Sudah 578 Hektar Lereng Gunung Ciremai yang Terbakar
›
Sudah 578 Hektar Lereng Gunung...
Iklan
Sudah 578 Hektar Lereng Gunung Ciremai yang Terbakar
Upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Gunung Ciremai, Jawa Barat, belum optimal. Sejak Agustus, lebih dari 578 hektar lahan gunung tertinggi di Jabar itu telah hangus terbakar.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS - Upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Gunung Ciremai, Jawa Barat, belum optimal. Sejak Agustus, lebih dari 578 hektar lahan gunung tertinggi di Jabar itu telah hangus terbakar. Angin kencang turut mempercepat dampak si jago kerah. Jumlah luasan lereng yang terbakar terus bertambah.
Hingga Rabu (23/10/2019) sore, dari pemantauan di Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, asap masih mengepul di tiga titik di Gunung Ciremai. Sebanyak 41 petugas diterjunkan untuk memadamkan api.
Para petugas berasal dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kuningan, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), polisi hutan, dan relawan. Untuk membantu pemadaman, pos pemantauan kebakaran dibangun di Bukit Seribu Bintang pada ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.
Kebakaran itu berawal pada Senin (21/10/2019) pagi di Blok Situmpuk, Desa Bantaragung, Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka, Jabar. Lokasinya, 1.400 mdpl. Api kemudian menyebar ke Blok Al-Azariah dan Sanghiyang Rangkah, serta Desa Cikaracak, Kecamatan Argapura.
Api lalu meluas ke perbatasan Blok Batu Karang, Padabeunghar di ketinggian 1.800 - 2.000 mdpl atau sekitar 4 jam perjalanan jalan kaki dari pos pemantauan. "Dari delapan titik kebakaran, dua titik sudah berhasil dipadamkan. Tersisa, enam titik. Api diduga berasal dari sekitar kebun warga," ujar Agus Yudantara dari Humas Balai TNGC.
Pihaknya belum dapat menentukan luas areal yang terbakar dalam kebakaran terakhir itu, karena api belum dapat dipadamkan. Namun, diperkirakan 100 hektar lahan dan hutan Ciremai hangus terbakar. Areal yang terbakar antara lain ilalang, semak kering, dan pohon pinus.
"Kami sudah membuat sekat bakar sekitar 2 kilometer untuk mencegah kebakaran meluas," ucap Agus. Metodenya, ilalang dibabat hingga menyisakan tanah dan batu. Seperti parit selebar dua meter 6 meter. Ilalang ditumpuk di sepanjang jalur bekas pangkasan.
Dengan begitu, api hanya akan membakar ilalang yang sudah terpisah dengan parit sehingga api tidak menjalar ke pepohonan lainnya. Sekat bakar juga menjadi jalur bagi warga untuk memadamkan api.
"Namun, angin kencang membuat pohon yang terbakar tumbang dan apinya menyebar. Api juga loncat melewati sekat bakar," ungkap Agus. Hari ini saja, lanjut Agus, kecepatan angin 16 kilometer per jam arah ke barat. Kemarin, dari catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Meteorologi Kertajati, kecepatan angin mencapai 50 kilometer per jam.
Kendala pemadaman lainnya adalah jalur di gunung dengan tinggi 3.078 mdpl itu terjal dan curam. Padahal, angin kencang mempercepat kebakaran yang berupa ilalang dan semak kering. Kondisi ini mengharuskan petugas yang turut memadamkan api harus mengetahui jalur evakuasi.
Api juga loncat melewati sekat bakar.
Pihaknya telah mensosialisasikan setiap bulan pada warga agar masyarakat di sekitar Gunung Ciremai tidak membakar lahannya karena bisa merambat ke Ciremai. Pihaknya juga berpatroli untuk mencegah kebakaran. Akan tetapi, api tetap melahap lahan dan hutan Ciremai.
Adapun luas lahan yang hangus terbakar di lereng Ciremai, lanjut Agus, sejak Agustus sudah lebih dari 578 hektar . Lokasi kebakaran kerap terjadi di bagian utara Ciremai, seperti Padabeunghar. Api berawal dari perbatasan Majalengka dan Kuningan.
"Akibatnya, sejak Agustus, jalur pendakian di Gunung Ciremai ditutup hingga waktu yang tidak ditentukan. Kalau sudah ada hujan, pendakian mungkin dibuka," katanya.
Biasanya Balai TNGC menetapkan kuota 1.600 pendaki tiap hari. Tahun lalu, sebanyak 48.995 orang mendaki Gunung Ciremai.
Kasus kebakaran nyaris tiap tahun terjadi di Ciremai. Balai TNGC mencatat, lahan yang terbakar pada 2013 seluas 14,96 hektar. Pada 2014 meningkat menjadi 266,034 hektar dan melonjak lagi menjadi 666,9 hektar setahun kemudian.
Setelah tak ada kebakaran sepanjang 2016, api muncul lagi setahun kemudian. Saat itu, luas lahan terbakar 107 hektar. Tahun 2018, lebih dari 1.400 hektar lahan terbakar. Upaya bom air pun dilakukan saat itu.
Itok (49), warga Padabeunghar, mengatakan, masyarakat sudah mendapatkan sosialisasi bahaya membakar lahan saat kemarau. Bahkan, warga yang bergabung dalam Kelompok Pujangga Manik diberdayakan untuk mengelola tempat wisata di Batu Luhur dan Bukit Seribu Bintang.
"Kami sadar, kalau bakar lahan nanti hutan bisa terbakar. Akibatnya, panas dan orang enggak datang wisata ke sini," ujar Itok yang membuka warung di Batu Luhur. Meski demikian, ia mengakui, upaya itu belum maksimal karena kebakaran dari daerah lain kerap merambat ke Padabeunghar.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Meteorologi Kertajati Ahmad Faa Izyn mengatakan, musim hujan di wilayah Cirebon diprediksi terjadi akhir November. “Musim hujan di Cirebon diperkirakan mundur 10 sampai 20 hari. Masih ada waktu untuk memastikan tidak ada sampah di saluran air yang dapat memicu banjir,” ujarnya.