Tujuh Anak Diduga Menjadi Korban Pelecehan Gurunya
›
Tujuh Anak Diduga Menjadi...
Iklan
Tujuh Anak Diduga Menjadi Korban Pelecehan Gurunya
Pelecehan tenaga pendidik kepada muridnya kembali terjadi. Tujuh anak di Jakarta Timur diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh guru mereka sendiri saat proses belajar berlangsung.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tujuh anak perempuan di bawah umur diduga mengalami pelecehan seksual oleh guru mereka, F (51), di Jakarta Timur. Pelecehan itu diduga terjadi di rumah gurunya ketika proses belajar berlangsung. Karena perbuatannya, F terancam hukuman maksimal 15 tahun sesuai dengan pasal 76E juncto 82 Undang-udang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Kasus pelecehan seksual ini terungkap ketika ibu dari salah satu korban yang berinisial M (7) melihat anaknya kesakitan di bagian alat vital. Kepada ibunya, menceritakan pelecehanan yang dialami karena perbuatan gurunya.
Ternyata M tidak sendiri, setidak ada tujuh korban pelecehan seksual lainnya. Paralegal atau pendamping dari Lembaga Bantuan Hukum APIK Tri Widiati mengatakan, sementara ada tiga keluarga korban yang melapor. “Selain M, ada APF (11), dan A (11). Total ada tujuh korban. Sementara 4 korban lainnya tidak melapor. Kami hargai karena bukan hal yang mudah untuk keluarga melaporkan kasus pelecehan seksual yang menimpa anaknya,” kata Tri, Senin (21/10/2019), di Jakarta.
Berdasarkan pengakuan korban, kata Tri, mereka mendapat pelecehan seksual di rumah gurunya. Selain itu, mereka dibujuk rayu dan juga mendapat uang dari pelaku. Tri melanjutkan, Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur Komisaris Besar sudah menahan pelaku. Sementara tiga korban sudah divisum untuk menunjang bukti pelecehan seksual.
“Sembari menunggu perkembangan penyidikan dari polisi, LBH APIK mendampingi anak-anak ini, untuk mendapatkan keadilan. Kita juga melakukan penguatan kepada anak dan keluarga, agar bisa beraktivitas seperti biasa lagi. Mereka tidak sendiri hingga berjalannya proses hukum ini,” tutur Tri.
Sementara itu, Koordinator Pelayanan Hukum LBH APIK Uli Pangaribuan mengatakan, selain melakukan pendamping LBH APIK akan melaporkan kasus pelecehan seksual anak-anak ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Ia menegaskan, anak-anak tersebut harus mendapatkan perlindungan langsung dari negara. Karena itu, aparat penegak hukum agar segera memproses kasus ini agar tidak berlarut.
“Selain itu, jangan membebankan keluarga korban untuk mencari saksi dan alat bukti lagi karena keterangan korban sudah menjadi bukti kuat. Kami juga meminta, agar keterangan anak dihargai dan diterima. Intinya, pelaku harus dihukum maksimal,” tegas Uli.
Bambang purwanto (55), kepala seksi pelayanan masyarakat RW setempat, mengatakan, ketika mengetahui ada anak di wilayahnya menjadi korban pelecehan seksual, warga langsung mencari F. Sekitar pukul 22.00, Sabtu (19/10/2019), F dibawa ke kantor RW untuk diminta keterangan. Namun, F tidak mengakui perbuatannya dengan alasan menderita penyakit gula sehingga tidak mungkin melakukan perbuatan tercela kepada anak-anak.
“Jadi ada tujuh korban yang tinggal di RW yang berbeda. Di RW saya paling banyak korbannya, ada tiga anak. Setelah diintrograsi, perwakilan warga dan seorang TNI yang tinggal sini membawa pelaku ke Polres untuk diamankan, biar enggak kabur,” kata Bambang.
Serius tangani kasus pelecehan
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polisi Resor Metro Jakarta Timur Ajun Komisaris Besar Hery Purno mengatakan, M, salah satu korban mendapat pelecehan seksual terjadi sekitar September 2019 sekitar pukul 14.30. M tidak mengetahui persis kapan tanggalnya, tetapi ia mendapat ancaman dari F untuk tidak menceritakan kepada siapa pun.
Salah satu teman M yang mengetahui peristiwa pelecehan tersebut meminta M bercerita kepada ibunya. “Ibu korban saat melapor ke kami, mengatakan korban ketakutan karena mendapat ancaman dari pelaku. Saat ini pelaku sudah kami tahan dan sedang kami dalami. Pelaku sudah mengakui perbuatannya,” kata Hery.
Hery mengatakan, akan serius menangani kasus pecahan seksual dibawah umur. “Ini tentu membuat keluarga terpukul, kami ikut prihatin dan serius menangani kasus ini,” tutur Hery.
Menurut psikolog dari Yayasan Pulih, Gisella Tani Pratiwi, mengatakan, kekerasan seksual terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Ketimpangan itu bisa terjadi karena aspek sosial, jender, ekonomi, dan usia. ”Kedudukan korban dan pelaku tidak setara sehingga pelaku menyalahgunakan posisinya yang lebih kuat untuk menyerang dan menggunakan korban demi kepentingan pelaku,” kata Gisella.
Kekerasan seksual pada anak dapat membawa beragam dampak terhadap pola pikir, emosi, dan perilakunya. ”Kebanyakan merasa bingung, tidak aman, dan cemas. Banyak juga yang merasa dirinya tidak lagi berharga dan mungkin berkembang menjadi gangguan psikologis yang lebih serius, seperti PTSD (post traumatic syndrome disorder),” ujarnya.