Sebuah museum tanpa pengelolaan program yang mutakhir dan menyesuaikan zaman akan terasa beku dan menjemukan. Lini narasi baru museum dengan penyajian koleksi berkesinambungan itu memberikan sentuhan menyegarkan
Oleh
NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Sebuah museum tanpa pengelolaan program yang mutakhir dan menyesuaikan zaman akan terasa beku dan menjemukan. Lini narasi baru museum dengan penyajian koleksi berkesinambungan itu memberikan sentuhan menyegarkan.
”Ini penataan pameran di museum dengan cara baru. Sebanyak 80 lukisan bersejarah dari 500 koleksi lukisan yang dimiliki museum ini dihadirkan,” kata arsitek Cosmas D Gozali, menjelang pembukaan pameran Lini Narasi Baru: Seni Rupa Indonesia, Kota dan Perubahannya, Rabu (16/10/2019), di Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta.
Cosmas diserahi tanggung jawab penataan artistik koleksi yang dipamerkan. Lukisan ditempatkan di setiap panel tanpa mengganggu dinding bangunan utama.
Belasan koleksi sketsa karya Henk Ngantung (1921-1991) ditata untuk menyapa pengunjung pertama kali saat memasuki lorong pameran. Gedung yang dimanfaatkan kebetulan tidak terlampau luas sehingga alur pengunjung terasa memasuki lorong sempit.
Yayasan Mitra Museum Jakarta (YMMJ) menggagas pameran ini bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menaungi pengelolaan Museum Seni Rupa dan Keramik ini. Gedung museum itu berada di deretan bangunan penting masa kolonial Hindia Belanda di Batavia, kini disebut sebagai kawasan Jakarta Kota.
Di samping 500 koleksi lukisan, ada sekitar 1.000 koleksi lain berupa keramik, patung, grafis, dan sebagainya
Museum itu memanfaatkan gedung bekas pengadilan di masa kolonial yang didirikan pada 12 Januari 1870. Pada 1976, Presiden Soeharto menjadikan gedung itu sebagai Balai Seni Rupa Jakarta, berubah nama menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik pada 1990.
Di samping 500 koleksi lukisan, ada sekitar 1.000 koleksi lain berupa keramik, patung, grafis, dan sebagainya. Pameran dalam rangka peringatan Hari Museum Nasional, 12 Oktober 2019, kali ini hanya menampilkan koleksi lukisan.
Pameran ini mencoba menghubungkan koleksi satu sama lain demi membangun lini narasi yang baru, lini narasi tentang kota (Jakarta) dan perubahannya. Pengunjung dapat menikmatinya dalam rentang penyelenggaraan cukup panjang, 17 Oktober 2019 hingga 31 Januari 2020.
”Melalui pameran ini, kami berusaha memperkenalkan pengalaman baru,” kata Ketua Umum YMMJ Catharina Widjaja. Empat kurator muda dilibatkan, yakni Farah Wardani, Sally Texania, Mikke Susanto, dan Aminudin TH Siregar.
Pembacaan ulang
Kurator Farah Wardani, yang kini bertugas sebagai Asisten Direktur Galeri Nasional Singapura, menjelaskan, kuratorial pameran ini sebagai upaya pembacaan ulang terhadap koleksi lukisan bersejarah yang dimiliki museum tersebut.
”Karya-karya seni itu sudah menjadi kanon sejarah seni rupa kita. Tetapi, selama ini seperti disimpan begitu saja sebagai koleksi yang tidak pernah dicoba untuk pembacaan ulang dan membangun lini narasi baru,” ujar Farah.
Sosok seniman Henk Ngantung diletakkan sebagai pijakan lini narasinya. Menurut Farah, Henk menjadi tokoh penting seniman, selain karena karya-karya seni rupanya, ia juga pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta (1964-1965).
Koleksi sketsa Henk Ngantung, berjudul ”Santapan Siang Bersama Bung Karno”, ditampilkan. Henk membuat sketsa berangka tahun 1946 itu dengan tinta hitam di atas kertas berukuran 40 cm x 28 cm.
Sketsa wajah Bung Karno tidak terlalu jelas karena disapu dengan goresan tinta hitam. Namun, karakter khasnya sebagai satu-satunya orang yang menggunakan peci cukup menegaskan bahwa sosok itu adalah Soekarno atau Bung Karno, Presiden pertama RI. Sketsa Henk Ngantung pada masa sebelumnya juga ditampilkan.
Ini menunjukkan seni rupa turut berperan dalam tata pembangunan Kota Jakarta waktu itu.
”Ada karya sketsa Henk Ngantung berupa gambar patung pembebasan Irian Barat yang kini ada di Lapangan Banteng itu. Ini menunjukkan seni rupa turut berperan dalam tata pembangunan Kota Jakarta waktu itu,” kata Farah.
Ada pula lukisan sketsa karya Lee Man Fong (1913-1988) yang berjudul ”Wanita”. Lukisan itu berangka tahun 1950, menggunakan media campuran di atas kertas berukuran 52 cm x 44 cm.
Seorang wanita berparas cantik mengenakan kain kemben di bawah bahu itu dilukis dengan lengkung garis rapi tak terputus oleh Lee Man Fong. Wanita tersebut duduk bersimpuh. Kedua siku tangannya menopang di atas meja bulat kecil.
Lee Man Fong ada di lingkup istana Presiden Soekarno. Lee tercatat lahir di Guangzhou, China, dan masuk ke Indonesia pada tahun 1933 hingga 1966. Lee pun menjadi warga negara Indonesia dan menjadi pelukis istana Presiden Soekarno. Ia pernah ditugasi menyusun buku koleksi seni milik Soekarno pada tahun 1964. Peristiwa politik 1965 membuat Lee meninggalkan Indonesia. Ia kemudian menetap di Singapura dan dikenal sebagai perintis seni rupa di Asia Tenggara.
Sketsa sosok wanita yang ditampilkan di pameran ini menunjukkan sisi realisme kehidupan yang lunak. Namun, tak jauh dari situ dipajang lukisan yang menampakkan kehidupan keras penuh perjuangan karya Hendra Gunawan, berjudul ”Pahlawan Teuku Umar”.
Hendra Gunawan sepertinya ingin melukiskan orang itu sebagai lawan Teuku yang berhasil ditumbangkan.
Lukisan dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 98,5 cm x 145 cm itu menggambarkan figur Teuku Umar, penuh ekspresi perjuangan dengan tangan kanan menyandang sebilah rencong. Di sisi kiri Teuku Umar ada lukisan wajah seseorang yang menyandarkan tangan ke bahu Teuku Umar. Hendra Gunawan sepertinya ingin melukiskan orang itu sebagai lawan Teuku yang berhasil ditumbangkan.
Para kurator membingkai pula beberapa karya lukisan bersejarah sebagai bagian dari narasi kehidupan yang diwarnai konflik, kemudian terlahir intrik-intrik. Di bagian narasi ini bisa dijumpai di antaranya karya lukisan Itji Tarmizi yang berjudul ”Kerja Paksa” dan lukisan ”Menghadang Konvoi” karya Sapto Hudoyo.
Narasi kemudian digeser ke era Orde Baru: Medan Baru. Para kurator menempatkan lukisan karya S Sudjojono berjudul ”Maka Lahirlah Angkatan ’66”, yang dibuat pada tahun 1966 dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 100 cm x 85 cm.
Di ujung lorong pameran disuguhkan lukisan Hendra Gunawan berjudul ”Pengantin Revolusi” (1955). Lukisan ini menggambarkan seorang laki-laki berseragam hijau tentara sedang memboncengkan gadis pinangannya dengan sepeda ontel.
Gadis itu dibonceng di bagian seat tube atau kerap disebut plantangan sepeda. Ini memotret sebuah peristiwa realisme kemanusiaan sepasang pengantin yang menggugah rasa solidaritas dan cinta yang artistik. ”Pengantin perempuannya berdandan Betawi,” ujar kurator Sally Texania.
Lukisan Hendra inilah yang menutup lini narasi baru sebuah museum seni rupa di Jakarta. Kesegarannya terasa meski di tengah udara panas Jakarta Kota pada siang hari.