Mutu Pemelajaran dan Pengelolaan Guru Masih Perlu Dibenahi
›
Mutu Pemelajaran dan...
Iklan
Mutu Pemelajaran dan Pengelolaan Guru Masih Perlu Dibenahi
Lima tahun kebijakan pendidikan di masa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla memberi banyak kemajuan. Namun, ada hal-hal yang perlu dibenahi agar fondasi pendidikan menjadi semakin kokoh.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lima tahun kebijakan pendidikan di masa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla memberi banyak kemajuan. Namun, ada hal-hal yang perlu dibenahi untuk memastikan pembangunan sumber daya manusia memiliki fondasi kokoh. Kompetensi guru dan tenaga kependidikan menjadi kunci terciptanya pemelajaran yang baik.
Ikhtisar Data Pendidikan Tahun Ajaran 2017/2018 menunjukkan angka partisipasi kasar (APK) yang sangat tinggi di semua bidang. SD memiliki APK 105,89 persen, SMP adalah 102,08 persen, dan SMA/SMK memiliki APK 86,94 persen.
Namun, jika ditilik lebih mendalam, angka partisipasi murni (APM) masih di bawah ideal. Siswa yang benar-benar mengikuti kegiatan belajar di SD hanya 93,02 persen. Untuk tingkat SMP, APM hanya 76,99 persen dan untuk SMA/SMK lebih rendah lagi, yaitu 63,70 persen. Memang ada kemungkinan siswa bersekolah di madrasah ataupun kejar paket, tetapi kenaikan persentasinya diduga tidak terlalu besar.
”Artinya, angka putus sekolah masih cukup tinggi. Padahal, pemerintah sudah menerapkan pemberian Kartu Indonesia Pintar dan zonasi yang secara kebijakan merupakan kemajuan di bidang pendidikan,” kata Guru Besar Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu (20/10/2019).
Ia menjelaskan, kebijakan yang baik terkait akses bersekolah saja tidak cukup untuk menumbuhkan minat masyarakat menjalani proses persekolahan. Butuh proses pendidikan bermutu, yaitu menyenangkan dan berbobot, sehingga membuat siswa betah di sekolah dan orangtua menganggap sekolah memang sesuatu yang layak untuk dikejar.
”Penguatan Wajib Belajar 9 Tahun secara nasional dan Wajib Belajar 12 Tahun di beberapa daerah bukan cuma mewajibkan orangtua menyekolahkan anak. Guru dan tenaga kependidikan juga harus disiapkan agar mumpuni dalam memberi pelajaran abad ke-21,” ungkapnya.
Guru dan tenaga kependidikan juga harus disiapkan agar mumpuni dalam memberi pelajaran abad ke-21.
Menurut Hamid, salah satu kendala dalam kegiatan belajar-mengajar ialah personalisasi pemelajaran. Dalam hal ini ialah guru memetakan perkembangan harian siswa. Kemudian, ia memberi siswa penugasan yang disesuaikan dengan permasalahan yang spesifik dihadapinya.
Sistem pemelajaran dan evaluasi sejauh ini umumnya masih memukul rata semua siswa sehingga ada siswa harus tinggal kelas dan mengulang tahun pelajaran di jenjang sama. Ikhtisar Data Pendidikan 2017/2019 menyebutkan ada 379.116 siswa mengulang di tingkat SD, 28.470 siswa di SMP, 9.360 siswa di SMA, dan 13.665 siswa mengulang di SMK.
Mengulang merupakan beban mental bagi siswa, guru, dan orangtua. Di saat bersamaan juga menjadi beban bagi negara dan pemerintah daerah karena mengeluarkan biaya untuk hal yang sama.
Remedial
Hamid menjelaskan, agar siswa tidak mengulang, dibutuhkan remedial personal. Ujian merupakan metode yang baik untuk melihat capaian siswa secara umum. Hasil ujian memperlihatkan masalah setiap siswa yang kemudian harus disilangkan dengan data perkembangan harian mereka.
Oleh sebab itu, ketika guru melakukan remedial bentuknya bukan drilling (latihan soal yang serupa terus-menerus) karena dapat membuat siswa jenuh, bahkan trauma. Remedial hendaknya disesuaikan dengan permasalahan spesifik siswa.
”Di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, diterapkan sistem kelas lintas di SD. Siswa-siswa dikelompokkan untuk remedial berdasarkan problema yang serupa. Setiap kelompok memiliki topik ujian berbeda dari kelompok lain sehingga mereka tak perlu mengulang pelajaran dari awal,” ujarnya.
Butuh sinergi
Terkait zonasi, Hamid menerangkan, kebijakan ini merupakan kemajuan karena berpihak pada siswa dan menjamin mereka bersekolah di dekat tempat tinggal masing-masing. Memang di daerah padat penduduk seperti kota-kota besar, sistem zonasinya menuntut kepekaan pemerintah daerah untuk memastikan setiap anak mendapat bangku sekolah tanpa melihat persyaratan nilai.
Harus dipastikan ada sinergi antara sekolah negeri, swasta, madrasah, dan kejar paket di dalam zona. ”Orangtua memilih sekolah negeri karena berdasarkan reputasi dan biaya gratis. Sebenarnya, jika penjaminan mutu semua satuan pendidikan terjaga dan ada beasiswa ataupun subsidi silang, orangtua tidak akan bersikukuh anak hanya boleh masuk sekolah negeri,” ucapnya.
Posisi guru
Dari sisi guru, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi memuji kebijakan pengangkatan guru-guru honorer menjadi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Namun, di beberapa daerah, kebijakan P3K belum berjalan, salah satunya karena rumitnya birokrasi yang harus dilalui.
Ada baiknya ketika semua urusan guru honorer di kabupaten/kota dan provinsi telah diselesaikan, perekrutan guru dikembalikan kepada pemerintah pusat. Landasan jumlah perekrutan berdasarkan peta kebutuhan dari provinsi dan kabupaten/kota. Unifah menilai, dengan memanfaatkan Pendidikan Profesi Guru dan kedinasan, distribusi guru merata dengan pemerintah daerah menyiapkan sarana dan prasarana untuk kenyamanan guru, seperti gaji sesuai standar.
”Peringkasan birokrasi juga berarti memberi guru dan sekolah mengadaptasi kurikulum sesuai situasi lokal agar pemelajaran bisa diserap lebih cepat oleh siswa,” kata Unifah.