Semangat menyinergikan kegiatan penelitian secara efisen sudah muncul jauh sebelum riset itu sendiri diarahkan sebagai penopang daya saing bangsa. Harian Kompas edisi 23 Oktober 1967, memberitakan terbentuknya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebagai leburan dari Lembaga Research Nasional dan Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Dalam Tajuk Rencana pada edisi yang sama, Kompas memaknai penggabungan dua lembaga itu sebagai akhir dari dualisme pengelolaan kegiatan riset di Tanah Air. Agar suatu lembaga ilmiah bisa bekerja dengan baik, maka kepadanya wajib diberikan kebebasan ilmiah bagi penelitiannya. Dengan kata lain, lembaga dan personalianya harus dibebaskan dari pengaruh-pengaruh politik.
Dalam Keputusan Presiden Nomor 161/1967 disebutkan bahwa LIPI adalah perangkat pemerintah untuk membina penelitian ilmiah dan teknologi yang berkedudukan langsung di bawah Presiden (Kompas, 9/10/ 1967).
Sekitar 52 tahun kemudian, pemerintah berencana membentuk Badan Riset Nasional setelah Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi disahkan menjadi UU. Badan riset itu diharapkan memperkuat integrasi antarlembaga dan mencegah tumpang tindih karena ada riset sama (Kompas, 17/7/2019).
Badan Riset Nasional kelak diarahkanh untuk menaungi lembaga riset yang ada, seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), serta lembaga lain.
Lembaga riset selama ini dinilai tak saling sinergi dan kerap melakukan riset sama, tetapi hasilnya berbeda-beda sehingga tak efektif. Kelak, badan riset dan inovasi nasional ini dibentuk presiden untuk mengintegrasikan antarlembaga. Ditargetkan lembaga ini terbentuk pada 2020.
Dalam Rencana Riset Induk Nasional, prioritas pemerintah yaitu riset bidang pangan, pertanian, kesehatan, informasi dan komunikasi, transportasi, pertahanan, energi terbarukan, antisipasi bencana, kebudayaan, serta sosial. (NAR)