kita bagikan. Malah justru bertambah,” ujar Ade.