Penyihir di Simpang Jalan
Walt Disney Pictures menghadirkan lagi penyihir yang dilekati stereotip zalim dengan sepasang tanduk menjulang lewat Maleficent: Mistress of Evil. Sisi psikologis Maleficent kini dieksplorasi lebih dalam dengan alur yang diwarnaiintrik politik negeri antah-berantah.
Meneruskan cerita Maleficent (2014), Moors dikisahkan kembali damai. Aurora (Elle Fanning) menjadi ratu di daratan peri tersebut. Pangeran Philip (Harris Dickinson) yang menyelamatkan Aurora dari huru-hara pada film sebelumnya, meminang Aurora.
Seluruh penghuni Moors pun menyambut lamaran Philip dengan sukacita, kecuali Maleficent (Angelina Jolie). Diaval (Sam Riley), pesuruh Maleficent, menyampaikan kabar lamaran itu kepada majikannya.
”Kenapa Pangeran Philip? Lenyap? Sakit kuning? Terserang lepra?” tanya Maleficent sebelum Diaval menuntaskan kalimat soal lamaran Pangeran Philip.
Dialog kemunculan perdana Maleficent pada film menggambarkan dua sisi kepribadian ibu angkat Aurora itu. Angker, sekaligus mengundang senyum dengan celoteh kelamnya. Maleficent yang termasuk ras Fey dengan berat hati menyetujui perjodohan Aurora dan Philip dari kerajaan manusia.
Plot selanjutnya adalah unggah-ungguh undangan bersantap di istana yang teramat kikuk. Humanisme kembali mengemuka. Maleficent yang begitu sakti tampak canggung ketika terpaksa belajar tata krama. Ia berlatih artikulasi dengan becermin di telaga yang airnya bergoyang-goyang. Awal yang semrawut.
Proses itu terkesan bertele-tele, tetapi sebenarnya urgen untuk menggambarkan transformasi Maleficent. Betapa sosok yang ditakuti itu tertatih-tatih beradaptasi dengan standar norma manusia. Jalan cerita yang beranjak perlahan juga memberikan kesempatan anak-anak mencerna film untuk semua umur itu.
Tak urung, Maleficent berusaha sebaik-baiknya. Ia mengikuti saran Aurora untuk menutup tanduknya dengan kain hitam. Makan bersama dengan Raja John (Robert Lindsay) dan permaisurinya, Ingrith (Michelle Pfeiffer), menjungkirbalikkan persepsi Maleficent tentang adab yang ia tekuni.
Konflik dimulai. Alih-alih mengaribkan dua keluarga, Maleficent dan Ingrith melancarkan perang urat saraf. Pertengkaran berlangsung anggun diselubungi kesantunan yang royal. Martabat Maleficent terusik hingga tabiat lamanya meledak yang memorakporandakan perjamuan.
Pergulatan batin penyihir itu masih menjadi pokok sekuel yang menganyam silang sengkarut ambisi antarfaksi ini. Kompleksitas Maleficent: Mistress of Evil semakin tinggi dari film terdahulunya. Hasrat untuk menguasai negeri lain melatari film berdurasi hampir dua jam itu.
Hingga suatu ketika, Maleficent termangu-mangu. Ia berada di simpang jalan antara berteguh dengan kebaikan, tetapi tersakiti, atau kembali saja melampiaskan watak awalnya. Terlebih, Maleficent bertemu kawanan sepenanggungan yang masih tersisa. Mereka, bangsa Fey, mendekam di dunia bawah tanah.
Kesabaran Maleficent yang terus diuji menjadi refleksi konsistensi individu untuk berbuat baik. Kejahatan datang dan pergi, tetapi kebajikan akan selalu menjadi pelita yang memandu keluar dari kegelapan. Pesan-pesan bijak disisipkan di sela film yang diputar mulai 16 Oktober 2019 di Indonesia itu.
”Ah, manusia. Mereka sungguh lucu,” ujar Maleficent saat melihat masyarakat berseru sambil menggenggam garu untuk merespons kedatangannya. Sejumlah warga menjerit dan kocar-kacir. Perangai buruk dianggap masih lekat pada penyihir pucat berwajah tirus itu. Maleficent tak peduli dan berlalu.
Pengorbanan diselipkan untuk diteladani anak-anak. Beberapa tokoh melindungi kawan-kawannya meski harus terluka, bahkan kehilangan nyawa. Kompleksitas hubungan Aurora dan Maleficent di antara rindu dendam juga terus digali dengan baik.
Tindak tanduk para bangsawan yang sangat santun, tetapi culas dan tamak, turut menggambarkan tingkah sebagian pamong pemerintahan kekinian. Di muka publik, menggembar-gemborkan dirinya bersih dan jujur, tetapi di belakang menyalahgunakan wewenang.
Kabar burung soal kekejaman Maleficent yang masih berembus mengingatkan pula akan berita bohong. Hoaks kerap disebarkan untuk menjatuhkan lawan, tanpa peduli alangkah tak etisnya perilaku itu. Fitnah yang menimpa Maleficent pada akhirnya memicu pertikaian dahsyat yang menelan banyak korban.
Definisi ulang
Jolie melanjutkan perannya sebagai figur sentral spin-off atau sempalan film kartun Sleeping Beauty (1959). Jolie dengan gemilang mendefinisikan ulang Maleficent melalui kedua filmnya. Akting perempuan yang dikenal filantropis itu masih memesona.
Ia menghibur dengan perannya sebagai penyihir yang agung, tetapi juga menjadi obyek lelucon tatkala dilanda gegar budaya. Trio Jolie, Pfeiffer, dan Fanning dengan amat piawai menciptakan relasi utama protagonis dengan antagonis yang apik.
Animasi dirancang begitu halus. Panorama negeri dongeng dengan peri, lelembut pohon, bunga, dan kurcaci disajikan dengan indah. Pakaian, furnitur, hingga kastil megah digarap dengan detail lazimnya karya-karya Walt Disney Pictures.
Pertarungan yang dituturkan tanpa darah dan keberingasan berlebih sesuai untuk penggemar sinema belia. Adegan ciuman pun ditampilkan dengan kecupan ringan saja. Film yang disutradarai Joachim Rønning itu juga mengetengahkan kesetiakawanan.
Perlu pendampingan
Menurut psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, film-film Pixar Animation Studios atau Walt Disney Pictures, termasuk seri Maleficent, sudah sangat memperhatikan kesesuaian cerita untuk anak-anak.
”Tapi, anak-anak tetap perlu didampingi. Seri Maleficent itu twist dari Sleeping Beauty. Anak-anak tahunya Aurora baik dan Maleficent jahat dari film itu,” ujarnya. Anak-anak sebaiknya dijelaskan tentang perbuatan Maleficent sehingga mereka tidak bingung.
”Seri Maleficent itu sebenarnya untuk anak agak besar yang lebih mudah memahaminya. Ada alasan sehingga Maleficent menjadi jahat,” ucapnya. Orangtua diminta berdialog agar pesan yang diterima anak-anak tidak keliru. Tanpa diskusi, twist itu amat rentan menimbulkan tanggapan yang tak sesuai dengan ekspektasi.
”Efek film tergantung durasi, konten, dan usia anak-anak. Tanyakan kepada mereka, apa yang paling menakutkan atau mengasyikkan. Jadi, orangtua tahu pikiran anak-anak,” ujarnya. Sejauh komunikasi berjalan baik, berbagai efek film yang tidak baik akan dapat diminimalkan.