Lokasi Calon Ibu Kota Diklaim Milik Ahli Waris Sultan Kutai
›
Lokasi Calon Ibu Kota Diklaim ...
Iklan
Lokasi Calon Ibu Kota Diklaim Milik Ahli Waris Sultan Kutai
Pihak yang mengatasnamakan ahli waris Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura di Tenggarong, Kalimantan Timur, mengklaim bahwa calon lokasi ibu kota negara yang baru adalah lahan milik Kesultanan Kutai.
Oleh
·3 menit baca
TENGGARONG, KOMPAS — Pihak yang mengatasnamakan ahli waris Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura di Tenggarong, Kalimantan Timur, mengklaim bahwa calon lokasi ibu kota negara yang baru adalah lahan milik Kesultanan Kutai. Akademisi berharap pemerintah membentuk tim untuk meneliti kebenaran klaim tersebut.
Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu mengumumkan lokasi yang dianggap paling cocok untuk lokasi ibu kota baru adalah perbatasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Perbatasan dua wilayah itu adalah Kecamatan Samboja dan Kecamatan Sepaku. Pemerintah saat ini tengah mempersiapkan berbagai peraturan dan konsep pemindahan ibu kota.
Wahidin, Kepala Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, beberapa hari yang lalu menerima satu bundel surat dari keturunan Sultan Kutai. Surat itu melampirkan 13 lembar bukti kepemilikan tanah sejak 1902. Beberapa di antaranya berbahasa Belanda dan Arab gundul.
”Surat itu menyatakan bahwa desa yang kami tinggali dan seluruh Kecamatan Samboja merupakan tanah milik ahli waris keturunan Sultan Kutai,” kata Wahidin ketika ditemui di Samboja, Senin (21/10/2019).
Surat itu menyatakan bahwa desa yang kami tinggali dan seluruh Kecamatan Samboja merupakan tanah milik ahli waris keturunan Sultan Kutai.
Ia mengatakan baru melaporkan hal tersebut ke Kecamatan Samboja. Mereka saat ini belum melakukan upaya apa pun. Ia berharap, pemerintah mengeluarkan peta yang jelas tentang status lahan di Samboja. Hal itu untuk meyakinkan masyarakat agar terhindar dari gangguan klaim lahan.
Ketua Pengelola Tanah Perwatasan Grant Sultan Enam Pemangku Hibah, Pengeran Ario Jaya Winata, mengatakan, lahan tersebut milik Kesultanan Kutai, bukan milik negara. Tanah yang mereka klaim adalah 11 kecamatan di Kutai Kartanegara, termasuk Kecamatan Muara Jawa yang disebut akan terkena pembangunan ibu kota.
”Wilayah itu di bawah kekuasaan kesultanan. Tanah itu dibagi-bagi, tetapi hak penguasaan tetap di Kesultanan Kutai. Kami mengizinkan untuk hak garap. Itu bukan tanah negara,” ungkap Ario ketika dihubungi.
Ario yang juga pengirim surat bukti tanah mengatakan, Kesultanan Kutai Ing Martadipura baru bergabung dengan Indonesia pada 1959. Ia mengklaim, sebelum bergabung dengan Indonesia, Kerajaan Kutai berkuasa atas seluruh wilayah Kutai sejak 1902. Menurut Ario, setelah bergabung dengan RI, Kerajaan Kutai tidak menghibahkan tanah kekuasaannya kepada pemerintah, melainkan dipinjamkan.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kutai Kartanegara Farid Hidayat mengatakan, dia baru akan mengecek apakah surat itu juga dikirimkan ke BPN Kutai Kartanegara. Dia belum bisa berbicara banyak terkait klaim kepemilikan tanah itu.
”Jika surat itu dikirim ke BPN Kutai Kartanegara juga, akan kami tanggapi,” katanya ketika dihubungi.
Dia juga akan melihat peta kepemilikan tanah di sekitar Samboja. Masyarakat diminta untuk tenang jika memiliki bukti-bukti kepemilikan tanah di Samboja.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Haris Retno Susmiyati, mengatakan, pemerintah diharapkan menindaklanjuti klaim-klaim tersebut agar warga tidak ada yang dirugikan dan merasa takut. Pemerintah bisa membentuk tim khusus untuk itu.
”Sesuai dengan ketentuan UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, pemerintah bisa membentuk tim khusus yang tugasnya meneliti kebenaran klaim hak atas tanah dan penguasaan yang secara faktual ada,” kata Retno.
Ia berharap, pemerintah bisa memperjelas klaim ini dan mengedepankan kepentingan masyarakat banyak yang paling lemah, bukan kepentingan perorangan. Negara perlu hadir untuk menjamin kesejahteraan rakyat.
Retno mengatakan, pihak yang mengklaim atas nama kesultanan tetap diberikan ruang untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum yang tersedia. Klaim tanah sultan ini terus terjadi. Untuk itu, ia mengimbau pihak yang mengklaim melakukan proses hukum untuk membuktikan kebenaran klaim itu.
”Prinsip yang harus ditekankan, kemerdekaan Indonesia dan berlakunya UU Pokok Agraria itu ingin menegaskan penolakan terhadap sistem feodalisme, khususnya terkait penguasaan tanah. Tanah keberadaannya untuk menciptakan kemakmuran sebanyak mungkin masyarakat, bukan orang perorang,” kata Retno.
Baca juga : Konsep Hijau bagi Calon Ibu Kota Negara