Ancaman menjadi korban kekerasan tidak hanya terjadi di luar negeri, pekerja rumah tangga Indonesia juga mengalami nasib serupa di negeri sendiri. Perlu ada sistem perlindungan kepada mereka yang lebih baik.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·5 menit baca
Nasib pekerja rumah tangga domestik tidak lebih baik dari pekerja migran. Mereka sama-sama menjadi salah satu kelompok yang rentan mengalami kekerasan dan tinggal dalam kondisi hidup tidak layak. Hal itu seperti fenomena gunung es. Sedikit yang nampak di permukaan dan lebih banyak tersembunyi.
Mirisnya, kekerasan dan kondisi tidak layak baru terekspos ketika pekerja rumah tangga (PRT) sudah terluka sedemikian parah, berhasil kabur, terjerat kasus maupun telah meninggal. Kasus terbaru menimpa AB (24) asal Dusun Gurung, Desa Sita, Kecamatan Borong, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Mimpinya untuk kehidupan yang lebih baik, justru berakhir dengan siksaan selama sembilan tahun terkahir.
Sebelumnya L (20) dianiaya majikannya, TVL (51), di Muara Karang, Jakarta Utara. L akhirnya kehilangan nyawa pada Senin (20/5/2019) pukul 03.00. Dari hasil pemeriksaan, polisi menemukan bekas luka lebam di sekujur tubuh korban. Tubuh korban sangat kurus, rambut dipangkas gundul, dan beberapa gigi depan rontok.
AB dalam kondisi berdarah-darah akibat luka di kening melarikan diri ke Kepolisian Sektor Cengkareng, Jakarta Barat, Senin (21/10/2019) malam. Rupanya AB baru saja menjadi sasaran kemarahan FB, sang majikan, di Jalan Utama Raya, Cengkareng Barat, Jakarta Barat.
Ia mengelabui FB dengan meminta izin untuk menyalakan lampu di teras rumah. Ketika berada di teras, dia mengunci pintu rumah dari luar. Kemudian memanjat pagar dan berlari ke kantor polisi. Polisi kemudian membawanya ke RSUD Cengkareng untuk perawatan. Ternyata terdapat luka lain di kepala bagian belakang serta memar di tangan kanan dan kiri.
Selanjutnya polisi menahan FB. Atas perlakukannya terhadap AB, FB terancam hukuman hukuman 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 15 juta sesuai pasal 44 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Prischa Leda (29), pendamping korban, mengabarkan bahwa AB belum boleh ditemui pihak luar karena sedang dalam pemulihan dan harus beristirahat total di kediaman salah satu anggota Keluarga Besar Flores. Kendati demikian, AB sudah mendapat pendampingan dan bantuan hukum. "Selama sembilan tahun mengalami kekerasan dan tidak mendapatkan upah. Kami akan dampingi agar korban mendapatkan hak-haknya kembali," kata Prischa kepada Kompas, Selasa (22/10/2019).
Pekerja anak
Selama ini, AB sudah bekerja di rumah FB sejak usia 15 tahun. Ia direkrut warga Manggarai dengan iming-imingi gaji yang besar. Perekrutbekerja untuk satu agen penyedia jasa di Bekasi. Bermodal pakaian, berangkatlah AB bersama perekrutnya ke Jakarta. Bahkan, keberangkatan tanpa sepengetahuan keluarga.
"Mereka (keluarga) anggap dia hilang karena tidak tau keberadaannya. Saya mau urus Kartu BPJS Kesehatan tidak bisa karena dia belum punya KTP. Ternyata dia tidak bawa ijazah dan surat-surat lain," katanya.
Kini keluarga telah mengetahui keberadaan dan peristiwa yang menimpanya. Lanjut Prischa, Keluarga Besar Flores sepakat agar korban juga mendapat pendampingan psikologi. "Saya perhatikan, dia bengong kalau tidak diajak ngobrol. Sembilan tahun bukan waktu yang singkat. Harus cari tahu selain kekerasan fisik, apa lagi yang dialaminya," ujarnya.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat 92 kasus anak korban eksploitasi kerja pada tahun 2018. Contohnya anak dijadikan pengemis dan pekerja rumah tangga yang tidak dibayar atau hanya dieksploitasi. "Pekerja anak biasanya putus sekolah dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka bekerja. Anak-anak ini rentan juga terhadap eksploitasi seksual seperti bekerja pekerjaan terapis pijat dan pemandu lagu," kata Komisioner Bidang Trafficking Dan Eksploitasi KPAI Ai Maryati Solihah.
Organisasi Buruh Internasional perwakilan Jakarta memperkirakan terdapat sekitar 4 juta PRT di Indonesia. Dari angka itu, jumlah anak-anak berusia di bawah 18 tahun mencapai 85.000. Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga Lita Anggraini mengatakan, kasus yang menimpa AB di Cengkareng, menunjukkan bahwa peristiwa serupa terus berulang.
Hal yang sama pernah dialami Sri Siti Marni alias Ani dan Nurlela. Siti dianiaya selama sembilan tahun oleh majikannya di Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur. Sedangkan Nurlela dianiaya selama lima tahun oleh majikannya ketika bekerja di Cileunyi, Bandung Jawa Barat.
"Tidak dapat libur, upah hanya 20-30 persen dari upah daerah, akses dibatasi, bahkan majikan belum bersedia membayar iuran ketenagakerjaan Rp 18.400 per bulan. Tentunya tidak sebanding dengan jam dan beban kerjanya," kata Lita.
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga mencatat ada 245 pengaduan per Agustus 2019. Pengaduan itu antara lain upah yang tidak dibayarkan, kekerasan fisik, dan perdagangan orang. Sementara pada 2018 tercatat ada 427 pengaduan. Pengaduan berasal dari PRT yang telah terorganisir atau berhubungan dengan jaringan nasional.
Lita menyesalkan nasib PRT yang terkatung-katung. Padahal sejak 2004 telah diusulkan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga. Namun, rancangan itu tidak masuk program prioritas legilasi nasional. Menurutnya, rancangan itu dianggap tidak penting dan mengganggu pembuat kebijakan karena mereka juga bagian dari majikan.
"Sudah masuk tiga periode pemerintahan dan DPR. Semoga PRT tidak ditinggalkan dalam pembangunan nasional. Jika ditinggalkan, akan selalu bermunculan, kasus kekerasan. Semakin lama akan semakin banyak kasus," ujarnya. Selain itu pemerintah juga belum meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Konvensi itu dikeluarkan sejak tahun 2011.
Pertanyaan yang kemudian muncul. Bagaimana menuntut PRT migran untuk memperoleh perlindungan? Sementara di dalam negeri masih seperti ini. "Dalam pembangunan PRT menjadi kelompok masyarakat yang menanggung kemiskinan berkelanjutan," katanya.
Padahal salah satu tujuan program pembangunan berkelanjutan poin kedelapan adalah pekerjaan yang layak bagi semua. Hal itu diperjelas dengan target yang hendak dicapai pada 2030. Target itu antara lain mencapai ketenagakerjaan yang layak, mengambil langkah-langkah segera dan efektif untuk mengentaskan kerja paksa, mengakhiri perbudakan modern dan perdagangan manusia dan menegakkan larangan dan eliminasi bentuk terburuk dari tenaga kerja anak.
Kemudian melindungi hak-hak pekerja dan mendukung lingkungan kerja yang aman bagi seluruh pekerja, khususnya bagi perempuan buruh migran, dan pekerja dalam situasi genting. Untuk mewujudkannya harus ada payung hukum yang mengakui dan melindungi PRT sebagai profesi yang memiliki kerentanan karena pekerjaannya. Jika tidak, mau sampai kapan kejadian serupa bahkan lebih parah terus berulang?