Rencana Kini, Sejahtera Kemudian
Pengendalian kelahiran masih menjadi masalah di Nusa Tenggara Timur. Keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan membuat penggunaan alat kontrasepsi terkendala. Terobosan dibuat untuk meningkatkan program KB.
Dortea Bota Narajan (34) terbaring lemah di ranjang Ruang Anggrek, Rumah Sakit Umum Daerah dr TC Hillers, Kabupaten Sikka, Kamis (26/9/2019). Kondisinya masih lemah pascaoperasi kontrasepsi beberapa waktu sebelumnya. Di tangannya masih tertancap infus. Bibirnya pucat. Siang itu, Dortea ditemani suaminya, Heribertus Rinto Nongren (35).
Sebelum operasi, Dortea keguguran kandungan di kehamilan keenamnya. Total, ibu tiga anak ini sudah tiga kali keguguran. Proses kelahiran tiga anaknya juga tidak mudah. Mulai dari mengandung hingga melahirkan, dia sakit di tenggorokan. ”Setelah keguguran ketiga ini, saya tidak sanggup hamil lagi. Capek. Tenggorokan selalu sakit. Saya mantap pakai kontrasepsi,” katanya.
Heribertus mendukung keinginan istrinya. Selain demi kesehatan, dia sadar tiga anak sudah banyak. Dengan pekerjaan sebagai sopir dan pekerja serabutan, Heribertus berpenghasilan sekitar Rp 500.000 per bulan. ”Yang paling penting istri saya sehat,” ujarnya.
Lewat diskusi dengan tenaga medis, pasangan suami istri ini sepakat memilih Metode Operatif Wanita (MOW). Kontrasepsi MOW diterapkan lewat operasi tubektomi, yaitu mengikat atau memotong saluran yang menghubungkan indung telur ke rahim sehingga mencegah pembuahan sel telur.
Metode ini merupakan salah satu kontrasepsi jangka panjang sehingga tidak perlu tindakan ulang. Pasangan dengan banyak anak dan tinggal di daerah yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan dianjurkan menggunakan metode ini.
Dortea menuturkan, rumahnya di Desa Nangatobong, Kecamatan Waigete, Sikka, tidak mudah ditempuh. Jaraknya memang hanya 30 kilometer dari pusat kota Sikka. Namun, ongkosnya tak murah, Rp 100.000 per orang pergi pulang. Kondisi itu merepotkan jika Dortea memilih kontrasepsi yang perlu berulang pergi ke fasilitas kesehatan, misalnya pil kontrasepsi, suntik, atau pemasangan IUD.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, akses warga untuk mendapat pelayanan kesehatan masih jadi kendala utama program KB, terutama peserta program kontrasepsi jangka pendek. Ia mencontohkan alat kontrasepsi suntik, yang harus dilakukan tiga bulan sekali. ”Hal ini akan menyulitkan keluarga yang tinggal jauh dari akses kesehatan,” ujarnya.
Cegah tengkes
Upaya pengendalian kelahiran di NTT belakangan semakin menjadi perhatian pemerintah pusat. Alasannya, daerah ini menyumbang angka kelahiran tertinggi berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) BKKBN tahun 2017. Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate/TFR) di NTT mencapai 3,4. Rata-rata setiap keluarga di sana memiliki tiga anak.
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Dwi Listyawardani menuturkan, angka ini lebih tinggi dari TFR Nasional, yakni 2,4. Indonesia menargetkan angka TFR pada 2,1 di tahun 2025. Karena itu, penggunaan alat kontrasepsi perlu ditingkatkan.
BKKBN mencatat pasangan usia subur (PUS) di Indonesia mencapai 47 juta orang. Sejauh ini, sekitar 60 persen sudah menggunakan alat kontrasepsi. ”Pengendalian pertumbuhan sudah sesuai jalur. Kalau langsung ditekan, dikhawatirkan akan terjadi ketimpangan proporsi umur,” ujarnya.
Di NTT, BKKBN menargetkan angka TFR mencapai 2,6 di tahun 2022. Angka ini mungkin ambisius, tapi Kepala BKKBN Perwakilan NTT Marianus Mau Kuru yakin hal itu bisa dicapai. ”Salah satu caranya, kami akan langsung menanyakan kepada ibu yang baru melahirkan kesediaannya menggunakan kontrasepsi,” ujar Marianus.
Upaya pengendalian kelahiran juga menjadi cara untuk menekan kekurangan gizi yang memicu tengkes. Dari SDKI 2017, angka tengkes di NTT mencapai 40,3 persen. Tengkes muncul karena asupan gizi keluarga tidak mencukupi untuk perkembangan janin bayi dan pertumbuhan anak. Akibat kemiskinan, keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik NTT per Maret 2019, angka kemiskinan mencapai 21,09 persen dengan jumlah 1,14 juta orang. Angka ini menempati peringkat ketiga di Indonesia.
Selain itu, menurut Dwi, tengkes berpotensi terjadi karena jeda kelahiran yang pendek antaranak di dalam keluarga. BKKBN berharap, dengan mengatur jeda kelahiran, kondisi kesehatan ibu lebih optimal. Dengan demikian, ada kecukupan gizi untuk perkembangan janin. ”Idealnya ada jeda tiga tahun. Tubuh ibu juga perlu istirahat,” ujarnya.
Kampung KB
Tidak hanya merekomendasikan kontrasepsi pascapersalinan, pengendalian kelahiran keluarga dilakukan dengan mendirikan kampung-kampung KB. Dwi menuturkan, sekitar 14.000 kampung KB tersebar di Indonesia. Di NTT ada 613 kampung KB. Salah satunya di Desa Manubura, Kecamatan Nelle, Sikka. Edukasi oleh perangkat desa di Kampung KB mampu menarik minat warga untuk menggunakan alat kontrasepsi.
Di awal pembentukan tahun 2016, pengguna KB di Desa Manubura ada 104 dari 212 PUS (49 persen). Dua tahun kemudian, pengguna kontrasepsi mencapai 89 pasangan dari total 165 PUS (54 persen). Data terkait kependudukan terpampang di Rumah Data Kependudukan yang menjadi pusat kegiatan di Kampung KB Desa Manubura. Selain itu, peta desa ditampilkan sebagai pelengkap informasi.
Ketua Kader Posyandu dan Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) Desa Manubura Sisilia Harny menuturkan, pihaknya membuat penyuluhan menjadi lebih mudah dipahami. Dengan menggunakan alat peraga dan diskusi terbuka, warga bisa menentukan alat kontrasepsi yang cocok digunakan.
”Sekarang hasilnya terlihat. Pasangan muda di sini tidak ada yang memiliki anak lebih dari tiga,” ujarnya. Sebagaimana pasangan Dortea dan Heribertus, pasangan-pasangan muda itu ingin fokus dan cukup waktu serta tenaga membesarkan anak-anaknya. Lewat penyuluhan dan edukasi, mereka menjadi contoh bagi warga yang memilih mempunyai anak secara terencana.