Bahagia dengan Dana Desa di Kamarang
Lama didiamkan, tumpukan sampah dan krisis air bersih di Desa Kamarang, Kecamatan Greged, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, akhirnya menemukan jalan. Sejak tahun lalu, pemerintah desa yang berinovasi menggunakan dana desa berhasil menuntaskan masalah itu. Warga pun bahagia merayakan semuanya.
Jalan aspal mulus mendaki menuntun Ero Sumarto (48) membawa beberapa kantong sampah ke tempat pembuangan sampah (TPS) di Dusun Manis, RT 008/RW 003, Desa Kamarang, Rabu (17/7/2019). Lokasinya di dekat pemakaman dan sawah yang jauh dari permukiman.
Di TPS itu, Ero disambut tiga kantong hitam berisi sampah aneka rupa, seperti kantong plastik, bungkus makanan, dan potongan kayu. Tidak ada sampah yang menumpuk dan mengeluarkan aroma tak sedap, yang biasa dijumpai di sejumlah TPS lain di Cirebon. Dia kemudian memasukkan kantong sampah ke dalam bangunan dengan panjang 3 meter, lebar 2 meter, dan tinggi 4 meter. Sampah itu lalu dibakar dengan korek api di dalam insinerator.
Pada saat api membesar, suara mesin pompa meraung. Mesin tersebut menyedot air dari penampungan, lalu menyiram asap hasil pembakaran dengan semprotan kecil, seperti hujan buatan. Memang ada asap yang keluar melalui pipa cerobong.
Namun, itu hanya sedikit saja, tidak sebesar dan hitam seperti asap knalpot bus tua di kota-kota besar. ”Limbah pembakaran insinerator ini jadi pupuk cair,” ucap Ero sambil menunjukkan cairan coklat di kolam kecil yang terhubung dengan insinerator melalui pipa.
Pupuk itu dapat diambil secara gratis oleh petani. Ia sudah memanfaatkan pupuk itu saat masa tanam rendeng lalu. Pupuk ini bisa mengusir belalang dan ulat. Akan tetapi, hasilnya masih sekitar 4 ton gabah kering giling per hektar.
”Tadinya mau pakai pupuk ini lagi, tetapi sekarang kekeringan sehingga belum menanam,” katanya. Sementara abu sisa pembakaran sampah non-organik yang keluar dari lubang khusus dikumpulkan dalam botol plastik. Menurut rencana, tumpukan botol plastik itu akan disusun menjadi kursi dan meja seperti drum bekas merah yang diduduki Ero siang itu.
Meniru konsep di pabrik genteng
Botol plastik atau sampah yang masih bisa diolah dipisahkan petugas Badan Pengelola Sampah (BPS). Petugas BPS yang mendapatkan gaji bulanan itu juga mengumpulkan sampah dari rumah warga sebelum dibawa ke insinerator. Sampah diangkut tiga kali seminggu. Setiap pengangkutan menggunakan dua sepeda motor roda tiga yang memiliki bak sampah di belakangnya.
Konsep insinerator tersebut meniru proses pembakaran dalam pabrik genteng di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, yang telah beroperasi lebih dari seabad. Tungku pembakarannya terbuat dari tanah liat keras dan dilapisi bata, bukan berbahan metal seperti insinerator yang biasanya ada.
Pada saat pembakaran, tembok bagian luar tidak terasa panas sehingga alat itu diklaim dapat bertahan lama seperti di pabrik genteng. Tungku itu dibuat khusus salah satu pegawai pabrik genteng di Jatiwangi, kenalan Kepala Desa Kamarang. ”Ini prototipe pertama di Cirebon. Saya minta teman membuatnya,” kata Kuwu (Kepala Desa) Kamarang Endang Kusnandar.
Ongkos pembangunan insinerator plus bangunan lain sebesar Rp 100 juta itu diambil dari alokasi dana desa tahun 2018. Biaya itu lebih murah dibandingkan insinerator yang ditawarkan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cirebon sekitar Rp 500 juta.
Endang menuturkan, ide pengelolaan sampah muncul ketika ia bersama tim memetakan masalah dan potensi desa pada tahun 2017. Saat itu, Endang yang baru saja mengundurkan diri dari pekerjaannya di perusahaan kontraktor mencalonkan diri sebagai kuwu.
”Setelah kami keliling, ternyata warga hanya memindahkan sampah. Dari ruang tamu ke dapur, terus dibakar di kebun bagi yang punya lahan. Kalau tidak, ya, dibuang di selokan atau sungai,” katanya. Akibatnya, sampah dari 3.150 warga desa dibakar di ruang terbuka atau menyumbat di saluran air. Ketika musim hujan, genangan mudah dijumpai di desa yang terletak 291 meter di atas permukaan laut itu.
Itu sebabnya, ketika terpilih sebagai kuwu, Endang langsung menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) Kamarang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Regulasi itu, antara lain, mengatur kewajiban pemerintah desa untuk mencegah dampak pencemaran sampah hingga memberikan sanksi bagi yang membuang sampah sembarangan, seperti pemasangan foto yang bersangkutan di tempat umum selama 30 hari.
Dengan perdes itu, lanjut Endang, pengelolaan sampah wajib dilakukan, siapa pun kuwunya. Tidak sekadar aturan, ia juga membuat TPS lengkap dengan insineratornya meskipun warga sempat menolak.
”Mereka takut TPS itu seperti tempat penumpukan sampah di Bantargebang (Bekasi). Setelah saya jelaskan konsepnya, warga mendukung. Bahkan, banyak yang tidak percaya insinerator beroperasi karena hampir enggak ada asap yang keluar,” paparnya.
Solusi air
Warga mulai merasakan dampaknya. Mumun (45), warga setempat, mengatakan tidak perlu naik sepeda motor sekitar 500 meter untuk membawa sampah ke kebun. Sejak TPS beroperasi, sampah di rumah Mumun ada yang menjemput, gratis.
Kalaupun nanti ada retribusi sampai Rp 15.000 per bulan, ia bersedia membayarnya. Mumun juga mendapatkan sosialisasi terkait pemilahan sampah organik dan non-organik sejak dari rumah.
Selain insinerator dan TPS, pemerintah desa (pemdes) juga membuat 100 lubang resapan biopori. Lewat biopori, pipa dipasang di dalam tanah. Pipa tersebut menampung sampah organik yang nantinya dijadikan pupuk kompos.
Biopori juga dapat mencegah banjir karena menabung air. Pemerintah desa menargetkan satu lubang biopori di sekitar 900 rumah. Itu bagian dari gerakan kelola sampah mulai dari rumah (lolasamdaru). Berjarak 20 kilometer dari Kantor Bupati Cirebon, Kamarang mencoba menjadi rujukan solusi atas 1.706 ton sampah per hari di Cirebon.
Persoalan lain yang coba dituntaskan pemdes dan masyarakat adalah krisis air bersih. Hanya ada satu sumber air, yakni Ciseureuh. Pada saat kemarau, warga antre sambil membawa jeriken. Namun, sejak tahun lalu, program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (pamsimas) mengurangi beban warga.
Dana program ini, antara lain, berasal dari swadaya masyarakat Rp 105 juta, dana desa sebesar Rp 35 juta, dan bantuan Pemerintah Kabupaten Cirebon. Saat ini sudah 24 persen rumah dari total 900 rumah yang teraliri pamsimas dengan tarif Rp 3.000 per meter kubik.
Tahun depan, pemerintah desa menargetkan semua rumah terairi. Setelah persoalan utama warga, yakni sampah dan air, selesai, masih ada sasaran produktif lain, yakni bergerak ke pariwisata.
”Kamarang bisa jadi tempat arung jeram,” kata Endang. Kamarang terus menggeliat, bergerak maju. Desa itu seolah hendak berkabar bahwa dana desa efektif menyelesaikan problem warga, bukan jadi sumber korupsi para penguasa.