Pelanggaran kapal perikanan dinilai masih marak. Bentuknya antara lain, manipulasi ukuran kapal, operasi tanpa izin, dan kapal dengan modal asing tetapi nama pemilik dalam negeri.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat masih terdapat sejumlah modus pelanggaran kapal perikanan. Beberapa pelanggaran di antaranya manipulasi ukuran kapal lebih kecil dari ukuran sebenarnya atau mark down serta masuknya pemodal asing untuk kapal ikan dalam negeri.
Pelarangan investasi asing untuk usaha perikanan tangkap tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Negatif Investasi. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar, di Jakarta, akhir pekan lalu menyatakan, penataaan kapal perikanan masih menghadapi persoalan besar.
Persoalan itu meliputi kapal yang sudah habis masa izinnya, tidak melapor, atau memperpanjang izin, tetapi tetap melaut. Jumlah kapal yang habis izinnya itu mencapai 2.000 kapal.
Kedua, manipulasi ukuran kapal yang masih terus berlangsung dan diduga mencapai 10.000 kapal. Ketiga, kapal-kapal baru yang dibangun tanpa izin disinyalir mencapai 2.000 kapal. “(Persoalan) Ini sedang kami telusuri,” kata dia.
Modus lainnya, kapal-kapal yang dimodali asing menggunakan nama pemilik dalam negeri. Kapal itu dibuat dalam jumlah banyak, namun tidak berizin. “Pemodal asing tidak mengajukan izin kapal, jadi kapalnya bodong,” katanya.
Beberapa tempat yang diduga menjadi tempat pembuatan kapal tidak berizin yakni Indramayu (Jawa Barat), Batang (Jawa Tengah), dan Bagan Siapi Api (Riau).
“Pendataan dan pengecekan (kapal) terus dilakukan. Terhadap pelangggaran itu, surat persetujuan berlayar tidak mungkin keluar,” kata Zulficar.
Asuransi Nelayan
Sementara itu, masih terdapat sejumlah pemilik kapal yang belum melaksanakan kewajiban asuransi bagi anak buah kapal (ABK). Kewajiban pemilik kapal untuk asuransi bagi ABK berlaku untuk kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton (GT).
Menurut Zulficar, saat ini terdapat sekitar 88.000 ABK yang sudah diasuransikan oleh pemiliknya. Selain itu, 24.000 ABK sudah memperoleh perjanjian kerja laut dari pemilik kapal. Namun, masih ada sejumlah pemilik kapal yang belum menerapkan asuransi bagi ABK karena mengaku belum paham dan mendapat informasi terkait asuransi.
Pemerintah secara bertahap mendorong pemilik kapal berukuran 10-30 GT untuk asuransi ABK. “Kami tidak akan menerbitkan surat persetujuan berlayar bagi pemilik kapal yang tidak mau mengasuransikan ABK,” ujarnya.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan menyatakan, pemerintah perlu mengatur tahapan hulu-hilir yang dilalui seorang awak kapal ikan dalam bekerja, meliputi proses rekrutmen, penempatan, pengawasan, serta pasca bekerja.
Pemerintah perlu mengatur tahapan hulu-hilir yang dilalui seorang awak kapal ikan
“Dalam tahapan itu, rawan terjadi praktik kerja paksa atau perdagangan orang yang menimpa dan merugikan awak kapal ikan,” katanya.
Beberapa bentuk penipuan yang sering dialami oleh awak kapal ikan adalah gaji yang tidak sesuai, penipuan kontrak kerja dan kekerasan fisik dan mental.
Provinsi Jawa Tengah membentuk forum daerah sebagai wadah komunikasi, koordinasi, pelaporan dan layanan rujukan bagi awak kapal ikan yang mengalami permasalahan dalam bekerja dilaut. Jawa Tengah merupakan daerah penghasil awak kapal ikan baik didalam maupun diluar negeri.
Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah, Kristono, dalam keterangan pers menyatakan, pembangunan ketenagakerjaan di Jawa Tengah telah mengalami kemajuan tapi agak abai untuk melindungi awak kapal perikanan.
“Selama ini fokus kita baru sebatas pekerja di darat, padahal pekerja dilaut khususnya sektor perikanan tangkap di Jawa Tengah jumlahnya cukup banyak yaitu sekitar 100.000 orang,” kata Kristono. Jumlah tersebut akan lebih banyak jika ditambahkan dengan awak kapal ikan asal Jawa Tengah yang bekerja di luar negeri.
Untuk itu, pemerintah provinsi Jawa Tengah akan mendorong lahirnya Peraturan Daerah tentang Pelindungan Pekerja secara umum dan secara khusus akan memfasilitasi pembentukan Forum Daerah Pelindungan Awak Kapal Ikan.