Ini sekilas perbincangan dengan warga negara lain yang justru masih bisa menikmati komik klasik Indonesia dengan baik. Komik ternyata membantu bangsa lain memahami Indonesia dengan lebih mudah.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·3 menit baca
Di sudut ruang pamer Galeri Dialogue, Kemang, Jakarta Selatan, perempuan asal Romania, Adeline Luft, menatap lekat-lekat poster gambar adegan komik Wiro Anak Rimba. Itu adopsi kisah Tarzan menjadi komik klasik Indonesia yang pernah dibuat Kwik Ing Hoo pada era 1950-an. Bagi Adeline, komik ini cukup menarik untuk mengenalkan keindonesiaan.
”Wiro itu berkelana ke hutan-hutan di berbagai pulau di Indonesia. Ini sekaligus mengenalkan Indonesia dengan cara yang menarik,” kata Adeline, Selasa (15/10/2019), seusai mengikuti Studium Generale (Kuliah Umum) Komik Wayang yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma dan Komik Strip Indonesia oleh Iwan Gunawan di Galeri Dialogue.
Adeline juga menyebut serial komik asli Indonesia lainnya pada era 1950-an, yaitu Sri Asih. Ini adopsi superhero Wonder Woman dari komik Amerika, yang mengisahkan petualangan Sri Asih di berbagai tempat di Indonesia.
”Petualangan Sri Asih juga mengenalkan Indonesia dengan menarik. Dia bisa terbang ke mana-mana,” kata Adeline.
Komik Sri Asih digarap RA Kosasih dan diterbitkan pertama kali tahun 1954. Ada alasan tersendiri bagi Adeline untuk lebih tertarik dengan komik Wiro Anak Rimba karena ia berteman dengan cucu penulis komik ini. Mereka kini berteman di Yogyakarta.
”Kami bertemu keluarga Kwik Ing Hoo ini justru di Brasil,” ujar Adeline yang kini tengah menyelesaikan studi S-2 Program Pengkajian Seni di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Ini sekilas perbincangan dengan warga negara lain yang justru masih bisa menikmati komik klasik Indonesia dengan baik. Komik ternyata membantu bangsa lain memahami Indonesia dengan lebih mudah.
Komik ternyata membantu bangsa lain memahami Indonesia dengan lebih mudah.
Perbincangan ini terjadi di sela kegiatan pameran bertajuk Komik Itu Baik-Festival Cergam Tribute untuk Arswendo Atmowiloto yang berlangsung 28 September-20 Oktober 2019. Salah satu agendanya, kuliah umum tentang komik wayang dan komik strip Indonesia.
”Komik strip itu hanya terdiri dari dua sampai empat panel, biasanya dimuat di media massa,” kata Iwan Gunawan.
Komik strip di Indonesia memiliki riwayat panjang. Dimuat di media massa sejak era kolonial hingga saat ini. Justru ketika komik sebagai buku di Indonesia ”melempem” pada era 1980 sampai 2000, komik strip masih tetap mewarnai media massa.
Seno Gumira dalam kuliah umum itu menyajikan perkembangan komik wayang dalam politik identitas. Peristiwa politik tahun 1965 ikut memicu kepanikan moral dan komik-komik pada masa itu ikut dilenyapkan.
”Muncul kemudian penerbitan komik dengan ideologi yang aman, yaitu komik-komik wayang ini,” kata Seno.
Seno menyebut, meski sampai sekarang buku komik wayang sudah babak belur, masih saja ada yang menerbitkannya. Ia mencontohkan komik wayang Serat Tripama karya Sujiwo Tejo yang diterbitkan pada 2016 sebagai komik wayang urban.
Komik wayang dibangun atas kesadaran politik identitas. Namun, komik klasik Indonesia hasil adaptasi kisah superhero Barat pun ternyata tanpa disengaja telah membangun politik identitas keindonesiaan yang kurang disadari. (NAW)