Penerapan mitigasi bencana di sekolah belum sepenuhnya berjalan baik. Masih ada sekolah di Banda Aceh, Provinsi Aceh yang berada di zona bahaya tsunami, namun tidak memiliki standar dan minim infrastruktur mitigasi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS – Penerapan mitigasi bencana di sekolah belum sepenuhnya berjalan baik. Masih ada sekolah di Banda Aceh, Provinsi Aceh yang berada di zona bahaya tsunami, namun tidak memiliki standar mitigasi dan minim infrastruktur mitigasi.
Salah satu sekolah yang berada di zona bahaya tsunami adalah SD N 72 Banda Aceh yang teretak di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala. Sekolah ini hanya berjarak 300 meter dari bibir pantai. Saat tsunami 2004 kawasan itu hancur lebur dihantam ombak.
Siswa kelas VI SD N 72, Anita berusia 12 tahun, kepada Kompas, Rabu (23/10/2019) menuturkan dia tidak tahu ke mana menyelamatkan diri jika terjadi gempa dan tsunami. Anita lahir tiga tahun setelah tsunami melanda desanya. Rumah Anitia berjarak 50 meter dari sekolah.
“Kalau gempa lari ke tempat yang tinggi, tapi di sini tidak ada gedung tinggi,” kata Anita.
Di SD N 72 terdapat murid 86 orang. Semuanya merupakan anak-anak dari Desa Alue Naga. Sekolah itu berlantai satu. Di desa itu juga tidak ada gedung berlantai dua. Jarak dari sekolah ke jalan utama mencapai 3 kilometer. Sedangkan untuk mencapai gedung berlantai tiga milik kampus STKIP Bina Bangsa Getsempena jaraknya 4,2 kilometer.
“Tidak sanggup kami lari ke sana,” ujar Anita. Dia tampak bingung apa yang harus dilakukan jika benar-benar terjadi gempa dan tsunami.
Maulidia, usia 14 tahun, warga Alue Naga, juga mengaku tidak tahu soal mitigasi bencana. Anita sekolah di SMP N 8 Darussalam. Baik disekolah maupun di desa dia tidak pernah mendapatkan pendidikan kebencanaan. “Pasrah aja lah,” kata Maulidia tertawa.Tidak pernah digelar
Kepala Sekolah Dasar N 72 Banda Aceh Kasiyem menuturkan di sekolahnya tidak pernah digelar simulasi mitigasi bencana, padahal simulasi sangat butuh. “Jika hari ini terjadi tsunami barangkali kami hanya bisa pasrah,” kata Kasiyem.
Kasiyem telah mengusulkan kepada Wali Kota Banda Aceh untuk dibangun gedung evakuasi bencana di sekitar sekolah. Kasiyem juga berharap kepada komunitas dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk memfasilitasi pendidikan mitigasi bencana di sekolahnya.
Jika hari ini terjadi tsunami barangkali kami hanya bisa pasrah, kata Kasiyem.
Kepala BPBD Banda Aceh Fadhil menuturkan 40 persen dari total sekolah di Banda Aceh berada zoba bahaya tsunami. Fadhil mengatakan belum semua sekolah pernah digelar simulasi evakuasi bencana. Selain karena keterbatasan anggaran juga keterbatasan personel.
Fadhil berharap pihak sekolah bergerak secara mandiri membangun mitigasi bencana bagi siswanya. “Jangan hanya menunggu dari BPBD, harus ada inisiatif sekolah atau dinas pendidikan untuk membangun kesadaran siaga bencana,” kata Fadhil.
Fadhil menambahkan saat ini mitigasi bencana harus menjadi kebutuhan bagi semua elemen sehingga ada gerakan mitigasi mandiri. Fadhil mencontoh dunia usaha harus menyiapkan mitigasi untuk karyawannya, kampus untuk mahasiswa, dan sekolah untuk siswanya.
Fadhil mengatakan sebanyak 40 sekolah telah pernah digelar simulasi bencana. Namun, pihak sekolah tidak melanjutkan pendidikan kebencanaan itu setelah simulasi siap digelar. “Seharusnya sekolah melanjutkan pendidikan mitigasi kepada siswa-siswa baru,” kata Fadhil.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Banda Aceh, Saminan menuturkan, belum semua sekolah siap menghadapi bencana. Walalupun simulasi pernah digelar, namun pada umumnya pengetahuan itu tidak diteruskan untuk siswa-siswa selanjutnya.
“Para guru sering menyampaikan pengetahuan kebencanaan, namun infrastruktur mitigasi masih belum memadai,” kata Saminan.