Pemerintah berencana mengurangi jangka waktu subsidi perumahan. Namun, kebijakan itu dinilai berpotensi membebani masyarakat pembeli rumah subsidi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengurangi jangka waktu subsidi perumahan. Namun, kebijakan itu berpotensi membebani masyarakat pembeli rumah subsidi.
Pemerintah menyatakan telah mengkaji kemungkinan mengurangi jangka waktu pemberian subsidi perumahan berskema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan. Kemampuan keuangan masyarakat yang meningkat jadi pertimbangan utama.
Selain itu, pengurangan durasi subsidi dari 20 tahun saat ini diharapkan menambah jumlah masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan subsidi.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Eko D Heripoerwanto di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan, selain kemampuan keuangan masyarakat yang meningkat, anggaran subsidi perumahan dapat digunakan untuk masyarakat berpenghasilan lebih rendah yang lebih banyak melalui pengurangan durasi subsidi.
Hal lain yang jadi pertimbangan adalah adanya masyarakat berpenghasilan rendah yang melunasi angsuran sebelum jangka waktu kredit berakhir. Alasannya adalah agar beban angsuran tidak terlalu panjang. Kasus lainnya adalah rumah telah dipindahtangankan ketika masih dalam periode angsuran.
Secara terpisah, Direktur Utama Lembaga Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (LPDPP) Arief Sabaruddin mengatakan, saat ini sudah ada kajian yang dilakukan Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) maupun kajian dari LPDPP bersama Institut Pertanian Bogor (IPB) mengenai jangka waktu pemberian subsidi perumahan.
Hasilnya, perubahan masyarakat berpenghasilan rendah menjadi lebih sejahtera terjadi dalam rentang waktu setelah 5 tahun sampai 7 tahun. Selain itu, dari kajian tersebut, peningkatan kesejahteraan terjadi ketika kepala keluarga menginjak usia 40 tahun.
”Semisal setelah 5 tahun mereka sudah tidak termasuk masyarakat berpenghasilan rendah, bunganya dinaikkan menjadi bunga komersial. Sementara bagi mereka yang masih masuk kelompok tersebut subsidi diteruskan sampai mereka tidak termasuk ke kelompok itu,” kata Arief.
Hal lain yang juga menjadi temuan adalah kemungkinan sebuah keluarga justru menjadi masyarakat berpenghasilan rendah ketika kepala keluarga memasuki masa pensiun karena gaji pokok berkurang dan tunjangan hilang, sedangkan dia belum memiliki rumah. Dengan demikian, muncul kemungkinan pemberian subsidi bukan di awal seseorang bekerja, melainkan pada masa akhir seseorang bekerja.
Namun, menurut Arief, mengubah jangka waktu pemberian subsidi memerlukan proses panjang. Sebab, yang diperlukan tidak hanya penghitungan mengenai pendanaan, tetapi juga regulasi sebagai payung hukumnya.
Menurut Arief, jika jangka waktu pemberian subsidi berkurang, maka jumlah masyarakat berpenghasilan rendah yang dapat dibiayai akan bertambah. Arief memastikan, dalam waktu 10 tahun lagi, LPDD akan mandiri dalam mengelola dana dan tidak memerlukan suntikan APBN pemerintah.
”Analisis kami 10 tahun lagi LPDPP akan bisa bergulir tanpa APBN. Dana kelolaan FLPP sekarang sekitar Rp 43 triliun. Kalau 10 tahun lagi akan mencapai Rp 100 triliun dengan setiap tahun disuntik pemerintah,” ujar Arief.
Sementara itu, Pengajar dari Laboratorium Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung M Jehansyah Siregar berpandangan, wacana mengubah jangka waktu angsuran memperlihatkan respons reaktif pemerintah. Dulu FLPP dirancang sebagai dana campuran antara likuiditas perbankan dan dana pemerintah. Jangka waktu angsuran 20 tahun diterapkan agar besaran angsuran dapat dijangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
Wacana mengubah jangka waktu angsuran memperlihatkan respons reaktif pemerintah.
”Kalau mau dipendekkan subsidinya, bagaimana keterjangkauannya? FLPP itu skema untuk desil 4 ke atas atau desil 5 dengan penghasilan setara upah minimum regional atau provinsi. Kalau dinaikkan nanti malah penghasilan pembeli di lapangan lebih tinggi dari itu,” kata Jehansyah.
Menurut Jehansyah, kelemahan skema FLPP adalah menempatkannya hanya sebagai penghitungan keuangan dari sisi permintaan, tetapi tidak dikaitkan dengan sisi produksi rumah. Mestinya pemberian FLPP terkait dengan rencana pengembangan kawasan dan rencana pasokan hunian.
Akibatnya, lanjut Jehansyah, meskipun subsidi triliunan rupiah digelontorkan setiap tahun, masalah kekurangan rumah selalu ada. Bahkan, pembeli rumah subsidi justru semakin menderita karena lokasi rumah jauh dari tempat kerja. Ekses negatif lainnya, terjadi manipulasi penghasilan pembeli agar dapat membeli rumah subsidi. (NAD)