Perkuat Sinergi Antarlembaga untuk Pembangunan Berkelanjutan
›
Perkuat Sinergi Antarlembaga...
Iklan
Perkuat Sinergi Antarlembaga untuk Pembangunan Berkelanjutan
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Sinergi semua lembaga untuk memastikan terlaksananya tujuan pembangunan berkelanjutan perlu terus digalakkan. Langkah percepatan pembangunan berkelanjutan juga mendesak untuk dimasukkan dalam kerangka kerja semua pihak.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji di Jakarta, Sabtu (19/10/2019) mengungkapkan, semangat "tidak seorang pun ditinggalkan" (no one left behind) yang menjadi semboyan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) belum sepenuhnya dipahami pemerintah dan masyarakat. Hanya penanggung jawab SDGs di suatu lembaga yang paham.
"Contohnya kebijakan sekolah inklusi untuk anak-anak berkebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas atau anak dengan gangguan belajar. Infrastruktur sekolah tidak disiapkan, sosialisasi kepada warga nyaris tidak ada. Bahkan, pembinaan kepada guru pun jarang. Akibatnya, cita-cita pendidikan inklusi tidak berjalan. Guru terbebani karena tidak punya keterampilan menghadapi siswa berkebutuhan khusus dan siswa tidak bahagia di kelas," tuturnya.
Hal serupa terjadi dengan anak-anak dari kelompok marjinal. Mereka nyaris tidak diberi ruang berekspresi serta pembimbing di sekolah dan di masyarakat karena menganut kepercayaan yang bukan arus utama. Apalagi, anak-anak dari kelompok marjinal yang dipermasalahkan pemerintah seperti Gafatar, Islam Syiah, dan Ahmadiyah yang mengalami persekusi.
"Pencatatan sipil yang tidak rapi berakibat pada kesulitan mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Ditambah stigma dari lingkungan," kata Ubaid. Prinsip SDG tidak hanya untuk kelompok mayoritas, tapi justru pemastian hak minoritas menjadi tolok ukur.
Cita-cita lama
"Kalau dari segi aturan dan visi pemerintah sudah baik. Bahkan, cita-cita SDGs (tujuan pembangunan berkelanjutan) sudah ada sejak tahun 1970an. Berkembang terutama di perguruan tinggi," kata dosen Agribisnis IPB University Bayu Krisnamurthi ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (18/10/2019). Ia merupakan inisiator jaringan SDGs IPB University.
Pemerintah pusat dan daerah secara langsung berperan mengurangi tingkat kemiskinan, tapi kontribusinya secara keseluruhan hanya sekitar 25 persen. Ada pula lembaga-lembaga filantropi swasta dan dana tanggung jawab korporasi, diperkirakan menyumbang 5 persen dari dampak. Adapun perguruan tinggi lebih fokus kepada pengembangan kapasitas sumber daya manusia.
Menurut Bayu, semua sektor itu harus bersinergi untuk membuat program pembangunan yang tidak hanya berdampak pada peningkatan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga setara, lestari, dan menjamin akses ke semua layanan pemerintah.
"Pembangunan yang berpersepsi memajukan manusia dan alam Indonesia harus ada dan sengaja diterapkan dari tingkat perusahaan, lembaga negara, dan satuan terkecil di masyarakat secara berkesadaran penuh. Kebetulan kesadaran ini sama dengan SDGs yang juga diterapkan di 193 negara lain.
" Namun, apabila program SDGs selesai pada tahun 2030 pun hendaknya pembangunan berkesadaran ini terus berlanjut karena sudah menjadi nilai yng diyakini semua pihak," ujarnya. Inisiati-inisiatif lokal tidak bisa berjalan mulus tanpa ada sinergi semua pihak.
Namun, apabila program SDGs selesai pada tahun 2030 pun hendaknya pembangunan berkesadaran ini terus berlanjut karena sudah menjadi nilai yng diyakini semua pihak.
Ia menekankan keberhasilan pembangunan nasional adalah berkat kesuksesan kecil di masyarakat. Pengawasan dan evaluasi kinerja-kinerja lokal ini secara sistematis dan rutin masih menjadi tantangan.
"Selain itu, perlu terobosan baru mulai dari kebijakan, metode kerja, dan produk. Misalnya, plastik memang tahan lama dan menghemat biaya produksi, tetapi merusak lingkungan. Harus ada terobosan hasil pemikiran berbagai pihak mulai dari industri, pakar lingkungan, dan konsumen yang bisa memecahkan masalah ini. Tidak bisa diselesaikan oleh industri saja," jelasnya.
Sinergi
Salah satu wujud sinergi pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil adalah di Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelelawan, Riau. Pihak terlibat ialah Tanoto Foundation dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang mengembangkan program pertanian sawit lestari dengan target petani plasma dan petani swadaya.
Hasilnya, Koperasi Unit Desa Bukit Patalo yang dikelola oleh petani swasta memperoleh sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Untuk petani swadaya melalui Asosiasi Amanah juga mendapat sertifikat ISPO. Kedua organisasi memastikan anggotanya menerapkan pola bercocok tanam dan panen sawit lestari. "Memang di lapangan tingkat pemahaman orang-orang pemerintah terkait SDG beragam," kata CEO Tanoto Foundation J Satrijo Tanudjojo.
Oleh sebab itu, yayasan tersebut bersama UNDP dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional akan membuka SDG Academy pada awal tahun 2020. Lembaga pelatihan ini memberi pendidikan selama lima bulan berupa kuliah tatap muka, kuliah jarak jauh, dan penerapan proyek di lapangan. Peserta didiknya diprioritaskan adalah aparatur sipil negara dan pegawai pemerintah daerah.
Selain memberi pemahaman mendalam mengenai SDGs, para ASN bisa merancang program teknis untuk diterapkn di lembaga masing-masing. Mereka bisa menyelaraskannya dengan salah satu atau beberapa poin dari 17 butir SDG.
"Akademi memungkinkan mengumpulkan para pakar di bawah satu atap untuk mengajar peserta didik. Di saat yang sama mereka juga mendengar langsung mengenai situasi di lapangan sehingga bisa membangun jaringan tindak lanjut permasalahan," kata Satrijo.