Gaya komunikasi mahasiswa zaman ”now” kadang membuat dosen geleng-geleng kepala. Ada mahasiswa yang memanggil Pak Rektor dengan sapaan ”bro”. Mungkin maksudnya ingin lebih akrab, tapi tidak pada tempatnya.
Oleh
Ester Lince Napitupulu
·5 menit baca
Gaya komunikasi mahasiswa zaman ”now” kadang membuat dosen geleng-geleng kepala. Ada mahasiswa yang memanggil Pak Rektor dengan sapaan ”bro”. Mungkin maksudnya ingin lebih akrab, tapi tidak pada tempatnya. Nah, bagaimana sebaiknya berkomunikasi dengan dosen via media sosial yang asyik, tapi tetap beretika?
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Sutrisna Wibawa yang aktif di media sosial sempat curhat beberapa waktu lalu. Suatu hari, ia menerima pesan dari mahasiswa melalui media sosial. Yang bikin ia terkesima, sang mahasiswa menyapanya dengan sapaan bro.
Di hari lain, ia menerima pesan dari mahasiswa yang juga bikin ia geleng-geleng kepala. Bunyi pesannya kira-kira begini: ”Pak Rektor sore ini ada di kantor? Saya ingin menemui Bapak. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan ke Bapak!”
Pengirim pesan yang nadanya memaksa itu tidak memberi tahu tahu identitasnya. ”Saya biasanya tetap membalas dengan sopan supaya mahasiswa (yang mengirim pesan itu) belajar, sekalian pendidikan karakter kepada mahasiswa,” ujarnya diikuti tawa.
Sutrisna berusaha memaklumi gaya bahasa mahasiswa zaman now. Mungkin, gaya komunikasi di medsos yang cair secara tidak sadar terbawa saat berkomunikasi dengan dosen yang agak formal. Untuk itu, ia berusaha membantu mahasiswa mengetahui cara berkomunikasi yang baik dan sopan dengan dosen.
Ia pun mengunggah contoh cara berkomunikasi dengan dosen mulai dari tahap memberi salam pembuka, memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan secara singkat, jelas, dan padat. Lalu, silakan mengajukan pertanyaan, serta mengucapkan terima kasih. ”Pesan itu ternyata banyak di-repost,” katanya.
”Sampai kemudian, kalimat terakhir tidak sopan dan bikin kesal. Dia bilang, ‘Bu, nanti kalau sudah sampai kampus kabarin, ya. Nanti saya jalan dari rumah!’”
Seperti Sutrisna, Metha Madonna, dosen Universitas Bhayangkara Jakarta Raya di Bekasi, juga sempat kaget dengan gaya mahasiswanya. Ia, misalnya, mendapat pesan malam-malam dari mahasiswa yang menanyakan apakah ia akan ke kampus besok pagi. Paginya, mahasiswa kirim pesan lagi apakah ia sudah berangkat ke kampus. ”Sampai kemudian, kalimat terakhir tidak sopan dan bikin kesal. Dia bilang, ‘Bu, nanti kalau sudah sampai kampus kabarin, ya. Nanti saya jalan dari rumah!’”
Dona juga beberapa kali menemukan pesan dari mahasiswa yang isinya memaksa dia untuk menentukan waktu bimbingan dengan alasan mereka bekerja. Ada juga yang protes soal absen ke dosen dengan kalimat yang memvonis atau menyalahkan kinerja dosen. Paling sering ditemukan dalam perkuliahan mahasiswa bercakap dengan bahasa gaul dan kasar.
”Kalau secara pribadi saya tegur langsung dan harus dibahas secara serius. Bahkan, pernah ada mahasiswa yang berkata kasar menyebutkan nama binatang ke temannya, saya tegur keras dan meninggalkan ruang kuliah. Akhirnya mahasiswa datang dan meminta maaf dan saya kasih pengertian kalau berbicara kasar itu akan merugikan diri sendiri terlebih jika nanti masuk ke dunia kerja,” ujar Dona.
Biasanya, Dona tidak lagi menanggapi percakapan yang tidak sopan. ”Kalau sudah begini, saya tidak jawab lagi,” ujarnya.
Dona berusaha mencari cara untuk menyiasati gaya berkomunikasi mahasiswa yang seperti itu. ”Kalau buat bimbingan, saya buat grup WA dan sudah mengatakan jadwal saya di kampus. Jika ada yang ingin ketemu di luar jam tersebut, silakan ke rumah atau samperin saya. Tapi jika ada rapat atau pelatihan di kampus, saya juga kasih tahu.”
Cair, tapi sopan
Kini, persoalan etika berkomunikasi antara mahasiswa dan dosen menjadi perhatian di sejumlah kampus. Filo Sebastian, mahasiswa Jurusan Public Relations London School of Public Relations (LSPR), menceritakan, dosennya kini sering mengimbau tentang tata cara berkomunikasi dengan dosen. Aturan tidak tertulis itu berupa imbauan menuliskan salam pembuka, isi, dan penutup kala menghubungi dosen.
”Kami sering banget diingatkan tata krama ketika menghubungi dosen, contohnya standar sih, kayak harus ada salam pembuka, isi, baru deh penutup. Strukturnya saja sih, kalau sampai detail ke kata-katanya sih enggak,” ucap Filo, Senin (21/10/2019).
Ia mengakui, kemudahan berkomunikasi via medsos yang mengandalkan jari dan kuota internet kerap membuat orang melupakan etika. Nyali seseorang ketika berkomunikasi di media sosial cenderung lebih besar karena tidak bertatap muka secara langsung. Kini, lanjutnya, dosen-dosennya bersikap tegas terkait tata krama berkomunikasi. ”Kalau kita chat enggak sopan, ya hampir pasti didiemin sama dosennya,” katanya.
Fleksibilitas komunikasi dengan dosen dirasakan oleh Sara Alisha Louhenapessy, mahasiswi Jurusan Desain Grafis Institut Kesenian Jakarta. Ketat saat sedang mengajar, tapi cair di luar kelas. Meskipun hampir tidak ada batasan antara dirinya dan dosen, Sara tahu batasan berkomunikasi. Ia tetap menggunakan panggilan ”Mas” dan tidak langsung menyebut nama ketika berbicara dengan dosen. Hal sama juga berlaku dalam komunikasi tertulis seperti saat mengirim pesan atau surel, ia tetap mengutamakan sopan santun.
”Tetap menyesuaikan jam kerja. Meskipun kata orang e-mail bisa 24 jam, bagi gue tetap tidak sopan untuk chat dosen di atas pukul 19.00. Pernah sekali terpaksa e-mail dosen pukul 03.00 karena deadline pukul 00.00 dan ketiduran, saya minta maaf dan langsung dibalas sama dosennya malam itu juga,” cerita Sara.
”Kami kalau kirim pesan ke dosen enggak repot sih, lebih mirip kalau mau kontak teman.”
Tak semua kampus menerapkan etika berkomunikasi mahasiswa dan dosen. Tyasta Pangalila, mahasiswi semester 7 Jurusan Musik Universitas Pelita Harapan, mengatakan, hubungan mahasiswa dan dosen di jurusannya terjalin layaknya teman sejawat. Usia dosen yang tak terpaut jauh dengan mahasiswa membuat komunikasi berjalan santai. ”Kami kalau kirim pesan ke dosen enggak repot sih, lebih mirip kalau mau kontak teman.”
Tyas mengaku senang dengan pola hubungan dosen dan mahasiswa yang rileks di kampusnya. Dengan meluruhkan jarak kekuasaan antara kedua pihak, ia merasa lebih mudah berdiskusi dan belajar dari dosennya. Kedekatan ini juga membuat ia dan teman-teman justru lebih menghormati sang dosen.
Menurut dia, rasa hormat tak hanya timbul dari sebuah aturan, tetapi juga bisa dari interaksi dan wibawa dosen tersebut dengan mahasiswanya. ”Karena dekat, proses diskusi jadi lebih gampang. Ketika diskusi itu berlangsung, kan, dosen sering ngasih wawasan baru tuh, nah itu yang membuat aku sama teman-temanku enggak pernah hilang respek sama dosen-dosen itu walau kita santai,” katanya. (*)