Penambahan transportasi massal di Jabodetabek mendesak dilakukan. Sebab, pada 2035 diprediksi seluruh jaringan transportasi massal yang ada saat ini tidak akan bisa memenuhi permintaan penduduk yang terus meningkat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penambahan transportasi massal di Jabodetabek mendesak dilakukan. Sebab, pada tahun 2035 diprediksi seluruh jaringan transportasi massal yang ada saat ini tidak akan bisa memenuhi permintaan penduduk yang terus meningkat.
Hal itu disampaikan dalam rekomendasi teknis Tim Studi Proyek Integrasi Kebijakan Transportasi Perkotaan Jabodetabek Tahap 2 (JUTPI 2) di Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Pemimpin proyek JUTPI 2 Junkichi Kano mengungkapkan, pada tahun 2035, jumlah penduduk Jabodetabek mencapai 45,3 juta. Jumlah ini meningkat tajam dari penduduk pada 2017 yang mencapai 33,1 juta jiwa penduduk. Dengan jumlah penduduk saat ini, angkutan yang ada sangat padat dan tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pada 2018, JUTPI 2 menganalisis kepadatan penumpang angkutan di tiga koridor, yaitu Tangerang-Jakarta, Bogor-Jakarta, dan Bekasi-Jakarta. Hasilnya, di koridor Bogor-Jakarta ada kebutuhan 680.000 penumpang per hari, baik mereka yang bertujuan ke Jakarta maupun ke Bogor. Adapun kapasitas angkutan, baik angkutan jalan maupun rel, hanya 370.000 penumpang per hari per dua jalur. Rasio volume per kapasitas (V/C) di koridor ini adalah 1,84. Nilai V/C di atas 1 artinya melebihi kapasitas.
Nilai V/C koridor Tangerang-Jakarta 2,08 dan Bekasi-Jakarta 3,28. Kesimpulannya, jaringan transportasi massal yang ada sudah tidak bisa mengimbangi kebutuhan yang ada.
”Kami mengusulkan kepada pemerintah untuk memperluas jaringan transportasi yang ada, seperti MRT, BRT, dan LRT. Kami sudah menghitung koridor mana saja yang memiliki permintaan penumpang paling banyak,” ujar Kano.
Beberapa jalur yang menjadi prioritas karena memiliki banyak permintaan dari penumpang antara lain MRT fase 2 Cikarang-Balaraja sepanjang 87 kilometer dengan permintaan 816.100 orang per hari. Selain itu, ada pula jalur Bandara Soekarno Hatta-Kampung Bandan, Cilincing-Lebak Bulus, Karawaci-Cikarang, Lebak Bulus-Karawaci, Bekasi Selatan-Bekasi Utara, Pluit-Depok, loopline luar, dan loopline dalam yang menjadi prioritas karena banyak permintaan penumpang.
Adapun usulan penambahan infrastruktur LRT seperti di Puri Kembangan-Dukuh Atas dengan kebutuhan 63.800 penumpang serta beberapa rute lain, seperti Pesing-Kemayoran, Cawang-Dukuh Atas, Cawang-Bogor, Sentul-Kota Bogor, Cawang-Bekasi Timur, Jagakarsa-Cibubur-Cileungsi, Velodrome-Cakung, dan Kota Tangerang.
Kerugian akibat kemacetan
Selain itu, JUTPI 2 juga mengungkapkan kerugian yang dialami warga Jakarta akibat kemacetan lalu lintas. Biaya ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di kawasan Jabodetabek mencapai Rp 100 triliun. Rinciannya, kerugian yang disebabkan oleh kemacetan lalu lintas dari biaya operasi kendaraan bermotor Rp 40 triliun dan untuk kerugian waktu perjalanan Rp 60 triliun.
”Setiap orang di Jabodetabek mengalami kerugian Rp 3 juta per tahun akibat kemacetan lalu lintas ini,” kata Kano.
Dengan biaya sangat besar yang hilang akibat kemacetan lalu lintas ini, pemerintah sebenarnya bisa membangun moda raya terpadu (MRT) sebanyak mungkin. Sebagai perbandingan, biaya pembangunan MRT fase I sebesar Rp 16 triliun dan fase 2 Rp 22,5 triliun.
Terkait dengan implementasi dari rekomendasi ini, JUTPI 2 menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Indonesia. Sebab, biaya pembangunan moda transportasi massal tidak murah. Namun, data yang diberikan ini diharapkan menjadi acuan dalam kebijakan transportasi ke depan, seperti dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Sebab, data tersebut memberikan prioritas jalur mana saja yang memiliki permintaan penumpang paling banyak.
Asisten Deputi Sistem Multimoda Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Tulus Hutagalung menambahkan, data dari JUTPI 2 ini rencananya digunakan untuk revisi RITJ. Revisi RITJ diharapkan dapat menghasilkan kebijakan terkait dengan kebutuhan penumpang dan sistem transportasi yang harus dibangun. Sebab, RITJ yang ada sekarang sudah tidak bisa menampung kebutuhan penumpang di Jabodetabek.
”Kerja sama dengan ini adalah kerja sama teknis tidak ada proyeknya. Ini sekaligus untuk memberikan pengembangan kapasitas bagi pemda dan kementerian bagaimana membuat sebuah kebijakan itu harus berdasarkan data seperti yang dilakukan oleh negara maju,” kata Tulus.
JUTPI 2 merupakan program kerja sama Kementerian Koordinator Perekonomian dengan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) sejak 2014. Tujuannya, mengembangkan fungsi institusi administratif dengan mendorong pengembangan kapasitas dan kerja sama antarorganisasi yang terlibat pelaksanaan sistem transportasi Jabodetabek.